Minggu, 01 Mei 2016

[SUSPENSE] Paula



Akhir dimulai ketika sesuatu berawal, dan itu bukan salahku. Aku tidak mengerti apa yang terjadi pada Paula, apa yang bisa kulakukan untuk menghentikannya, dan apakah semuanya itu ada hubungannya dengan apa yang kulakukan. Saat kuputuskan untuk meninggalkannya, seluruh dunia membenciku. Saat kucoba menjelaskan pada orang-orang terdekat kami, mereka tidak menerima penjelasanku. Mereka hanya menganggapku membuat alasan yang dibuat-buat, jadi aku berhenti berusaha menjelaskan dan pergi begitu saja. Aku tidak tahan lagi.


Sebaiknya aku terus bergerak dan bukan diam saja di sini. Semua orang, termasuk Paula, akan bisa menemukanku. Aku bukanlah orang yang cukup cerdas untuk menyembunyikan jejakku.
Aku membuka sedikit pintu toilet wanita tempatku bersembunyi dan menengok koridornya. Masih sepi, tidak ada suara, sebaiknya aku mencari tempat baru sebelum pesawatku berangkat. Aku rasa toilet wanita adalah tempat yang paling aman. Tidak akan ada lagi yang memakainya. Tapi kalau mereka ke sini? Aku menutup pintunya lagi dan berbalik mencari jendela yang mungkin bisa kubuka. Ada di ujung berlawanan pintu. Kira-kira ke mana jendela itu membawaku?


Waktu itu ulang tahun pernikahan kami yang ke dua. Aku membawa Paula ke Kafk. Sebuah restoran mewah yang baru saja buka. Kami penasaran, dan aku bangga karena sepertinya aku jarang menunjukkan gestur besar cinta seperti ini. Jarod kutitipkan pada adikku sebelumnya, jadi kami bebas. Tempat itu mengejutkan. Seperti di film-film, restoran fine dining dengan lighting keemasan. Semua orang datang dengan pakaian yang formal dan waiter-waiternya mengenakan tuxedo. Pengalaman yang baru bahkan untukku. Aku lupa aku memesan apa, tapi aku ingat Paula memesan salad, yang tidak dia habiskan. Saat itu aku pertama kali melihat bahwa Paula punya bayangan jam 5 sore, bayangan biru yang biasanya muncul di wajah laki-laki dewasa yang baru saja bercukur.


Aku mencoba membuka selot jendela toilet wanita itu. Jendela ini tidak pernah dipakai, karena selotnya seakan sudah menyatu dengan kusennya. Aku mengerang sambil mendorong putarannya ke kanan, dan jendela itu tersentak ke luar ke arah atas. Sebuah lorong remang-remang dengan banyak pipa-pipa di balik jendela. Ruangan perawatan? Mungkinkah ini menuju tempat lain? Sepertinya orang sebesar aku muat masuk kesini. Apakah aku harus lari sekarang? Aku tunggu sampai kalau ada suara-suara saja.


Paula tidak pernah kehilangan bayangan jam 5 sorenya. Aku awalnya berpikir bahwa itu hanya karena ilusi cahaya lampu restoran, tapi ternyata tidak. Kalau aku mencium pipinya, aku merasakan sedikit kekasaran, dan pisau cukurku lebih cepat tumpul dari biasanya. Sepertinya Paula memakainya. Aku tidak membahasnya ke Paula, walau rasanya aneh ketika mencium dia. Aku takut menyinggung perasaannya. Paula adalah wanita yang sensitif, dan hal ini bisa membuatnya tertekan. Mungkin. Aku tidak yakin. Kecuali kalau suatu hari rambut wajahnya terlihat melebat ... .


“Perhatian untuk penumpang pesawat Nippon Airways dengan nomor penerbangan NA 8419 tujuan Tokyo, Jepang. Penerbangan akan mengalami penundaan sampai dengan pukul 3 sore waktu lokal. Kami ulangi ...”

Apa?

“... perhatian untuk penumpang pesawat Nippon Airways dengan nomor penerbangan NA 84 ... 29 tujuan Tokyo, Jepang. Penerbangan akan mengalami penundaan sampai dengan pukul 2 sore waktu lokal. Terima kasih”

Tertunda 4 jam! Cukup waktu buat Paula dan kelompoknya menyusul aku kemari. Ini tidak bagus. Seharusnya aku membeli penerbangan baru, bukan penerbangan yang memang tadinya kami rencanakan untuk liburan keluarga. Paula akan tahu aku kemana. Bagaimana aku bisa begini bodoh?
Ruang sempit di balik toilet wanita ini sepertinya tempat yang baik untuk bersembunyi, jika aku ingin menunggu 4 jam. Aku melemparkan koperku yang tidak terlalu besar ke dalam jendela seukuran manusia itu, lalu menarik diriku ke atas sambil bergelantungan pada kusennya. Di film terlihat begitu mudah, aku terkejut betapa aktifitas sederhana membuat seluruh tangan dan bahuku sakit setengah mati. Aku berhasil menyelipkan seluruh tubuhku masuk ke jendela itu, walau agak tertahan di dada dan jatuh sembarangan ke celah tembok. Aku merasa sedikit lebih aman.


2 minggu setelah kencan kami, bahu Paula sedikit melebar. Jakunnya mulai tumbuh dan suaranya makin berat dari hari ke hari. Dia mulai terlihat aneh dengan baju-baju perempuannya, karena semuanya mulai melonggar di area dadanya. Rahang dia makin lama makin tegas, dan klitorisnya membengkak, sebuah detil yang aku sadari ketika berusaha berhubungan seks dengannya. Aku kebingungan dan akhirnya menanyakan pada dia, apakah dia merasakan ada yang aneh pada dirinya.

“Paula ... apakah kamu ... apakah kamu sakit? Atau punya kondisi turunan tertentu yang harus aku tahu?” tanyaku suatu malam di wastafel kamar mandi.

“Tidak. Kenapa?”

“Kamu sekarang punya jenggot, jakun, dan lebih tegap ... apa kamu mengkonsumi testosteron?”

“Kamu ini bicara apa sih? Aku kan dari dulu begini.”

Setelah itu dia langsung pergi tidur, tidak baca buku dulu. Paula begitu jika dia sedang dismisif dan tidak mau lagi ada pembahasan seperti itu.


Aku menutup jendela kamar mandi itu dari luar dan melihat ke kiri dan ke kanan. Gelap. Kalau aku bergerak ke kanan, kemungkinan aku akan kembali ke luar koridor tempat pintu kamar mandi berada. Aku tidak tahu pasti, hanya mengandalkan feeling dan interpretasi spatial yang tidak pernah kulatih juga. Aku akan bergerak ke kiri. Bisa jadi aku hanya ingin bergeser ke kiri tanpa sebab.
Aku berjalan menyamping sambil menggeret koperku di sebelah kanan. Sarang laba-laba menyambutku perlahan, menumpuk di wajahku seraya aku terus mendorong diriku ke samping. Udaranya makin terasa padat dan lembab. Tembok yang terkena kulitku makin terasa dingin. Aku tetap mendorong diriku ke kiri, dengan sebuah keyakinan bahwa ruang celah di antara ruangan ini tidak mungkin tidak diberi akses masuk keluar. Pasti aku akan menemukan pintu. Tolong, please ada pintu.

“Adam?” sebuah suara berasal dari kamar mandi yang baru saja aku tinggalkan. Mereka menemukanku. Aku tidak berani bergerak dulu, takut gerakan sekecil apapun akan menimbulkan suara yang bisa mengkhianati posisiku. Untuk beberapa saat aku hanya bisa mendengar jantungku berdetak di telingaku.


Hari-hari setelah konfrontasiku dengan Paula, aku makin merasa tidak nyaman. Paula semakin lama semakin dingin, dan semakin maskulin. Dia mulai sering memakai baju-bajuku karena tubuhnya semakin gagah dan bidang. Tapi tak seorangpun membahasnya. Teman-temanku tidak menanyakan apa yang terjadi dengan Paula. Bahkan Jarod putraku tidak bertanya apa-apa mengenai perubahan ibunya. Walau di mataku Paula berubah sedikit demi sedikit, tapi nampaknya bagi orang-orang lain, Paula di hari itu adalah Paula yang seharusnya.

Aku memutuskan untuk pergi. Aku tidak bisa membayangkan tinggal bersama wanita yang sekarang sudah menjadi laki-laki, dan hanya aku yang menyadarinya. Untuk beberapa hari aku berpindah-pindah hotel. Paula mengejarku, dan aku harus kabur dari dia dan rombongan pria (yang tadinya wanita) melalui pintu-pintu yang tidak lazim: saluran udara, tangga darurat, lompat jendela, ikut truk sampah, dan lain sebagainya. Baru tadi pagi aku ingat bahwa aku punya tiket ke Jepang untuk hari ini.

Aku tidak yakin kenapa Paula mengejarku. Apa dia mau membunuhku karena hanya aku yang menyadari perubahan dia (dan wanita-wanita lain)? Seharusnya aku tidak pernah menceritakan pada siapapun apa yang kupikir terjadi pada Paula.


“Jendela ini bisa dibuka, Paula!” diikuti suara jendela yang tadi aku buka dari toilet wanita. Sial. Bagaimana mereka bisa tahu?

“Adam pasti lari ke situ! Ayo semuanya kejar dia!”

Tidak ada waktu untuk merasakan apapun. Aku bergerak secepat mungkin ke kiri, melanjutkan perjalananku menuju pintu yang aku masih belum yakin ada di sana atau tidak. Aku tidak mendengar apa-apa lagi selain detak jantungku sendiri, nafasku yang tidak keruan, dan gemerisik baju dan koperku melawan tembok dan kelindanan pipa-pipa.

“Paula! Ada orang di sini! Kamu benar!”

“Kejar dia!”

Sialan! Mana pintu! Pintu.

Sebuah pintu merah muncul pada akhirnya di hadapanku. Aku mencari pegangan atau engselnya. Aku membenturkan lengan atas kiriku pada badan pintu itu kuat-kuat, karena tidak ada waktu lagi mencari pegangan atau engsel. Pintu itu terbuka dengan mudah, tidak terkunci ternyata. Lorong perawatan tadi langsung berhubungan dengan area ruang tunggu Gerbang 9, dan aku bisa merasakan tatapan orang-orang ke arahku. Dadaku sakit sekali akibat bergesekan dengan tembok. Aku cepat-cepat berdiri untuk kembali, tapi sulit. Aku tahu Paula dan teman-temannya menyusul di belakangku. Aku lemas. Aku harus sembunyi di mana sekarang. Gerbang 4 jauh dari sini.

Seorang pria mencoba menolongku, “kau tidak apa-apa, nona?”


Aku menepis tangannya dan berlari menembus orang-orang untuk lari entah ke mana lagi. Aku harus kabur dari Paula.

4 komentar:

  1. damn, keren. Dan gua bahkan gak yakin gua beneran ngerti cerpen ini.. hahaha.. lemme try... Narator mungkin perempuan yang meproyeksikan dirinya ke pasangannya, dan memproyeksikan pasangannya ke dirinya sendiri, pelan-pelan proyeksi tersebut semakin rapuh, sampe akhirnya runtuh sama sekali. Atau, seperti referensi pada label dan nama restorannya, cerpen ini memang Kafka-esque dan gak ada penjelasannya. Die Verwandlung ?

    BalasHapus
  2. Ahuhu. Cerpen ini apa adanya aja kok mas. Semua perempuan berubah jadi laki-laki aja, tanpa penjelasan dan makna terpendam. Narator pikir dia masih laki-laki, padahal dia berubah juga. Pengennya sih ngulik kengerian kalo hal ini benar-benar terjadi, tapi kyknya kurang krn gw fokus ke perubahannya

    BalasHapus
    Balasan
    1. hooo.. hahaha berarti emang kafka-esque ya? ga ada penjelasannya? suspense nya dapet sih. Gua miss perubahan gradual dari naratornya kayanya, soalnya dari pertama dia udah di toilet perempuan, kalau dia mikir dia masih laki2 harusnya dia masih di toilet laki2 kan?

      Hapus
  3. gw kira ini dark comedy... 😬

    BalasHapus