Akhir dimulai ketika sesuatu berawal, dan itu bukan salahku.
Aku tidak mengerti apa yang terjadi pada Paula, apa yang bisa kulakukan untuk
menghentikannya, dan apakah semuanya itu ada hubungannya dengan apa yang
kulakukan. Saat kuputuskan untuk meninggalkannya, seluruh dunia membenciku.
Saat kucoba menjelaskan pada orang-orang terdekat kami, mereka tidak menerima
penjelasanku. Mereka hanya menganggapku membuat alasan yang dibuat-buat, jadi
aku berhenti berusaha menjelaskan dan pergi begitu saja. Aku tidak tahan lagi.
Sebaiknya aku terus bergerak dan bukan diam saja di sini.
Semua orang, termasuk Paula, akan bisa menemukanku. Aku bukanlah orang yang
cukup cerdas untuk menyembunyikan jejakku.
Aku membuka sedikit pintu toilet wanita tempatku bersembunyi
dan menengok koridornya. Masih sepi, tidak ada suara, sebaiknya aku mencari
tempat baru sebelum pesawatku berangkat. Aku rasa toilet wanita adalah tempat
yang paling aman. Tidak akan ada lagi yang memakainya. Tapi kalau mereka ke
sini? Aku menutup pintunya lagi dan berbalik mencari jendela yang mungkin bisa
kubuka. Ada di ujung berlawanan pintu. Kira-kira ke mana jendela itu membawaku?
Waktu itu ulang tahun pernikahan kami yang ke dua. Aku
membawa Paula ke Kafk. Sebuah restoran mewah yang baru saja buka. Kami
penasaran, dan aku bangga karena sepertinya aku jarang menunjukkan gestur besar
cinta seperti ini. Jarod kutitipkan pada adikku sebelumnya, jadi kami bebas.
Tempat itu mengejutkan. Seperti di film-film, restoran fine dining dengan
lighting keemasan. Semua orang datang dengan pakaian yang formal dan
waiter-waiternya mengenakan tuxedo. Pengalaman yang baru bahkan untukku. Aku
lupa aku memesan apa, tapi aku ingat Paula memesan salad, yang tidak dia
habiskan. Saat itu aku pertama kali melihat bahwa Paula punya bayangan jam 5
sore, bayangan biru yang biasanya muncul di wajah laki-laki dewasa yang baru
saja bercukur.
Aku mencoba membuka selot jendela toilet wanita itu. Jendela
ini tidak pernah dipakai, karena selotnya seakan sudah menyatu dengan kusennya.
Aku mengerang sambil mendorong putarannya ke kanan, dan jendela itu tersentak
ke luar ke arah atas. Sebuah lorong remang-remang dengan banyak pipa-pipa di
balik jendela. Ruangan perawatan? Mungkinkah ini menuju tempat lain? Sepertinya
orang sebesar aku muat masuk kesini. Apakah aku harus lari sekarang? Aku tunggu
sampai kalau ada suara-suara saja.
Paula tidak pernah kehilangan bayangan jam 5 sorenya. Aku
awalnya berpikir bahwa itu hanya karena ilusi cahaya lampu restoran, tapi
ternyata tidak. Kalau aku mencium pipinya, aku merasakan sedikit kekasaran, dan
pisau cukurku lebih cepat tumpul dari biasanya. Sepertinya Paula memakainya.
Aku tidak membahasnya ke Paula, walau rasanya aneh ketika mencium dia. Aku
takut menyinggung perasaannya. Paula adalah wanita yang sensitif, dan hal ini bisa
membuatnya tertekan. Mungkin. Aku tidak yakin. Kecuali kalau suatu hari rambut
wajahnya terlihat melebat ... .
“Perhatian untuk penumpang pesawat Nippon Airways dengan
nomor penerbangan NA 8419 tujuan Tokyo, Jepang. Penerbangan akan mengalami
penundaan sampai dengan pukul 3 sore waktu lokal. Kami ulangi ...”
Apa?
“... perhatian untuk penumpang pesawat Nippon Airways dengan
nomor penerbangan NA 84 ... 29 tujuan Tokyo, Jepang. Penerbangan akan mengalami
penundaan sampai dengan pukul 2 sore waktu lokal. Terima kasih”
Tertunda 4 jam! Cukup waktu buat Paula dan kelompoknya
menyusul aku kemari. Ini tidak bagus. Seharusnya aku membeli penerbangan baru,
bukan penerbangan yang memang tadinya kami rencanakan untuk liburan keluarga.
Paula akan tahu aku kemana. Bagaimana aku bisa begini bodoh?
Ruang sempit di balik toilet wanita ini sepertinya tempat
yang baik untuk bersembunyi, jika aku ingin menunggu 4 jam. Aku melemparkan
koperku yang tidak terlalu besar ke dalam jendela seukuran manusia itu, lalu
menarik diriku ke atas sambil bergelantungan pada kusennya. Di film terlihat
begitu mudah, aku terkejut betapa aktifitas sederhana membuat seluruh tangan
dan bahuku sakit setengah mati. Aku berhasil menyelipkan seluruh tubuhku masuk
ke jendela itu, walau agak tertahan di dada dan jatuh sembarangan ke celah
tembok. Aku merasa sedikit lebih aman.
2 minggu setelah kencan kami, bahu Paula sedikit melebar.
Jakunnya mulai tumbuh dan suaranya makin berat dari hari ke hari. Dia mulai
terlihat aneh dengan baju-baju perempuannya, karena semuanya mulai melonggar di
area dadanya. Rahang dia makin lama makin tegas, dan klitorisnya membengkak,
sebuah detil yang aku sadari ketika berusaha berhubungan seks dengannya. Aku
kebingungan dan akhirnya menanyakan pada dia, apakah dia merasakan ada yang
aneh pada dirinya.
“Paula ... apakah kamu ... apakah kamu sakit? Atau punya
kondisi turunan tertentu yang harus aku tahu?” tanyaku suatu malam di wastafel
kamar mandi.
“Tidak. Kenapa?”
“Kamu sekarang punya jenggot, jakun, dan lebih tegap ... apa
kamu mengkonsumi testosteron?”
“Kamu ini bicara apa sih? Aku kan dari dulu begini.”
Setelah itu dia langsung pergi tidur, tidak baca buku dulu.
Paula begitu jika dia sedang dismisif dan tidak mau lagi ada pembahasan seperti
itu.
Aku menutup jendela kamar mandi itu dari luar dan melihat ke
kiri dan ke kanan. Gelap. Kalau aku bergerak ke kanan, kemungkinan aku akan
kembali ke luar koridor tempat pintu kamar mandi berada. Aku tidak tahu pasti,
hanya mengandalkan feeling dan
interpretasi spatial yang tidak pernah kulatih juga. Aku akan bergerak ke kiri.
Bisa jadi aku hanya ingin bergeser ke kiri tanpa sebab.
Aku berjalan menyamping sambil menggeret koperku di sebelah
kanan. Sarang laba-laba menyambutku perlahan, menumpuk di wajahku seraya aku
terus mendorong diriku ke samping. Udaranya makin terasa padat dan lembab.
Tembok yang terkena kulitku makin terasa dingin. Aku tetap mendorong diriku ke
kiri, dengan sebuah keyakinan bahwa ruang celah di antara ruangan ini tidak
mungkin tidak diberi akses masuk keluar. Pasti aku akan menemukan pintu.
Tolong, please ada pintu.
“Adam?” sebuah suara berasal dari kamar mandi yang baru saja
aku tinggalkan. Mereka menemukanku. Aku tidak berani bergerak dulu, takut
gerakan sekecil apapun akan menimbulkan suara yang bisa mengkhianati posisiku.
Untuk beberapa saat aku hanya bisa mendengar jantungku berdetak di telingaku.
Hari-hari setelah konfrontasiku dengan Paula, aku makin
merasa tidak nyaman. Paula semakin lama semakin dingin, dan semakin maskulin.
Dia mulai sering memakai baju-bajuku karena tubuhnya semakin gagah dan bidang.
Tapi tak seorangpun membahasnya. Teman-temanku tidak menanyakan apa yang
terjadi dengan Paula. Bahkan Jarod putraku tidak bertanya apa-apa mengenai
perubahan ibunya. Walau di mataku Paula berubah sedikit demi sedikit, tapi
nampaknya bagi orang-orang lain, Paula di hari itu adalah Paula yang
seharusnya.
Aku memutuskan untuk pergi. Aku tidak bisa membayangkan
tinggal bersama wanita yang sekarang sudah menjadi laki-laki, dan hanya aku
yang menyadarinya. Untuk beberapa hari aku berpindah-pindah hotel. Paula
mengejarku, dan aku harus kabur dari dia dan rombongan pria (yang tadinya
wanita) melalui pintu-pintu yang tidak lazim: saluran udara, tangga darurat,
lompat jendela, ikut truk sampah, dan lain sebagainya. Baru tadi pagi aku ingat
bahwa aku punya tiket ke Jepang untuk hari ini.
Aku tidak yakin kenapa Paula mengejarku. Apa dia mau
membunuhku karena hanya aku yang menyadari perubahan dia (dan wanita-wanita
lain)? Seharusnya aku tidak pernah menceritakan pada siapapun apa yang kupikir
terjadi pada Paula.
“Jendela ini bisa dibuka, Paula!” diikuti suara jendela yang
tadi aku buka dari toilet wanita. Sial. Bagaimana mereka bisa tahu?
“Adam pasti lari ke situ! Ayo semuanya kejar dia!”
Tidak ada waktu untuk merasakan apapun. Aku bergerak secepat
mungkin ke kiri, melanjutkan perjalananku menuju pintu yang aku masih belum
yakin ada di sana atau tidak. Aku tidak mendengar apa-apa lagi selain detak
jantungku sendiri, nafasku yang tidak keruan, dan gemerisik baju dan koperku
melawan tembok dan kelindanan pipa-pipa.
“Paula! Ada orang di sini! Kamu benar!”
“Kejar dia!”
Sialan! Mana pintu! Pintu.
Sebuah pintu merah muncul pada akhirnya di hadapanku. Aku
mencari pegangan atau engselnya. Aku membenturkan lengan atas kiriku pada badan
pintu itu kuat-kuat, karena tidak ada waktu lagi mencari pegangan atau engsel.
Pintu itu terbuka dengan mudah, tidak terkunci ternyata. Lorong perawatan tadi
langsung berhubungan dengan area ruang tunggu Gerbang 9, dan aku bisa merasakan
tatapan orang-orang ke arahku. Dadaku sakit sekali akibat bergesekan dengan
tembok. Aku cepat-cepat berdiri untuk kembali, tapi sulit. Aku tahu Paula dan
teman-temannya menyusul di belakangku. Aku lemas. Aku harus sembunyi di
mana sekarang. Gerbang 4 jauh dari sini.
Seorang pria mencoba menolongku, “kau tidak apa-apa, nona?”
Aku menepis tangannya dan berlari menembus orang-orang untuk
lari entah ke mana lagi. Aku harus kabur dari Paula.
damn, keren. Dan gua bahkan gak yakin gua beneran ngerti cerpen ini.. hahaha.. lemme try... Narator mungkin perempuan yang meproyeksikan dirinya ke pasangannya, dan memproyeksikan pasangannya ke dirinya sendiri, pelan-pelan proyeksi tersebut semakin rapuh, sampe akhirnya runtuh sama sekali. Atau, seperti referensi pada label dan nama restorannya, cerpen ini memang Kafka-esque dan gak ada penjelasannya. Die Verwandlung ?
BalasHapusAhuhu. Cerpen ini apa adanya aja kok mas. Semua perempuan berubah jadi laki-laki aja, tanpa penjelasan dan makna terpendam. Narator pikir dia masih laki-laki, padahal dia berubah juga. Pengennya sih ngulik kengerian kalo hal ini benar-benar terjadi, tapi kyknya kurang krn gw fokus ke perubahannya
BalasHapushooo.. hahaha berarti emang kafka-esque ya? ga ada penjelasannya? suspense nya dapet sih. Gua miss perubahan gradual dari naratornya kayanya, soalnya dari pertama dia udah di toilet perempuan, kalau dia mikir dia masih laki2 harusnya dia masih di toilet laki2 kan?
Hapusgw kira ini dark comedy... 😬
BalasHapus