Rabu, 18 Mei 2016

[FIKSI ILMIAH] Generasi

"Selamat pagi Kapten, selamat ulang tahun," suara itu menyapa. Perempuan, pertengahan 20-an, alto - kontralto, tekstur serak basah, kadangkala sedikit jejak vibrato terdengar di sana sini. Begitulah ia diprogram, emulasi suara aktris abad 21 favorit sang kapten.

Ismail Archer mengedipkan kelopak matanya yang terasa seberat batu. Fisiknya terlihat sehat untuk pria paruh baya. "Selamat pagi Ava, yang ke-berapa ya hari ini?" ia agak terkejut mendengar paraunya suaranya sendiri. "98 tahun Kapten, panjang umur dan sehat selalu," suara Ava terdengar ceria, sintetis tentu saja, tapi cukup untuk menaikkan suasana hati sang kapten. Tujuh puluh tahun sudah... "Terima kasih Ava," senyumnya muncul tanpa disadari. Ia berjalan dari ranjangnya, duduk di atas kursi kerjanya. Layar-layar di atas meja kerjanya menampilkan video hasil tangkapan CCTV dari berbagai dek. Ruang mesin dipenuhi teknisi yang sibuk berjalan ke sana-sini, kamera luar menangkap bintang-bintang berkelap kelip, puluhan kamera di dek hunian menunjukkan kesibukan ribuan manusia yang menjadi penumpangnya. Dari waktu ke waktu Ismail mengagumi betapa besar dan masifnya pesawat yang ia nahkodai ini.

Hari ini adalah hari yang ia tunggu-tunggu, tapi bukan karena ini hari jadinya, di usianya saat ini hari jadi datang dan lewat tanpa banyak meninggalkan kesan.

"Bagaimana kabarmu hari ini Moby?" Ismail berteriak. Sebuah geraman menjawabnya, menggema di seluruh kabin beberapa detik lamanya, dengan frekuensi yang sangat rendah sehingga ia lebih dirasakan dibanding didengar.  ".. bagus bagus," Ismail mengangguk.. "..senang mendengarmu bersemangat begitu. Ava, bisa kau berikan ringkasan eksekutif keadaan Moebius hari ini?" Segera setelah kalimat itu terucap, logo PBB tampil di terminal pribadi Ismail, sejenak saja, kemudian tampil tabel-tabel, grafik, dan angka-angka. "Secara umum keadaan Moebius baik Kapten, sangat baik. Retakan pada sisi kiri akibat tumbukan asteroid dua hari lalu hampir tak tersisa, lapisan kitin tumbuh menutupinya dengan baik. Secara struktural keadaannya seperti baru," Ava menjawab. "Bagaimana dengan elektroniknya? Pemindai tekanan di dekat roket pendorong nomor 3 apakah sudah diperbaiki? Bagian-bagian biomekatroniknya? Hubungan implan dengan jaringan organiknya?" Ismail bertanya tanpa mengalihkan pandangan dari terminal pribadinya. "Semua baik Kapten, pemindai yang malfungsi sudah diperbaiki oleh teknisi dan para drone. Kendaraan kita dalam keadaan puncak" Kalau Ava punya wajah, ia pasti sedang tersenyum sekarang, Ismail seperti ayah yang sedang mengkhawatirkan keadaan anaknya. Memang dari sudut pandang tertentu, Moebius adalah anaknya. "Moby bukan kendaraan Ava, jangan suka meledeknya seperti itu," Ismail menutup tampilan di terminalnya.

Dengan insiden KRI Birang, umat manusia diingatkan bahwa mereka tidak sendirian di alam semesta. Melalui sebuah proses yang kurang lebih demoktratis mereka memutuskan untuk mengumpulkan segala upaya dan sumberdaya untuk mengkolonisasi tata surya lain. Sol adalah tata surya tempat kelahiran manusia, tapi ia tidak boleh binasa di sana. Menimbang untung-ruginya, perjalanan seratus tahun untuk kolonisasi Gliese 581c menjadi patut dilaksanakan, .

Ismail bergabung ke dalam proyek Moebius di awal pembentukannya. Ia menyaksikan kelahiran Moebius, secara cukup harfiah. Ia masih ingat bagaimana makhluk itu dikeluarkan dari salah satu dari puluhan tabung raksasa di galangan eksperimental di Luna. Kulitnya masih lembut dan lunak, agak transparan berbuku-buku seperti larva serangga, tetapi beberapa bagiannya seperti kepala dan sirip vestigialnya mengingatkan pada ikan paus. Moby adalah pesawat kimera sibernetik satu-satunya di dunia. Ia lahir dari kebutuhan untuk sebuah kendaraan untuk perjalanan antar bintang yang bisa memperbaiki dirinya sendiri.

Itu adalah kali terakhir ia melihat Moby dari luar, segera setelahnya Ismail memasuki pelatihan pilot bersama sembilan orang lainnya. Ialah yang akhirnya dipilih untuk menjadi nahkoda Moby. Menurut informasi dari pelatihnya, dari segi nilai sebenarnya ada kandidat lain yang lebih baik, hanya saja Moby menjatuhkan pilihan kepadanya. Pada saat keberangkatan ia diantar meninggalkan orbit Bumi dengan sebuah pesawat ulang alik, dan dari pesawat tanpa jendela tersebut melalui pintu kedap udara langsung ke dalam anjungan yang juga berfungsi sebagai kabinnya. Itulah terakhir kalinya ia melihat pemandangan di luar kabinnya secara langsung. Akses ke bagian lain di dalam Moby tertutup oleh sebuah pintu merah bertuliskan EMERGENCY ONLY yang selalu terkunci.

Ismail memutuskan untuk bertanya untuk terakhir kalinya kepada Ava, mungkin jawabannya berbeda dengan beberapa tahun lalu, "Ava, bisa tolong bukakan akses ke dek hunian?"

"Maaf kapten, seperti yang sudah pernah saya jawab, Anda tahu saya tidak bisa memberikan akses tersebut," Ava menjawab, lemah lembut tapi tegas, tak bisa ditawar. "Seperti pada briefing awal, membuka akses ke anjungan membawa resiko terlalu tinggi untuk keamanan, lagipula..."

Sebelum Ava sempat melanjutkan Ismail menghembuskan napas seperti ratusan kali sebelumnya lalu  berkata, "Oke oke aku paham...heheh, sudah kuduga.. kau tahu kan kalau aku orang biasa, aku pasti sudah gila sekarang? Sendirian di dalam ruangan puluhan tahun seperti ini?"

"Ya kapten, untungnya Anda bukan orang biasa," suara Ava terdengar bercanda. 

"Kapten, sesuai jadwal proses rehat akan segera dimulai," Ava memberitahukan. 

Tiap dekade Moebius akan memasuki proses rehat. Seluruh jaringan intranet antara seluruh komputer yang ada di dalamnya dimatikan, seluruh navigasi dijalankan oleh komputer cadangan yang jauh lebih lemah dibanding komputer utamanya. Proses ini diperlukan untuk melakukan beberapa hal, yang terpenting adalah untuk menyaring informasi-informasi yang tidak berguna dari ratusan sensor yang menyala non-stop di sekujur badan pesawat tersebut, membuat katalog dan mengecek integritas data yang dikumpulkan selama satu dekade terakhir, dan menjalankan fungsi heuristik untuk mencari abnormalitas pada kecerdasan buatannya. 

Yang tak kalah penting, proses sepuluh menit ini memberikan waktu istirahat untuk Moby dari semua rangsangan elektronik dari segala macam sistem yang dikaitkan padanya.

"Ada yang ingin Anda sampaikan sebelumnya? Seperti yang Anda tahu saya akan tidak aktif selama proses rehat," lanjut Ava.

"Tidak ada Ava, thanks untuk pemberitahuannya," pandangan Ismail masih lekat ke terminal pribadinya.

"Oke Kapten, sampai jumpa sepuluh menit lagi. Moby, jaga kapten kita baik-baik," kalimat Ava disambut suara geraman bersahabat Moby.

"Yap," Ismail mengeluarkan suara, matanya terfokus pada hitungan mundur pada terminal pribadinya. Lima menit lagi. 

Ia akan keluar dari kabin ini, apapun yang terjadi.

Ismail menggunakan waktu sepuluh menit setiap sepuluh tahun selama beberapa puluh tahun terakhir ini untuk menuliskan beberapa baris kode dari sebuah perangkat lunak mini. Hari ini ia akan mengeksekusinya. 

Penanda waktu menunjukkan tersisa 5 menit lagi... Ia menuliskan beberapa baris terakhir kode, tersisa  3 menit.. 2 menit, ia menghapus penanda comment dari beberapa baris lainnya... tersisa 1 menit. Compiling.

Pada saat komputer utama baru selesai dinyalakan ulang, sebelum subrutin keamanan dijalankan ia menghubungkan terminal pribadinya ke salah satu port komputer utama dan mengeksekusi kodenya. Di Bumi ia pasti akan diadili sebagai pengkhianat untuk kelancangannya ini. 

Tapi Bumi milyaran kilometer dan puluhan tahun jauhnya.

Untuk sejenak tidak terjadi apa-apa, kemudian suara sirene itu menyala. Berkali-kali. Lampu anjungan yang tadinya kebiruan kini menjadi oranye bergantian dengan merah. Pintu ke dek hunian! Ismail memalingkan wajahnya ke arah pintu merah itu. Tepat di tengah pintu tersebut, sebuah panil terbuka, menampilkan sebuah pemindai telapak tangan. 

Bergegas dari kursi kerjanya Ismail hampir melompat ke arah pintu tersebut, menempelkan telapak tangannya di atas pemindai. Ia bisa merasakan aliran-aliran listrik mikro merambati telapak tangannya, membaca garis-garisnya. Bersamaan dengan bunyi yang terdengar seperti suara petasan dan percikan api, pintu merah tersebut terbuka.

Ismail berdiri terdiam, menghirup kejadian di hadapannya, mengacuhkan sirene yang meraung-raung di sekitarnya. 

Di benaknya, hanya ada dirinya dan pintu itu, dibaliknya terdapat kebebasannya untuk keluar dari penjaranya, untuk melangkah ke dek hunian, untuk berinteraksi lagi dengan manusia lain. Sedikit ragu-ragu ia mendorong pintu tersebut dengan kedua belah tangannya. Berat. Baja setebal lima sentimeter tersebut perlahan bergerak, sampai terbuka seluruhnya. Ia melangkahkan kakinya melewati pintu tersebut.

Ruangan di mana ia berada berukuran tiga kali lima belas meter. Suhu ruangan tersebut minimal sepuluh derajat lebih rendah dibandingkan di dalam anjungan. Di kiri kanan ruang tersebut dipenuhi laci-laci berbagai ukuran, di ujungnya terlihat beberapa tabung dan seperti yang pernah ia lihat di Luna. Tidak ada pintu keluar lain. Safe deposit box? batin Ismail. Tepat di hadapannya, di atas sebuah terminal kecil sebuah tombol bertuliskan EJECT menyala berkedap-kedip, lalu mati. Luput dari perhatiannya sirene pun berhenti bersuara, lampu kembali menjadi biru, terminal pribadinya jatuh dari tangannya berdentang beradu dengan lantai logam.

"Kapten?" suara Ava memecah keheningan. Ia sudah aktif kembali.

"Ava, apa artinya ini?" Ismail bahkan tidak mengerti apa yang sedang ia rasakan saat ini. Kaget? Marah? Takut? 

"Mana jalan ke dek hunian? Mana para penumpang? Mana para teknisi?!"

"Kapten, sepertinya sudah saatnya Anda memahami keseluruhan misi ini. Maafkan saya, Bumi khawatir Anda tidak akan mampu menjalankan misi ini apabila Anda mengetahuinya sejak awal."

"Tahu apa?! Ava? Cepat bicara!" sakit. Ismail merasakan sakit, ia dikhianati, dibohongi.

"Kapten, yang anda lihat melalui monitor di meja Anda adalah simulasi, bukan tangkapan CCTV. Misi kita bukanlah kolonisasi tata surya lain, Moby bukanlah kapal koloni" Ava melanjutkan.

"Moby adalah sekoci penyelamat, Kapten. Misinya adalah menyelamatkan warisan Bumi, benih-benihnya, baik hewani dan nabati untuk ditanam dan berkembang biak di dunia baru. Dan Anda adalah penjaganya."

4 komentar:

  1. '"Selamat pagi Kapten, selamat ulang tahun," suara itu menyapa. Perempuan, pertengahan 20-an, alto - kontralto, tekstur serak basah, kadangkala sedikit jejak vibrato terdengar di sana sini. Begitulah ia diprogram, emulasi suara aktris abad 21 favorit sang kapten.' <--- Scarlett Johannsjah yaaaa

    " betapa besar dan masifnya" <--- agak redundant mas.

    Overall, aku suka mas. Tapi di bagian-bagian akhir kerasa keburu-buru ya mas. Ngga sabar kayak build upnya. Tapi nais nais. Saya sih yes ya

    BalasHapus
  2. Mengingatkan akan Moon-nya Sam Rockwell. Eniwei, menurut gw ini cocoknya jadi novella sih, biar lebih tereksplor setiap sisi-sinya. Mangkanya mungkin seperti kata Yori, kalo cuma cerpen jadi terkesan terburu-buru. And as a sci-fi, I think it checks all the right boxes. Lanjut, gan!

    BalasHapus
  3. Terima kasih komentarnya kakak kakak :D iya keburu - buru Hahaha. Kebaca ya. Tadinya gua mau introduksi satu karakter lagi, tapi ini aja udah 1200an kata.

    Untuk besar dan masif, gua pake kata besar untuk menunjukkan ukuran, dan masif menunjukkan beban dari tugas tersebut. As in 'massive undertaking'. Mungkin perlu dicari padanan kata lainnya ya hehehe.

    BalasHapus
  4. Yang ScarJo gak perlu dikonfirmasi lah ya.. Ehe ehe..

    BalasHapus