Senin, 24 April 2017

[MANUSRIPT] 02 Chapter 1 - Suradji 1 [draft 2]

“Pukul 22.00 waktu Pasifik. Detektif Mulyana Suradji melapor telah mendarat di Viridis...,” suara gemuruh STM - Special Transfer Mobile yang menyalakan mesinnya bergema ke sekelilingnya, dan ketika semuanya mereda kembali, “... di Viridis 15. Akan melapor kembali jika aku sudah ada di bagian yang kurang berisik. Mulya out.” Dia kemudian mencopot apparat dari telunjuknya dan mengantonginya ke bagian dalam mantelnya. Lebih baik berhati-hati di Viridis. Maskernya yang lebih seperti helm luar angkasa membuat dia kepanasan, tapi mungkin ini karena ketidaknyamanan dia berada di Viridis.

Ada beberapa Viridis menyebar di seluruh dunia, dibangun beberapa dekade yang lalu, untuk membersihkan air laut bumi yang sudah mati. Jauh ketika manusia masih lebih optimis. Idealnya, kompleks ini tidak untuk didiami manusia, hanya sebuah fasilitas raksasa. Tapi kemudian, pemberontakan, pembuangan tawanan politik, membuat mereka dan keturunannya membangun kota-kota gubuk dari logam-logam pretelan dan menciptakan habitat baru di sini. Darat dan Viridis memiliki hubungan perdagangan yang tidak stabil, dihiasi oleh perampokan dan penipuan, sampai tidak jelas lagi siapa yang benar. Seluruh kompleks raksasa itu terlihat seperti kaleng, dengan warna dominan hitam dan jingga oksidasi.

Mulya melangkah cepat-cepat dari gerbang terowongan lintas laut, melewati rentetan panjang manusia yang berbaring di sepanjang dermaga yang lagi-lagi logam. Mulya tidak yakin mereka berbaring, atau dibaringkan. Sudah mati, atau menunggu mati. Wabah menyerang paling keras di Viridis-Viridis, dan mereka tidak punya perangkat memadai untuk menahan progresinya, jadi orang-orang yang terjangkit diletakkan saja di dermaga, untuk nantinya dibuang ke laut jika ada yang kaku dan mulai mengeluarkan bau. Asam laut akan menyelesaikan apa yang tersisa dari mayat-mayat tersebut. Entah kapan Viridis akan mencapai tujuan pembuatan mereka jika manusia terus-menerus menambahkan racun ke laut. Mata mereka yang masih hidup umumnya berwarna keunguan, kosong. Mulya selalu merasa tatapan-tatapan mereka adalah tatapan menghakimi. Mengapa orang darat tidak peduli dengan kami?

Orang daratpun tidak memiliki pemecahan untuk ini, setidaknya belum, jawab Mulya dalam hati untuk pertanyaan khayalannya, sambil menekan tombol penyaring udara di maskernya kencang-kencang ke level sepuluh, untuk mencegah bau logam, karat, darah, atau mungkin kematian sampai ke hidungnya. Orang darat harus selalu mengenakan masker sepenuh wajah ke Viridis, tubuh mereka sensitif untuk udaranya. Apa yang bisa diharapkan dari udara penuh oksidasi dan laut yang mati? Umur pendek dan mata perih?

“Detektif!” Andreika berlari-lari menyambutnya. Dia lahir di Viridis, jadi tidak perlu mengenakan masker. Mulya menggeram, dia selalu kesal jika Andreika yang ditugaskan mendampinginya. Dia seharusnya tidak bekerja di lapangan, “aku sudah mengurus kelengkapan Bapak. Lebih baik kita cepat.”

“Apakah Dr. Randall sudah diamankan?” Mulya menekankan ke lima jarinya pada pad yang dijulurkan Andreika. Komputer pad itu menjerit gembira mengkonfirmasi identitasnya. Mulya melanjutan langkah cepatnya, Andreika berusaha menyusulnya.

“Subjek sudah diamankan di Divisi Keamanan, “ wow kabar buruk, “mereka kekurangan orang. Jadi lebih baik kita cepat, pak. Sedang banyak aksi protes di Viridis ini. Dua titik di kota gubuk, dan satu kelompok mencoba merusak inti Viridis. Memakai masker adalah cari mati untuk waktu-waktu ini, Pak.”

Bukannya selalu berbahaya setiap waktu, ya? “Yah, mau bagaimana lagi?” Memakai masker di Viridis adalah penanda visual untuk orang-orang darat, membuat mereka rawan terkena tindak kriminal sepele, seperti perampokan apparat jari dengan memotong jari, “cek latar belakang?”

“Siap, pak. Sudah saya update ke apparat bapak. Terenkripsi.”

Andreika lebih cocok untuk pekerjaan riset. Mulya memasang apparatnya dan membacanya. Lalu, “Saya harap kita tidak perlu menggunakan cara murahan ini. Berikutnya, apakah ada intelejen lebih lanjut tentang Patinnassarani?”

“Belum ada, pak.”

Entah sudah berapa lama Mulya menahan dirinya untuk tidak mencekik Andreika, jadi dia hanya berhenti melangkah, menarik nafas panjang, dan menghembuskannya, merasakan rasa pahit yang tumbuh di lidahnya. Dia melanjutkan jalannya, “Baiklah. Nampaknya semuanya tergantung pada diriku.”

--

“Kami bisa mengatasi masalah ini sendiri, tidak perlu campur tangan orang darat,” suara serak dan bergemuruh Kapten Grondix menyambutnya ketika dia melangkah masuk ke markas Divisi Keamanan Viridis - DKV. Lengan seragam birunya sampai ke siku, menunjukkan tato ular di kedua lengan bawahnya. Mantan VIPER, rupanya. Kantung matanya besar sekali, sisi-sisi bibirnya yang tipis menunjukkan hasil cemberut bertahun-tahun, rambutnya cepak dengan uban di sana sini. Penuaan karena bertahun-tahun menjadi kepala keamanan di Viridis, bukan hasil menjadi anggota anggota separatis yang dikebiri. Tiga anak buahnya berdiri di belakangnya, dengan berbagai pose preman yang mengancam dan berbagai tingkat kelelahan.

Lampu di ruangan kaleng itu berkedip-kedip. Mungkin memang sudah akan rusak atau arus listrik menjadi terhambat karena sabotase pemrotes. Di tengah ruangan hanya ada satu meja, sisanya adalah loker-loker arsip yang sepertinya dipulung dari darat. Pintu ganda hanya ada dua, satu adalah pintu masuk mereka, dan yang kedua ada di belakang tukang-tukang pukul DKV ini. Padat dan pengap, pewangi artifisial masker Mulya tidak menghindarkannya dari perasaan tertekan.

“Saya mohon maaf jika kami melangkahi jurisdiksi Kapten. Tapi subjek yang kami maksud untuk lindungi adalah penting untuk orang darat, dan dia secara hukum ada di bawah perlindungan pemerintah Asia Tenggara,” Mulya berharap dengan bersopan santun dengan orang-orang terbelakang ini, dengan memperlakukan mereka seperti manusia beradab, rasa simpatinya bisa tumbuh dan dia lebih mampu mentolerir omong kosong mereka.

“Berharap menyimpan Dr. Randall untuk diri kalian sendiri?” ujar Grondix berkacak pinggang dan meluaskan bidang dadanya.

“Penelitian Dr. Randall adalah penting untuk seluruh manusia, bukan hanya orang darat, atau orang Viridis. Kalau nyawanya terancam, semua orang akan dirugikan,” Mulya menunggu rasa simpati untuk tumbuh, tapi sulit sekali.

“Laboratorium Dr. Randall ada di sini...”

“Tapi laboratorium pusatnya ada di Jawa. Dr. Randall ada di bawah otoritas LVI, “ Laboratorium Virologi Iapetus. Singkatannya saja sudah cukup untuk Mulyana, mengucapkan ‘Iapetus’ selalu membangkitkan rasa aneh di lidahnya, rasa yang belum pernah dia kenal. Menyingkatnya membantu Mulya untuk menganggap tempat itu tidak ada. Toh tidak banyak orang yang tahu singkatannya, “dia adalah aset penting untuk mereka, dan BIAT 10 adalah institusi penyidik khusus yang bertugas melindungi kepentingan LVI.”

“Langsung pada intinya saja, Detektif,” Grondix menekankan kata terakhirnya dengan nada mencibir. Simpatinya pada masyarakat Viridis tidak berhasil dia temui. Mungkin mereka memang tidak pantas diperlakukan dengan hormat.

“Intinya, Kapten,” dengan gigitan yang Mulya harapkan sama dengan sang Kapten, “kami berterimakasih atas kerjasama bapak-bapak sekalian dalam mengamankan Dr. Randall,” Mulya menegakkan posturnya dan membusungkan dadanya juga, dengan harapan memberi kesan mengancam, “tapi tugas bapak-bapak hanya sampai di sini.”

Grondix dan anak buahnya beranjak dari posisi mereka masing-masing dan mendekat lamban-lamban ke arah Mulya. Harus seperti ini interaksi dengan masyarakat Viridis berlangsung. Tidak pernah mereka bisa dibujuk dengan akal sehat. Karat dan udara laut yang mati mungkin mempengaruhi perkembangan otak mereka. Tapi sehancur apapun otak manusia, bagian yang mengatur pemecahan masalah dengan kekerasan tidak pernah rusak. Seperti kecoa yang tahan radiasi. Mulya menyentuh pinggangnya, merasakan pistolnya di balik jubah.

“Kau bukan pemerintah, tapi juga bukan dari Viridis manapun, dan kau melangkah seenaknya ke markas kami memberi kami perintah,” Kapten Grondix mendekatkan wajahnya ke maskernya. Trik mengancam preman. Tidak masalah. Pakai trik yang sama saja.

“Bagaimana kabar Amelia?”

Pertanyaan Mulya berhasil membuat gelombang di ruangan itu. Tidak nyata, tapi seluruh bahasa tubuh mereka berubah. Postur menggertak Grondix masih tidak berubah, tapi ke tiga anak buahnya saling melihat satu dengan yang lain, “apa... yang... ada apa dengan Amelia...” ada yang melintas di mata Grondix, Mulya tidak tahu itu apa.

“Data dari Dr. Randall terakhir mengenai status wabah di Viridis 15 menunjukkan bahwa istri anda...”

“BAIK! Baik!” Grondix melepas seluruh aksi tangguhnya, mengangkat telunjuk dan jari tengah tangan kanannya, isyarat agar pasukan premannya ikut melepas aksi tangguh mereka. Mulya berharap dia tidak lupa lagi memberikan paket parsel pada Andreika atas jasa intelijennya. Grondix mendekatkan wajahnya ke area telinga Mulya dan berbicara dalam frekuensi yang diharapkan hanya bisa didengar oleh mereka berdua, “...kolega dan anak buahku belum tahu Amelia terkena wabah. Apakah kamu bisa mengatur agar dia mendapatkan perawatan di darat?”

“Yang terbaik. Aku sudah meneruskan data mengenai Amelia ke Dr. Priyogo, kepala LVI, agar dia bisa dimasukkan dalam daftar prioritas,” Mulya menyunggingkan senyum yang diatur agar tidak terlalu ramah, tapi juga tidak terlihat palsu. Dia tidak tahu apakah dia jago melakukan olah wajah seperti itu.

Grondix menatap tajam matanya. Kali ini penuh rasa terimakasih. Mulya akhirnya menemukan simpati yang dia cari untuk orang Viridis. Mereka manusia juga. Wajah Grondix seperti bersinar sedikit, seperti ada beban besar diangkat dari pundaknya, “baiklah. Kami akan mengantarkan anda... “

“Detektif!” Andreika menyela, dan tidak sampai sedetik, suara ledakan yang tidak terlalu jauh menggelegar. Lantai markas DKV berguncang hebat, dan mereka untuk beberapa saat ada dalam kegelapan. Rasa pahit di mulut Mulya muncul kembali, rasa yang dia kenal. Cahaya merah berdenyut-denyut dan bunyi sirine rendah tanda darurat menggeram. Dari luar terdengar suara jeritan orang-orang dan teriakan kesakitan.

“Status, Sersan!” teriaknya pada Andreika.

“Dia disini!”

“Siapa?”

“Patinnassarani!”

Rasa pahit di lidahnya menjadi lebih kental, dan tubuhnya menjadi ringan. Adrenalin.

“Kapten Grondix! Di mana Kapten menahan Dr. Randall?” teriak Mulya pada Grondix. Dalam cahaya merah, kelelahan wajah Grondix lebih jelas terlihat. Tidak, itu bukan kelelahan, tapi penyesalan.

--

Lorong penahanan di markas DKV hanya dua meter lebarnya, membuat Mulya, Andreika, dan pasukan bawahan Grondix tidak bisa berlari dalam satu kolom. Dia benci berlari di belakang mereka, tapi gedung ini adalah milik DKV, dan hanya mereka yang tahu di mana Dr. Randall berada. Mulya merasa bisa melesat cepat, menemui Jonas Patinnassarani, residivis yang sudah lama dia kejar. Dalam setahun ke belakang, banyak ilmuwan LVI yang terbunuh dengan rapi, dan hasil penyelidikannya mengarahkannya pada Jonas. Tidak ada data mengenai dia, kecuali mengenai masa kecilnya: dia besar di masyarakat Viridis. Dr. Randall adalah salah satu ilmuwan teratas yang mengerjakan pengembangan sistem perawatan dan antivirus untuk wabah, dan domisili prakteknya yang paling dekat dengan korban Jonas terakhir menunjukkan Mulya bahwa dialah korban berikutnya. Seharusnya kita senang kalau perkiraan kita benar, tapi sekarang kebenaran tidak berarti apa-apa kecuali Jonas bisa dihentikan.

Kenapa dia mengincar ilmuwan LVI, dan kenapa mereka dieksekusi dengan cara seperti itu: disekap dan dihabisi pelan-pelan, selalu menjadi misteri baginya. MediCorps nampaknya tidak mungkin memperlakukan saingannya seperti ini, menggunakan pembunuh bayaran. Catatan mereka bersih, resmi maupun laporan intelijen. Jonas membuat Mulya sulit tertidur, dan ketidakberdayaan Mulya menghubungkan berbagai poin dalam penyelidikannya selalu membuat lidahnya pahit.

Rasanya seperti sudah ratusan pintu penjara melesat cepat di kiri dan kanan mereka, tapi ruangan yang mereka tuju seperti tidak tercapai. Dia menyesali hambatan yang diakibatkan oleh Grondix, dan sekarang Dr. Randall sungguh-sungguh terancam. Pistolnya dia genggam dengan kedua tangan di depan tubuhnya, kunci pengamannya dibuka, membuat lampu led di pinggiran pistolnya menyala hijau, mengalir berdenyut ke depan pucuknya, pertanda siap ditembakkan.

Ketika sampai di depan pintu logam bertuliskan ‘INTE—OGATION R-OM’ di ujung lorong setelah lima kali berbelok, dua orang pasukan keamanan mengambil posisi bersandar pada kedua sisi pintu, diikuti oleh Grondix membawa balok penghancur pintu. Memasukkan kombinasi akan memakan waktu lama, dan mendobrak pintu menjadi alternatif lebih cepat. Untuk ini, Mulya bersyukur bahwa kekerasan dalam otak manusia masih ada. Masih seperti kecoa, tapi kecoa yang berguna.

Bagian ujung balok yang datar ditempelkan pada permukaan pintu, dan dalam getaran kecil, pintu terdobrak ke dalam. Bunyi lantang hanya keluar dari pintu logam, tidak dari alat pendobraknya. Gelombang infrasonik. Boleh juga. Teknologi yang lahir Viridis, tapi patut diintegrasikan ke BIAT 10. Kedua prajurit yang tadi berjaga di sayap-sayap pintu menodongkan senjata mereka ke dalam ruangan, dalam posisi defensif. Mereka perlahan-lahan masuk satu persatu dalam posisi siaga. Angin laut berhembus dari dalam ruangan.

Dr. Randall masih duduk di tengah ruangan, tak sadarkan diri dengan kepala dan kedua tangannya di atas meja. Cahaya matahari sore yang kemerahan jatuh ke atasnya dari lubang di langit-langit. Rupanya bagian langit-langitlah yang meledak tadi. Pemandangan ini mengingatkan pada lukisan-lukisan Yesus yang sedang berdoa di hutan, beberapa saat sebelum kematiannya. Cahaya turun menyamping ke wajahnya yang memandang balik ke langit. Suara-suara kebingungan dan kesakitan terdengar dari luar kompleks gedung.

“Andreika, cek vitalnya!”

Andreika melesat ke tubuh Dr. Randall dan menempelkan jari telunjuk dan tengahnya ke nadi lehernya, “Dia hanya pingsan, Detektif!”

Tiba-tiba semuanya terjadi begitu cepat. Dalam beberapa detik, seluruh pasukan DKV yang mengawal mereka jatuh satu persatu dengan erangan yang mengerikan. Lidah Mulya pahit. Saat berikutnya, Andreika terlempar ke dinding. Masker wajah Mulya terlepas sempurna dari kepalanya, dengan rasa sakit di rahang kanannya menyusul. Bau Viridis berebutan masuk indera penciumannya seketika. Tidak ada bau karat, tidak ada bau kematian, hanya aroma laut. Detik berikutnya dia melihat pistol yang dia pegang melesat ke belakang Dr. Randall. Untuk sesaat, dia merasa terbebaskan. Menggenggam pistol baru terasa sebagai beban ketika pistol itu terlepas dari tangannya --atau lebih tepatnya, pistol, tangan, beserta lengan bawahnya lepas dari tungkainya. Rasa pahit dalam mulutnya pelan-pelan tergantikan dengan rasa menusuk luar biasa dari apa yang tersisa dari tangan kanannya.

Mulya menjerit, tapi tak bisa mendengar suaranya sendiri. Seluruh ruangan berputar. Jonas hanyalah siluet di hadapannya, satu tangan memeluk torso Dr. Randall, satu tangan memegang benda panjang – pedang, yang matanya diarahkan ke leher Dr. Randall. Posisi menyandera.



Tinggi 170 cm, postur tubuh rata-rata. Tidak ada bau karat, tidak ada bau kematian, hanya aroma laut.

3 komentar:

  1. gw ngerasa dunia di cerita ini punya potensi asik. tapi sayang kurang dijabarkan, mastah. I want to feel to be "alive" inside this place.

    BalasHapus
  2. Bagus Yor, suasananya terasa, tapi sepertinya bisa dibuat lebih klaustrofobik lagi kalau diinginkan. Anyway, ada beberapa usul gua untuk beberapa kalimat nih:

    1.
    “Detektif!” Andreika berlari-lari menyambutnya. Dia lahir di Behemoth, jadi tidak perlu mengenakan masker.

    Kalimat ini potensial untuk menceritakan bagaimana fisiologi orang yang lahir di Behemoth sudah agak berbeda dari yang lahir di darat. Gimana kalo dielaborasi sedikit? Misal:

    “Detektif!” Andreika berlari-lari menyambutnya. Andreika lahir di Behemoth, sebagaimana Orang Behemoth lainnya, ia tak perlu memakai masker. Mutasi setelah seumur hidup di lingkungan Behemoth membuat manusia-manusia Behemoth bisa bernapas bebas di lingkungan yang beracun bagi Orang Darat. "Manusia," kadang terbersit di pikiran Mulya, "apa mereka masih bisa disebut demikian".

    2.
    Grondix mendekatkan wajahnya ke area telinga Mulya dan berbicara dalam frekuensi yang diharapkan hanya bisa didengar oleh mereka berdua

    Sepertinya istilah yang lebih tepat bukan 'frekuensi' tapi 'volume'.

    3.
    Menggenggam pistol baru terasa sebagai beban ketika pistol itu terlepas dari tangannya, beserta setengah lengan bawahnya.

    Buat gua kalimat ini agak canggung, karena buat gua 'tangan' itu telapak tangan. Mungkin bisa kalimatnya seperti ini?

    Menggenggam pistol baru terasa sebagai beban ketika pistol itu terlepas dari tangannya --atau lebih tepatnya, pistol, tangan, beserta lengan bawahnya lepas dari tungkainya.

    Lanjut gan! :)

    BalasHapus
  3. Gaaah udah ngetik ilang!

    Iya, om. Problem gw ternyata terlalu fokus sama manusia2nya dan lupa fleshing out dunianya. Kayaknya membayangkan diri kita di situ bisa membantu ya. Soal perbedaan fisiologi, gw baru sadar gw udah ngehapus sebagian besar penjelasannya dari draft sebelumnya, dan lupa mempupurnya kembali. Untuk tanggapan2 lainnya, keren banget. Makasiii

    BalasHapus