Rabu, 31 Agustus 2016

[GENRE LOST WORLD] Ayodele

Ayodele masih berdiri terdiam. Perlahan ia merasakan matanya mengering, dan secara refleks mengedipkannya. Mulutnya masih menganga tanpa ia sadari. Lututnya menyerah, ia jatuh bersimpuh. Bersamaan dengan kembalinya kesadaran dirinya, ia melihat ke arah kedua tangannya yang gemetar. Otaknya memerintah tangan kirinya untuk memegangi tangan kanannya, menghentikan getaran itu. Sebuah usaha yang sia-sia. Ia menolehkan kepalanya ke belakang, melihat kelima anggota timnya menunjukkan ekspresi serupa. Di sebelahnya Mpenzi sudah terlebih dulu berlutut, air mata terlihat di pipi perempuan itu, sebuah senyum lebar terbentuk di bibirnya.

----

"Ayodele! Yode cepat masuk! Sebentar lagi gelap, lihat itu Jua sudah mulai tenggelam!" begitulah hampir setiap hari Mzaa memanggil anak laki-lakinya. Ayodele sebenarnya anak yang patuh dan menurut kepada Mzaa-nya -- ibunya -- tetapi seperti kebanyakan anak seumurannya, imajinasi dan luapan energi mengambil alih perhatiannya. Sembari berjalan pulang bersama Mzaa-nya biasanya Yode kecil bercerita tentang penemuannya hari ini. Tentang bagaimana sebuah pecahan batu adalah pecahan mangkuk dari peradaban manusia ribuan tahun sebelumnya, sebuah ranting adalah sisa-sisa tombak seorang pemburu ketika ia memburu naga.

Mzaa biasanya hanya tersenyum melihat antusiasme anaknya. Mzaa seorang yang religius. Imani, kepercayaan yang ia anut --yang dianut oleh hampir seluruh manusia-- bercerita tentang hukuman dari Amma. Tentang bagaimana manusia dijatuhkan dari Surga karena mereka lancang membuka Pintu pengetahuanNya. Tentang bagaimana seekor ikan paus menemui mereka pada saat mereka jatuh dari Surga dan menolong mereka, menciptakan Gaea agar mereka mendarat dengan selamat. Bagaimana Amma menciptakan Jua untuk menemani manusia agar tidak berada dalam kegelapan. Bagaimana Amma menciptakan Mbodze, Nyange dan Matsezi -- ketiga bulan Gaea yang saling berkejaran di langit-- untuk menemani manusia di kala malam. Imani mengajarkan bahwa manusia tidak berkembang dari peradaban purbakala, tapi diciptakan Amma dalam kondisinya saat ini. Tetap dan tidak berubah. 

Ketika Yode beranjak dewasa, hari-harinya dihabiskan membaca kitab-kitab Imani. Mzaa selalu membayangkan anaknya akan menjadi seorang Kuhani, seorang alim yang terpandang. Kebahagiaan Mzaa hilang seketika ketika suatu hari ia menemukan Yode di kamarnya, terkubur di tumpukan kitab-kitab. Punggungnya membungkuk di hadapan meja kerjanya, di hadapannya tiga buah kitab terbuka, telunjuk di tangan kanannya menunjuk satu baris di sebuah kitab, telunjuk tangan kirinya menunjuk baris di kitab lain. Kuhani mendudukkan diri di ranjang anaknya, memandangi punggung anaknya lalu tersenyum.

"Nak, di Hekalu minggu depan akan dimulai prosesi pentahbisan Kuhani, kau tidak sekalian ikutan saja?" tanya Mzaa.

"Aku tidak berniat menjadi Kuhani, Ibu." jawab Yode singkat. Masih memunggungi ibunya.

Mzaa membutuhkan waktu sejenak untuk mencerna jawaban tersebut.

"Lalu kenapa kau begitu tekun mempelajari Imani, anakku?" 

Yode membalikkan badan, memandang ibunya sejenak.

"Maaf Bu. Aku takut Ibu tak ingin mendengar jawabanku.."

Tatapan mata Mzaa tak lepas dari wajah anaknya itu, tangannya yang mengepal memperlihatkan apa yang ada di hatinya. Yode mengerti arti tatapan itu dan menyerah, menjawab pertanyaan ibunya.

"Aku percaya Imani adalah kumpulan legenda. Legenda-legenda yang lahir dari sebuah kebenaran sejati. Kitab-kitab Imani seringkali isinya bertentangan satu sama lain. Tetapi ada beberapa legenda yang saling mengkonfirmasi satu sama lain, dari situ aku menyimpulkan ada kebenaran di dalam legenda-legenda itu. Aku mencari kebenaran itu Ibu."

Mzaa tidak mengeluarkan suara apapun mendengar jawaban anaknya itu. Tapi Yode bisa menebak badai seperti apa yang berkecamuk di dalam benak perempuan yang paling ia sayangi itu.

"Maafkan aku Ibu." 

Mzaa tidak menjawab apa-apa, berusaha membentuk sebuah senyuman, lalu berdiri, meninggalkan anaknya di kamarnya. Yode hanya bisa memandangi punggung ibunya keluar dari kamar dan menutup pintunya. 

Sejak saat itu Yode selalu merasa ada jarak antara ia dan ibunya. Suatu kali ia tak sengaja mendengar ibunya berdoa kepada Baba untuk memberikan pencerahan kepada Yode agar ia kembali ke jalan seharusnya, tetapi sama sekali Mzaa tak pernah melarang atau menghalangi cita-cita anaknya.

Di jenjang pendidikan tinggi, Yode bertemu dengan Mpenzi, perempuan yang merebut hati dan pikirannya. Yang bisa menjadi kekasih dan partner diskusi. Perempuan yang akhirnya menjadi istrinya. Di sana pula ia bertemu dengan Jacob, Hera, Ahmadi, Patel, dan Sambas. Kelima orang dengan visi serupa, yang menemaninya memperjuangkan ekspedisi di hadapan para penyandang dana dan guru-guru besar. Merekalah yang menemaninya dalam pencariannya akan kebenaran. 

Penelusuran mereka terhadap kitab-kitab Imani membimbing mereka menemukan bukit Megiddo, bukit di mana manusia mendarat setelah jatuh dari Surga. Tempat di mana ekspedisi mereka berujung.

------ 

Ayodele merasakan kekuatan kembali ke kedua kakinya dan berdiri. Ia berjalan mendekati sebuah plakat logam yang sebelumnya tertutup oleh tetumbuhan dan bebatuan berumur ribuan tahun. Plakat yang ia temukan bersama timnya. Di atas plakat itu tertera beberapa baris tulisan dalam aksara kuno. Aksara yang baru saja dipecahkan artinya oleh Patel, sang filolog. Aksara yang berkata:

"Di sini awal mula yang baru bagi umat manusia, tempat mendaratnya Moebius. Tempatnya beristirahat dari perjalanannya mengarungi angkasa. Di sini seluruh pengetahuan manusia disimpan untuk digunakan kembali."

Di sebelah tulisan tersebut sebuah cerukan berbentuk telapak tangan terlihat. Ayodele membalikkan badannya ke arah teman-temannya. Dari ekspresi dan gestur mereka ia bisa merasakan dorongan untuk menempelkan tangannya di cerukan tersebut. Sejenak ia memperhatikan cerukan tersebut, mencoba menerka apa yang akan terjadi, lalu dengan yakin ia taruh tangannya di ceruk tersebut. 

Ceruk tersebut memancarkan cahaya biru kehijauan, ia bisa merasakan listrik mengaliri jari-jarinya. Ia merasakan sebuah jarum kecil menusuk ibu jarinya, dan sinar tersebut berubah menjadi biru. 

Bukit tempat mereka berdiri mendadak bergerak, seperti gempa bumi, tetapi berirama, berdenyut. Mereka bisa merasakan sebuah geraman dengan frekuensi yang hampir terlalu rendah untuk didengar. Lalu sebuah suara perempuan terdengar mengucapkan kata-kata dalam bahasa yang asing bagi mereka. Kata-kata yang -- kalau saja mereka mengerti -- mengucapkan: 

"Selamat datang, manusia. Namaku Ava, teman kalian. Kalian baru saja membangunkanku dan Moebius. kami akan membantu kalian menemukan kembali Bumi. Tempat kalian berasal."

1 komentar: