Jantung
Nung berhenti seiring suara menggelegar dari arah rumahnya. Apakah ibu sudah
tiada? Hawa panas terasa di punggungnya, di tengah hujan yang turun deras.
Rumahnya meledak, bersama ibu Sriti di dalamnya. Nung tidak mau menoleh untuk
memastikan. Ibu menyuruhnya berlari, dengan empat buah cangkir yang ditutup
kain kedap air, jauh dari rumah. Lari sejauh-jauhnya, dari rumah, karena Sang
Buto Ijo akan mengejarnya. Nung menggigit bibirnya, menahan tangis yang memaksa
untuk tertumpah. Tapi Nung harus berlari sekarang. Menangis untuk hari lain.
Hari ini berlari.
Bulan
tidak menampilkan dirinya malam itu. Awan hujan menutupi cahayanya. Hujan
menghantam bumi dengan keras, membuat hutan ini terlihat kembali asing bagi
Nung. Dia tidak pernah tahu bagaimana rupanya di malam hari, ibu Sriti tidak
pernah mengijinkannya keluar di malam hari. Ibu Sriti ... apakah kau masih ada?
Apakah kau berhasil bersembunyi? Kenapa aku harus pergi di ulang tahunku yang
ke delapan belas, alih-alih menjagamu dari serangan sang Buta? Nung harus
kembali nanti, mencari tahu apakah ibu Sriti selamat. Mencari untuk hari lain.
Hari ini berlari.
Dentum
langkah Sang Buto Ijo membangunkan Nung dari lamunannya. Dia beranjak bersegera
untuk berlari lagi. Sulit untuk melesat. Sepatu butnya penuh lumpur di luar dan
di dalam, dan jubah kulit rusanya makin berat karena menyeret di lumpur dan
tertimpa air hujan. Dia mendekap ke empat kantong cangkir ibu Sriti dan
berusaha sekuatnya untuk berlari. Petir menyambar dan menerangi deretan pohon
di depannya. Untuk sesaat, pemandangan itu begitu indahnya. Nung mengambil
langkah lebar dan terus berlari.
Aku
lahir di hutan ini, kenang Nung tiba-tiba. Ibu Sriti sering bercerita bagaimana
dia menemukan Nung. Ibu Sriti tinggal sendirian dan mengharapkan memiliki
seorang anak gadis. Dia menemukan Nung di hutan ini, tertidur di atas kelopak
anggrek putih raksasa. Ibu Sriti bercerita tidak seharusnya dia mengambil Nung
dari anggrek itu, karena pemiliknya adalah Sang Buto Ijo. Ibu Sriti tidak pernah
bercerita bagaimana dia bisa membesarkan dan merawat Nung tanpa gangguan Sang
Buto Ijo selama delapan belas tahun ini. Yang selalu dia ceritakan adalah rasa
cinta yang mengalir menghangatkan hati ibu Sriti ketika melihat Nung yang masih
bayi. Rasa hangat yang juga Nung rasakan selama dirawat dan dibesarkan ibu
Sriti.
Rasa
hangat yang baru saja padam ketika Sang Buto Ijo mendatangi mereka tadi, dan
seluruh kehidupan Nung berubah sedemikian rupa. Hangat jadi dingin. Terang jadi
gelap. Ria jadi duka.
Kilat
menyambar lagi. Satu kilat, dua kilat, tiga kilat. Sambung menyambung seakan
memberi tahu dengan cahaya sekejapnya kemana Nung harus menyelinap. Entah sudah
sejauh apa Nung berlari, dia tidak bisa tahu pasti. Hujan tidak kunjung mereda,
dan nampak tidak akan menghentikan derunya dalam waktu-waktu ini. Jutaan
ranting memaksa Nung untuk menghentikan larinya, dengan merenggut jubahnya kiri
dan kanan, namun Nung tidak berhenti. Dia menarik tudung jubahnya menutupi
kepalanya, agar setidaknya air hujan tidak menghalangi pandangannya.
Tapi
ternyata air matanya yang membuat buram. Nung baru tersadar bahwa dia berlari
sambil menangis tersedu. Dia ingin berhenti saja. Tapi ibu Sriti menyuruhnya
berlari terus. Sampai kapan, Bu? Sampai ka...
“Disitu
kau rupanya!” sebuah suara menggelegar dari belakangnya. Nung menjerit dan
terjatuh ke lantai hutan. Dia menoleh dan melihat samar garis luar tubuh Sang
Buto Ijo berdiri di belakangnya. Makhluk itu besar, tingginya tiga kali lipat
tingginya. Dia terlihat kuat dan berat, namun bagaimana dia mampu mengejar Nung
sejauh ini, adalah pertanyaan yang harus ditanyakan di lain hari. Hari ini
berlari.
“Kamu
tidak akan bisa lari, Nung!” Sang Buto Ijo mendentumkan kakinya melangkah
mendekati tempat Nung terjatuh, “ibumu sudah menjanjikanmu kepadaku delapan
belas tahun yang lalu! Ini sudah takdirmu, nduk!”
Apa?
Nung menjejakkan kedua kakinya lagi ke tanah, dan berusaha mendorong dirinya
bangun. Apa maksudnya menjanjikan diriku? Sang Buto Ijo mendentumkan kakinya ke
tanah, dan seisi hutan gemetar, dan petir menyambar beriringan. Seakan satu
suara, dan Nung adalah suara sumbang. Nung kehilangan keseimbangannya dan
kembali limbung ke pelukan lumpur di lantai hutan. Nung merintih setiap kali
mengambil nafas, dan tangannya berusaha mencari sesuatu di tanah. Daun. Rumput.
Tidak adakah batu?
Dentuman
kaki Sang Buto mendarat lagi, kali ini tanpa iringan petir. Nung terlempar
sedikit dari tempatnya jatuh, dan cangkir-cangkir pemberian ibunya
berkelotakan. Dia mendekat. Apa yang mau dia lakukan padaku? Nung mengambil
satu cangkir dan tanpa berpikir macam-macam, melemparkannya ke arah Sang Buto
Ijo.
Cangkir
itu pecah di depan Sang Buto, kain penutupnya sobek terbuka dan suara desis
yang nyaring mengumumkan, “ATEEEEEENNGGG!!!”. Cahaya hijau menyilaukan
membelesak terpancar dari tempatnya. Sang Buto terkejut dan celingukan. Aroma
pahit dan tajam memenuhi tempat mereka. Sihir apa ini? Bau ini. Pahit tapi
nyaman. Kopi?
“Kamu masih kecil, tidak boleh
minum kopi,” kata ibu Sriti. Cahaya matahari sore yang hangat menembus gubuk
kami, menegaskan debu-debu kecil yang selalu beterbangan yang hanya terlihat
jika cahaya menimpanya.
“Jadi kapan Nung boleh minum
kopi?” ujarku manja. Aku ingat senyum ibu Sriti. Hangat.
Nung
menyentak dirinya keluar dari kenangan manis. Ibu Sriti sudah tidak ada.
Kenangan hanya untuk hari lain. Sang Buto Ijopun terlihat tenggelam dalam
kenangannya sendiri. Menatap nanar entah ke mana dan tersenyum-senyum. Dia
tidak menyadari bahwa serangkaian tumbuhan menjalar mulai merayapi kakinya.
Hari
ini, lari.
Hujan
masih tidak ramah. Bulan masih bersembunyi. Nung menginginkan panduan, tapi
baik cahaya maupun ibu Sitri tidak ada bersamanya. Rasa kesendirian perlahan
mengambil alih, beriringan dengan rasa sakit di telapak dan lututnya. Air mata
tidak lagi mengalir, cukup air hujan saja yang mendera wajahnya, dan jubahnya,
dan seluruh tubuhnya. Kenapa ibu Sitri memberinya secangkir kopi dan kenapa
melemparkannya bisa menghentikan kejaran Sang Buto Ijo adalah pertanyaan untuk
lain hari. Untuk hari ini, ...
“Lari?”
suara Buto Ijo menyambut laju pikiran Nung. Tidak perlu menoleh lagi untuk
memastikan siapa yang mengejarnya. Dia lepas dari jeratan, rupanya. Nung
menyentak satu kakinya dan berbelok ke kanan seketika, mengkelindankan dirinya
dengan batang-batang pohon. Sang Buto Ijo menggeram putus asa, menandakan
gerakan Nung tadi membuatnya kehilangan jejaknya. Berhasil. Nung lalu mendadak
bergerak ke kiri, setelah merasa dia sudah cukup jauh. Pola liku-liku ini
diulang-ulang oleh Nung.
Suara
bergemuruh dan bergemerisik menggema di atas Nung. Batang-batang pohon melesat
kencang di atas dan di sekitar Nung. Dedaunan bertebangan tak tentu arah. Nung
terjatuh lagi dan jubahnya terkoyak lepas dari tubuhnya. Dia menjerit melihat
Sang Buto sudah muncul di belakangnya, menggenggam jubahnya. Trik berlari
berlikunya tidak lagi berhasil mengecoh Sang Buto. Matanya yang merah menyala
menatap mata Nung. Sang Buto menggeram memamerkan taring-taringnya, dan
geramannya mengakibatkn getaran kecil di sekitar Nung.
Tanpa
berpikir panjang, Nung melemparkan cangkir kedua. Kali ini langsung ke wajah
Sang Buto.
“RAAAAMBUUUUNG!!!”
desis suara yang keluar dari cangkir. Cahaya kuning menyala ketika cangkir itu
pecah dan kainnya terbuka. Sang Buto berteriak sekarang, membuat getaran yang
cukup melambungkan Nung ke belakang. Udara seketika menjadi lebih hangat, tapi
menyesakkan. Aroma pahit dan sedikit asam menular di udara. Cahaya kuning itu
lembut menyentuh sekelilingnya.
“Kalau kamu sudah delapan belas
tahun, kamu baru boleh mencicipi kopi,” cerita ibu Sitri sambil mengelus
rambutku suatu siang di pekarangan rumah kami. Aku membaringkan kepalaku di
pangkuan ibu Sitri dan memandangi senyumnya.
“Kenapa ketika aku delapan belas
tahun, Bu?” serombongan kupu-kupu berwarna kuning beterbangan di sekitar kami.
“Kalau sekarang kamu coba
kopinya,” lanjut ibu Sitri, “kamu tidak akan suka...”
Aku lantas duduk tegak dan
menatap matanya yang penuh cinta. Matanya selalu penuh cinta, “kan belum aku
coba, Bu...”
“Nanti saja. Kamu akan tahu
betapa hangatnya aroma kopi ketika kamu dewasa nanti. Betapa dia bisa
menggiringmu dari kegelapan yang mengejarmu...”
Tiba-tiba
rombongan kupu-kupu kuning itu muncul di antara Nung dan Buto Ijo. Sebelum Nung
bisa memahami apa yang terjadi di hadapannya, satu per satu batang-batang bambu
tumbuh mencuat. Satu, dua, lima, sepuluh. Makin lama makin cepat dan banyak,
membentuk sepetak hutan bambu.
“Lari,
Nung!” terdengar serombongan suara yang walau sulit dipercaya, Nung yakin
diteriakkan oleh rombongan kupu-kupu tadi. Nung tidak berpikir lagi, dia
langsung melesat berlari, karena nampaknya hutan bambu itu tumbuh mendekat
kepadanya, dan dia bisa mendengar geraman dan bentakan Sang Buto Ijo yang
berusaha menghancurkan hutan bambu yang menghalanginya dari Nung. Tanpa
jubahnya, Nung merasa larinya lebih ringan, dan dinginnya hujan di malam hari tidak mengganggunya, sepertinya akibat bersentuhan dengan kekuatan kopi
Rambung. Rombongan kupu-kupu kuning itu terbang di depan Nung, menunjukkannya
jalan.
Sebuah
ladang luas terbuka seketika di hadapan Nung. Rupanya para kupu-kupu itu
menunjukkan jalan keluar dari hutan, karena mereka tiba-tiba menyebar dan
menghilang. Hujan mulai mereda, walau masih jatuh semena-mena. Hari ini, lari.
Andai saja kaki Nung tidak sesakit sekarang, dia ingin melesat
secepat-cepatnya. Tapi dia harus berlari terus, tidak tahu kapan pelariannya
selesai. Tidak tahu apa yang akan ditemuinya. Tidak tahu apakah bisa bertemu
ibu Sitri lagi. Setidaknya sekarang dia tahu dua cangkir kopi yang dibawanya
bisa digunakan untuk apa. Jika cangkir terakhir habis, entah apa ...
Setelah
berlari kira-kira dua puluh depa, Nung bisa mendengar dentum langkah Sang Buto
yang baru saja berhasil menembus hutan, jauh di belakangnya. Nung menghentikan
langkahnya, lalu berbalik. Dia melemparkan cangkir ketiga, dan kali ini bersiap
untuk melihat apa yang akan terjadi. Cangkir itu pecah sekitar dua depa di
hadapannya. Raungan “LINTOOOONG!!” terdengar dan dari pecahan cangkir itu
keluarlah cahaya biru yang menyenangkan. Kehangatan kembali muncul di
sekelilingnya. Lebih hangat dari kopi-kopi sebelumya. Kali ini aromanya lebih
berlapis: pahit, asam, manis. Ladang luas yang menjembatani dirinya dan Sang
Buto berubah menjadi lautan dengan ombak yang mengamuk, Sang Buto langsung
jatuh ke lautan itu meronta-ronta.
“Apapun yang terjadi, Ibu
sayaaang sekali sama Nung...”
Nung
tersenyum mengenang ibunya. Sementara Sang Buto masih bergumul berusaha
mengangkat dirinya keluar dari permukaan lautan.
“Sejak Ibu pertama kali melihatmu
di atas anggrek putih itu, Ibu tahu, kalau Nunglah putri yang Ibu idam-idamkan.
Ibu sangat berharap kamu selalu bahagia...”
Nung
merasakan kehangatan mengalir dari matanya dan menjalari pipinya.
“Tunggu
aku gadis kurang ajar!!! Jangan kamu lari lagi!!!” teriak Sang Buto, yang
kelihatannya mulai bisa mengendalikan dirinya dan berenang cepat ke arah Nung.
“Kamu
tinggal punya satu cangkir lagi, gadis bodoh. Setelah itu kamu tidak akan bisa
lagi menghindari kejaranku!!!” lanjutnya diantara mengambil nafas dan
membenamkan wajahnya ketika berenang.
“Kopi
akan selalu memberikan kehangatan...” bisik Nung pada dirinya sendiri, lalu
menjatuhkan cangkir terakhir ke dalam lautan tempat Sang Buto berada.
“JAAAAVAAA...”
Cahaya
merah merekah di atas lautan. Udara terasa lebih tebal. Harum pahit manis
merebak di udara. Kali ini tidak terlalu asam, tapi ada jejak-jejak rasa
berkarat. Hujan tinggallah gerimis, beriringan dengan air lautan yang berubah
pekat dan padat menjadi lumpur. Sang Buto Ijo terkejut dengan perubahan
tiba-tiba dengan air yang sedang dia arungi. Setelah melihat sekelilingnya,
senyum merekah di wajahnya. Matanya yang merah menyala kembali menatap ke arah
Nung.
“Hahahah!”
gelegarnya, “air ini jadi padat! Terimakasih pada kopi-kopi ibumu itu!” kedua
tangannya menjejak ke genangan lumpur padat yang baru saja terbentuk dan dengan
satu dorongan, dia menolakkan tubuhnya yang tadi terbenam setengah naik ke
permukaan. Setelah menapak lagi, Sang Buto bergegas berlari ke arah Nung.
Tapi
Nung pasrah, tidak mau berlari lagi.
“Apapun yang terjadi, Ibu
sayaaang sekali sama Nung...”
“Kau
itu milikku, Nung!” gelegar Sang Buto, sambil berlari berdentum, “ibumu itu
mencurimu dariku! Dia berjanji menyerahkanmu kembali padaku setelah kau berumur
delapan belas tahun!!”
“Kenapa ketika aku delapan belas
tahun, Bu?” sekarang
Nung mengerti kenapa. Dia tersenyum dan memandangi langit. Awan berarak membuka
tirainya. Bulan purnama mengintip perlahan. Kalau ibunya masih hidup, dia ingin
memeluknya sekarang.
Tiba-tiba
lautan lumpur padat di hadapannya bergetar, dan retakan-retakan serta merta
terbentuk melintasinya ke berbagai arah. Cahaya kemerahan muncul dari
retakan-retakan itu lalu kemudian retakan-retakan itu melebar. Desisan-desisan
dan suara getaran menggema dari berbagai penjuru. Sang Buto terhenti dari
larinya dan memandang sekelilingnya dengan kebingungan. Lahar panas membuncah
keluar dari retakan-retakan, Sang Buto berusaha mencari tapakan kaki, tapi
setiap dia melangkahkan kakinya ke bagian lumpur, potongan lumpur itu dengan
mudah terbenam ke dalam cairan lahar yang menyala dan membakar kaki Sang Buto
Ijo. Raksasa itu mengerang dan menggeram, berusaha sekuat tenaga untuk keluar
dari lahar. Satu-satunya yang bisa dia lakukan hanya berteriak, melemparkan
ancaman-ancaman ke arah Nung, tapi lahar panas itu menelannya pada akhirnya.
Kopi-kopi ibu Sriti menyelamatkan Nung dari kejaran Sang Buto Ijo.
Tidak
perlu menunggu besok menunggu jawaban. Tidak perlu menunggu besok untuk mencari
tahu apakah ibu Sriti selamat. Hari ini, berlari pulang. Sang purnama bersinar
terang, tanda setuju.
Hehe seru. Gua suka pilihan katanya. Perasaan Nung juga tergambar baik. Kalo harus kritik justru pilihan ceritanya yang sangat setia pada materi asalnya. Kalau sedikit lebih liar dalam interpretasinya sepertinya bisa lebih bikin penasaran
BalasHapus