Minggu, 21 Agustus 2016

Nung

Blog post ini dibuat dalam rangka mengikuti Kompetisi Menulis Cerpen #MyCupOfStory Diselenggarakan oleh GIORDANO dan Nulisbuku.com

Jantung Nung berhenti seiring suara menggelegar dari arah rumahnya. Apakah ibu sudah tiada? Hawa panas terasa di punggungnya, di tengah hujan yang turun deras. Rumahnya meledak, bersama ibu Sriti di dalamnya. Nung tidak mau menoleh untuk memastikan. Ibu menyuruhnya berlari, dengan empat buah cangkir yang ditutup kain kedap air, jauh dari rumah. Lari sejauh-jauhnya, dari rumah, karena Sang Buto Ijo akan mengejarnya. Nung menggigit bibirnya, menahan tangis yang memaksa untuk tertumpah. Tapi Nung harus berlari sekarang. Menangis untuk hari lain. Hari ini berlari.

Bulan tidak menampilkan dirinya malam itu. Awan hujan menutupi cahayanya. Hujan menghantam bumi dengan keras, membuat hutan ini terlihat kembali asing bagi Nung. Dia tidak pernah tahu bagaimana rupanya di malam hari, ibu Sriti tidak pernah mengijinkannya keluar di malam hari. Ibu Sriti ... apakah kau masih ada? Apakah kau berhasil bersembunyi? Kenapa aku harus pergi di ulang tahunku yang ke delapan belas, alih-alih menjagamu dari serangan sang Buta? Nung harus kembali nanti, mencari tahu apakah ibu Sriti selamat. Mencari untuk hari lain. Hari ini berlari.

Dentum langkah Sang Buto Ijo membangunkan Nung dari lamunannya. Dia beranjak bersegera untuk berlari lagi. Sulit untuk melesat. Sepatu butnya penuh lumpur di luar dan di dalam, dan jubah kulit rusanya makin berat karena menyeret di lumpur dan tertimpa air hujan. Dia mendekap ke empat kantong cangkir ibu Sriti dan berusaha sekuatnya untuk berlari. Petir menyambar dan menerangi deretan pohon di depannya. Untuk sesaat, pemandangan itu begitu indahnya. Nung mengambil langkah lebar dan terus berlari.

Aku lahir di hutan ini, kenang Nung tiba-tiba. Ibu Sriti sering bercerita bagaimana dia menemukan Nung. Ibu Sriti tinggal sendirian dan mengharapkan memiliki seorang anak gadis. Dia menemukan Nung di hutan ini, tertidur di atas kelopak anggrek putih raksasa. Ibu Sriti bercerita tidak seharusnya dia mengambil Nung dari anggrek itu, karena pemiliknya adalah Sang Buto Ijo. Ibu Sriti tidak pernah bercerita bagaimana dia bisa membesarkan dan merawat Nung tanpa gangguan Sang Buto Ijo selama delapan belas tahun ini. Yang selalu dia ceritakan adalah rasa cinta yang mengalir menghangatkan hati ibu Sriti ketika melihat Nung yang masih bayi. Rasa hangat yang juga Nung rasakan selama dirawat dan dibesarkan ibu Sriti.

Rasa hangat yang baru saja padam ketika Sang Buto Ijo mendatangi mereka tadi, dan seluruh kehidupan Nung berubah sedemikian rupa. Hangat jadi dingin. Terang jadi gelap. Ria jadi duka.

Kilat menyambar lagi. Satu kilat, dua kilat, tiga kilat. Sambung menyambung seakan memberi tahu dengan cahaya sekejapnya kemana Nung harus menyelinap. Entah sudah sejauh apa Nung berlari, dia tidak bisa tahu pasti. Hujan tidak kunjung mereda, dan nampak tidak akan menghentikan derunya dalam waktu-waktu ini. Jutaan ranting memaksa Nung untuk menghentikan larinya, dengan merenggut jubahnya kiri dan kanan, namun Nung tidak berhenti. Dia menarik tudung jubahnya menutupi kepalanya, agar setidaknya air hujan tidak menghalangi pandangannya.

Tapi ternyata air matanya yang membuat buram. Nung baru tersadar bahwa dia berlari sambil menangis tersedu. Dia ingin berhenti saja. Tapi ibu Sriti menyuruhnya berlari terus. Sampai kapan, Bu? Sampai ka...

“Disitu kau rupanya!” sebuah suara menggelegar dari belakangnya. Nung menjerit dan terjatuh ke lantai hutan. Dia menoleh dan melihat samar garis luar tubuh Sang Buto Ijo berdiri di belakangnya. Makhluk itu besar, tingginya tiga kali lipat tingginya. Dia terlihat kuat dan berat, namun bagaimana dia mampu mengejar Nung sejauh ini, adalah pertanyaan yang harus ditanyakan di lain hari. Hari ini berlari.

“Kamu tidak akan bisa lari, Nung!” Sang Buto Ijo mendentumkan kakinya melangkah mendekati tempat Nung terjatuh, “ibumu sudah menjanjikanmu kepadaku delapan belas tahun yang lalu! Ini sudah takdirmu, nduk!”

Apa? Nung menjejakkan kedua kakinya lagi ke tanah, dan berusaha mendorong dirinya bangun. Apa maksudnya menjanjikan diriku? Sang Buto Ijo mendentumkan kakinya ke tanah, dan seisi hutan gemetar, dan petir menyambar beriringan. Seakan satu suara, dan Nung adalah suara sumbang. Nung kehilangan keseimbangannya dan kembali limbung ke pelukan lumpur di lantai hutan. Nung merintih setiap kali mengambil nafas, dan tangannya berusaha mencari sesuatu di tanah. Daun. Rumput. Tidak adakah batu?

Dentuman kaki Sang Buto mendarat lagi, kali ini tanpa iringan petir. Nung terlempar sedikit dari tempatnya jatuh, dan cangkir-cangkir pemberian ibunya berkelotakan. Dia mendekat. Apa yang mau dia lakukan padaku? Nung mengambil satu cangkir dan tanpa berpikir macam-macam, melemparkannya ke arah Sang Buto Ijo.

Cangkir itu pecah di depan Sang Buto, kain penutupnya sobek terbuka dan suara desis yang nyaring mengumumkan, “ATEEEEEENNGGG!!!”. Cahaya hijau menyilaukan membelesak terpancar dari tempatnya. Sang Buto terkejut dan celingukan. Aroma pahit dan tajam memenuhi tempat mereka. Sihir apa ini? Bau ini. Pahit tapi nyaman. Kopi?

“Kamu masih kecil, tidak boleh minum kopi,” kata ibu Sriti. Cahaya matahari sore yang hangat menembus gubuk kami, menegaskan debu-debu kecil yang selalu beterbangan yang hanya terlihat jika cahaya menimpanya.

“Jadi kapan Nung boleh minum kopi?” ujarku manja. Aku ingat senyum ibu Sriti. Hangat.

Nung menyentak dirinya keluar dari kenangan manis. Ibu Sriti sudah tidak ada. Kenangan hanya untuk hari lain. Sang Buto Ijopun terlihat tenggelam dalam kenangannya sendiri. Menatap nanar entah ke mana dan tersenyum-senyum. Dia tidak menyadari bahwa serangkaian tumbuhan menjalar mulai merayapi kakinya.

Hari ini, lari.

Hujan masih tidak ramah. Bulan masih bersembunyi. Nung menginginkan panduan, tapi baik cahaya maupun ibu Sitri tidak ada bersamanya. Rasa kesendirian perlahan mengambil alih, beriringan dengan rasa sakit di telapak dan lututnya. Air mata tidak lagi mengalir, cukup air hujan saja yang mendera wajahnya, dan jubahnya, dan seluruh tubuhnya. Kenapa ibu Sitri memberinya secangkir kopi dan kenapa melemparkannya bisa menghentikan kejaran Sang Buto Ijo adalah pertanyaan untuk lain hari. Untuk hari ini, ...

“Lari?” suara Buto Ijo menyambut laju pikiran Nung. Tidak perlu menoleh lagi untuk memastikan siapa yang mengejarnya. Dia lepas dari jeratan, rupanya. Nung menyentak satu kakinya dan berbelok ke kanan seketika, mengkelindankan dirinya dengan batang-batang pohon. Sang Buto Ijo menggeram putus asa, menandakan gerakan Nung tadi membuatnya kehilangan jejaknya. Berhasil. Nung lalu mendadak bergerak ke kiri, setelah merasa dia sudah cukup jauh. Pola liku-liku ini diulang-ulang oleh Nung.

Suara bergemuruh dan bergemerisik menggema di atas Nung. Batang-batang pohon melesat kencang di atas dan di sekitar Nung. Dedaunan bertebangan tak tentu arah. Nung terjatuh lagi dan jubahnya terkoyak lepas dari tubuhnya. Dia menjerit melihat Sang Buto sudah muncul di belakangnya, menggenggam jubahnya. Trik berlari berlikunya tidak lagi berhasil mengecoh Sang Buto. Matanya yang merah menyala menatap mata Nung. Sang Buto menggeram memamerkan taring-taringnya, dan geramannya mengakibatkn getaran kecil di sekitar Nung.

Tanpa berpikir panjang, Nung melemparkan cangkir kedua. Kali ini langsung ke wajah Sang Buto.
“RAAAAMBUUUUNG!!!” desis suara yang keluar dari cangkir. Cahaya kuning menyala ketika cangkir itu pecah dan kainnya terbuka. Sang Buto berteriak sekarang, membuat getaran yang cukup melambungkan Nung ke belakang. Udara seketika menjadi lebih hangat, tapi menyesakkan. Aroma pahit dan sedikit asam menular di udara. Cahaya kuning itu lembut menyentuh sekelilingnya.

“Kalau kamu sudah delapan belas tahun, kamu baru boleh mencicipi kopi,” cerita ibu Sitri sambil mengelus rambutku suatu siang di pekarangan rumah kami. Aku membaringkan kepalaku di pangkuan ibu Sitri dan memandangi senyumnya.

“Kenapa ketika aku delapan belas tahun, Bu?” serombongan kupu-kupu berwarna kuning beterbangan di sekitar kami.

“Kalau sekarang kamu coba kopinya,” lanjut ibu Sitri, “kamu tidak akan suka...”
Aku lantas duduk tegak dan menatap matanya yang penuh cinta. Matanya selalu penuh cinta, “kan belum aku coba, Bu...”

“Nanti saja. Kamu akan tahu betapa hangatnya aroma kopi ketika kamu dewasa nanti. Betapa dia bisa menggiringmu dari kegelapan yang mengejarmu...”

Tiba-tiba rombongan kupu-kupu kuning itu muncul di antara Nung dan Buto Ijo. Sebelum Nung bisa memahami apa yang terjadi di hadapannya, satu per satu batang-batang bambu tumbuh mencuat. Satu, dua, lima, sepuluh. Makin lama makin cepat dan banyak, membentuk sepetak hutan bambu.

“Lari, Nung!” terdengar serombongan suara yang walau sulit dipercaya, Nung yakin diteriakkan oleh rombongan kupu-kupu tadi. Nung tidak berpikir lagi, dia langsung melesat berlari, karena nampaknya hutan bambu itu tumbuh mendekat kepadanya, dan dia bisa mendengar geraman dan bentakan Sang Buto Ijo yang berusaha menghancurkan hutan bambu yang menghalanginya dari Nung. Tanpa jubahnya, Nung merasa larinya lebih ringan, dan dinginnya hujan di malam hari tidak mengganggunya, sepertinya akibat bersentuhan dengan kekuatan kopi Rambung. Rombongan kupu-kupu kuning itu terbang di depan Nung, menunjukkannya jalan.

Sebuah ladang luas terbuka seketika di hadapan Nung. Rupanya para kupu-kupu itu menunjukkan jalan keluar dari hutan, karena mereka tiba-tiba menyebar dan menghilang. Hujan mulai mereda, walau masih jatuh semena-mena. Hari ini, lari. Andai saja kaki Nung tidak sesakit sekarang, dia ingin melesat secepat-cepatnya. Tapi dia harus berlari terus, tidak tahu kapan pelariannya selesai. Tidak tahu apa yang akan ditemuinya. Tidak tahu apakah bisa bertemu ibu Sitri lagi. Setidaknya sekarang dia tahu dua cangkir kopi yang dibawanya bisa digunakan untuk apa. Jika cangkir terakhir habis, entah apa ...

Setelah berlari kira-kira dua puluh depa, Nung bisa mendengar dentum langkah Sang Buto yang baru saja berhasil menembus hutan, jauh di belakangnya. Nung menghentikan langkahnya, lalu berbalik. Dia melemparkan cangkir ketiga, dan kali ini bersiap untuk melihat apa yang akan terjadi. Cangkir itu pecah sekitar dua depa di hadapannya. Raungan “LINTOOOONG!!” terdengar dan dari pecahan cangkir itu keluarlah cahaya biru yang menyenangkan. Kehangatan kembali muncul di sekelilingnya. Lebih hangat dari kopi-kopi sebelumya. Kali ini aromanya lebih berlapis: pahit, asam, manis. Ladang luas yang menjembatani dirinya dan Sang Buto berubah menjadi lautan dengan ombak yang mengamuk, Sang Buto langsung jatuh ke lautan itu meronta-ronta.

“Apapun yang terjadi, Ibu sayaaang sekali sama Nung...”

Nung tersenyum mengenang ibunya. Sementara Sang Buto masih bergumul berusaha mengangkat dirinya keluar dari permukaan lautan.

“Sejak Ibu pertama kali melihatmu di atas anggrek putih itu, Ibu tahu, kalau Nunglah putri yang Ibu idam-idamkan. Ibu sangat berharap kamu selalu bahagia...”

Nung merasakan kehangatan mengalir dari matanya dan menjalari pipinya.

“Tunggu aku gadis kurang ajar!!! Jangan kamu lari lagi!!!” teriak Sang Buto, yang kelihatannya mulai bisa mengendalikan dirinya dan berenang cepat ke arah Nung.

“Kamu tinggal punya satu cangkir lagi, gadis bodoh. Setelah itu kamu tidak akan bisa lagi menghindari kejaranku!!!” lanjutnya diantara mengambil nafas dan membenamkan wajahnya ketika berenang.

“Kopi akan selalu memberikan kehangatan...” bisik Nung pada dirinya sendiri, lalu menjatuhkan cangkir terakhir ke dalam lautan tempat Sang Buto berada.

“JAAAAVAAA...”

Cahaya merah merekah di atas lautan. Udara terasa lebih tebal. Harum pahit manis merebak di udara. Kali ini tidak terlalu asam, tapi ada jejak-jejak rasa berkarat. Hujan tinggallah gerimis, beriringan dengan air lautan yang berubah pekat dan padat menjadi lumpur. Sang Buto Ijo terkejut dengan perubahan tiba-tiba dengan air yang sedang dia arungi. Setelah melihat sekelilingnya, senyum merekah di wajahnya. Matanya yang merah menyala kembali menatap ke arah Nung.

“Hahahah!” gelegarnya, “air ini jadi padat! Terimakasih pada kopi-kopi ibumu itu!” kedua tangannya menjejak ke genangan lumpur padat yang baru saja terbentuk dan dengan satu dorongan, dia menolakkan tubuhnya yang tadi terbenam setengah naik ke permukaan. Setelah menapak lagi, Sang Buto bergegas berlari ke arah Nung.

Tapi Nung pasrah, tidak mau berlari lagi.

“Apapun yang terjadi, Ibu sayaaang sekali sama Nung...”

“Kau itu milikku, Nung!” gelegar Sang Buto, sambil berlari berdentum, “ibumu itu mencurimu dariku! Dia berjanji menyerahkanmu kembali padaku setelah kau berumur delapan belas tahun!!”

“Kenapa ketika aku delapan belas tahun, Bu?” sekarang Nung mengerti kenapa. Dia tersenyum dan memandangi langit. Awan berarak membuka tirainya. Bulan purnama mengintip perlahan. Kalau ibunya masih hidup, dia ingin memeluknya sekarang.

Tiba-tiba lautan lumpur padat di hadapannya bergetar, dan retakan-retakan serta merta terbentuk melintasinya ke berbagai arah. Cahaya kemerahan muncul dari retakan-retakan itu lalu kemudian retakan-retakan itu melebar. Desisan-desisan dan suara getaran menggema dari berbagai penjuru. Sang Buto terhenti dari larinya dan memandang sekelilingnya dengan kebingungan. Lahar panas membuncah keluar dari retakan-retakan, Sang Buto berusaha mencari tapakan kaki, tapi setiap dia melangkahkan kakinya ke bagian lumpur, potongan lumpur itu dengan mudah terbenam ke dalam cairan lahar yang menyala dan membakar kaki Sang Buto Ijo. Raksasa itu mengerang dan menggeram, berusaha sekuat tenaga untuk keluar dari lahar. Satu-satunya yang bisa dia lakukan hanya berteriak, melemparkan ancaman-ancaman ke arah Nung, tapi lahar panas itu menelannya pada akhirnya. Kopi-kopi ibu Sriti menyelamatkan Nung dari kejaran Sang Buto Ijo.


Tidak perlu menunggu besok menunggu jawaban. Tidak perlu menunggu besok untuk mencari tahu apakah ibu Sriti selamat. Hari ini, berlari pulang. Sang purnama bersinar terang, tanda setuju.

1 komentar:

  1. Hehe seru. Gua suka pilihan katanya. Perasaan Nung juga tergambar baik. Kalo harus kritik justru pilihan ceritanya yang sangat setia pada materi asalnya. Kalau sedikit lebih liar dalam interpretasinya sepertinya bisa lebih bikin penasaran

    BalasHapus