Minggu, 15 Mei 2016

[FIKSI ILMIAH] Kabut

Putih? Atau kuning?... entahlah, cahaya itu terlalu terang menusuk mata. Berdirikah? Tertidurkah ?, saya berusaha memejamkan mata, tapi tidak bisa. Ujung jari ini pun tidak bisa bergerak. Tangan? Kaki? Kalian kemana? Saya ada dimana?.
Samar, bentangan kain berkibar di kejauhan, pink? atau oranye? Saya tidak bisa membedakannya. Tidak… itu kain merah, mataku mulai bisa melihat dengan jelas. Dia berdiri di sana, seseorang dengan jubah berwarna merah. dia menoleh, bulu matanya terlihat lentik, wajahnya tertutup kain.
“Hei,” Saya berusaha memanggil tapi tidak bisa bersuara. Dia membalikkan badan, lalu berlari menjauh.
“Tunggu !!,” suara Saya hilang.
Saya mengejarnya tapi kaki ini seperti tidak bisa berpijak. Apakah… Apakah Saya mati??.

***

“Kal… Kaaal…,” cahaya remang dikegelapan, seseorang memanggil. Ibu?.
Semuanya masih terlihat buram, udara dingin mendarat di pipi.
“Dokter!!.. Haik… su…,” ngiiiiinnngggg, “…ngun, Dokter!!” ngiiiiinnngggg ...
Udara hangat berlarian dari ujung kaki menjalar hingga ke kepala, badan terasa begitu berat. Ngiiiiinnngggg… suara itu terus berputar-putar di kepalaku.
“Kau baik-baik saja kan, nak?,” lelaki itu membuka alat yang menutupi kepala Saya, sekarang  Saya bisa melihat lebih jelas.
Lelaki itu dihadapan Saya, jari tangan kirinya membuka kelopak mata Saya, sementara tangan kanannya memegang benda menyala terang tepat di depan mata Saya, dia gerakkan dari kiri ke kanan, silau.
“Bagaimana keadaan temanku?? Dia baik-baik saja kan, Dok ??” anak itu memegang tangan kanan Saya, bibirnya tersenyum tapi ada seperti air di matanya, rambutnya ikal kecoklatan, dia seperti Kevin, tidak… dia memang Kevin.
“Tenang dulu, Vin,” lelaki itu melepaskan pegangan tangannya dari mata Saya, “Kamu ingat nama kamu siapa, nak?” lelaki itu tersenyum, Tangan kevin semakin erat memegang tangan Saya .
“Sayaa… Saya Haikal…,” Saya berusaha bangkit dari tidur tapi badan ini sangat berat,” Saya ada dimana ini, Dok??.”
“Tenang, Haikal. Tiduran dulu saja, jangan terburu-buru,” lelaki itu menghentikan usahaku, kini Saya terbaring lagi, dia atur posisi kasur yang Saya pakai jadi sedikit lebih berdiri sehingga terasa lebih nyaman. Saya periksa sekeliling, ruangan ini seperti ratusan tahun tidak pernah dibersihkan entah rongsokan macam apa yang berderet diatas meja di sebelah kanan Saya, mesin-mesin tua dengan lampu warna hijau. Sementara disebelah kiri Saya pun tidak kalah berantakan, poster tumpang tindih terpasang di tembok.
“Kamu sekarang sedang ada di tempat yang aman, di Abensord,” lelaki itu tersenyum ramah, “istirahatlah, mudah-mudahan besok Kamu baikan.” Dia berdiri dari duduknya, “Ayo, Kevin. Masih banyak yang harus kita kerjakan.”
“Istirahatlah, Haikal. Besok pagi Aku akan menengokmu lagi,” Kevin menyelundupkan sesuatu ke tangan kanan Saya, kertas?, uang kah?. Dia merapikan selimut yang Saya gunakan, “Tidurlah….”
Kevin mendatangi Sang Dokter yang telah menunggunya di depan pintu, seseorang bertubuh besar berdiri bersamanya. Sebuah lambang yang digambar dari cat semprot tampak jelas disamping pintu, dua buah huruf S kembar dalam sebuah lingkaran. Tempat macam apa ini sebenarnya?.
“Jadi bagaimana keadaan temanku, Dok?.”
“Aku tidak bisa memastikannya, Vin.”
“Ko bisa gitu?!!”.
“Dengar Vin, meskipun orang-orang di sini memanggilku Dokter, Aku sama sekali bukan lulusan kedokteran… .”
“….“
“Kalau Kamu ingin tau keadaan temanmu itu, Kamu harus membawanya ke Pusat Kota… Ke Capital… Lalu nanti Kamu ikut dengan teman-temanku.. iya teman-temanku yang mati disana, Kamu ikut mati bersama mereka.”
“….”
“Sekarang lebih baik Kita lanjutkan pekerjaan kita dulu, biar nanti masalah temanmu itu Aku yang urus, Okay?.”
“....” Kevin hanya Dian tertunduk.
“Teman mu itu beruntung…, dia bisa bertahan setelah koma selama 2 bulan.., itu kasus yang langka… Aku tidak bis…,” Kevin dan Dokter beserta lelaki bertubuh besar itu pergi meninggalkanku, pintu kamar dia tutup.
Saya tarik selimut tebal untuk menutupi seluruh badan Saya, dingin. Saya keluarkan kertas yang ada di genggaman, gulungan kertas itu Saya buka, tulisan tangan Kevin…
Di dunia ini kita berbeda…
***
Jam berapa ini? Cahaya menusuk mata lagi-lagi membuat Saya terbangun, Hari sudah siang rupanya. Seluruh ruangan kosong tanpa seorang pun disana kecuali Saya, aroma karat dan busuk kembali tercium. Saya coba gerakan lagi badan ini, sekarang terasa lebih ringan, Saya sudah sehat. Saya buka selimut tebal yang menghangatkan tubuh ini tadi malam, kaki Saya melangkah diantara potongan-potongan bagian mesin-mesin aneh dan kabel warna-warni yang asing di ingatan. Saya pun tersadar, piyama siapa yang sedang Saya pakai?. Saya tarik tuas pintu, udara berhembus menyapa kulit, hangat. Disini Saya berdiri di atas lautan sampah, tempat apa ini?.
“Kau sudah bangun yaa, Kal!” Kevin berteriak dari sebuah kendaran besar sepertinya sebuah truk pengangkut sampah, tingginya sekitar 3 meter dengan 8 pasang ban besar berhenti beberapa puluh meter dihadapan Saya. Sejak kapan dia bisa mengendarai mobil?.
“Sudah mendingan yaa,” suaranya serak, Dia membuka pintunya lalu turun melalui tangga besi yang ada di samping kendaraan itu, kemudian berlari ke arah Saya, dia mengenakan pakaian montir berwarna kuning pudar belepotan penuh kotoran. Kepala Saya berisi begitu banyak kebingungan, Saya hanya bisa diam.
“Kamu tidak akan percaya… Kamu tidak akan percaya…,” Kevin tersenyum kecil, tangannya menepuk-nepuk pundak Saya, dia terengah-engah.
“Percaya apa?”
Brrrrrmmmmm….
“Hoiiii, Kevin !!!,” seseorang berteriak di kejauhan,”Abensord sudah menunggu!!” Lelaki itu menaiki sebuah kendaraan seperti pickup bermahkotakan 6 lampu besar di bagian atasnya, 2 bilah besi melingkar mengelilingi kendaraan itu.
“Boleh ajak temanku tidak??!!” kevin balik berteriak, lelaki itu seperti berdiskusi dengan temannya yang berada di kursi kemudi.
“Okay boleh!!, tapi suruh dia ganti baju!!, nanti dikira orang gila!! Hahahaha,” sial dia membicarakan Saya.
“Okay!! Tunggu,” Kevin tersenyum, entah apa yang membuat dia begitu bahagia,”Ayo ikut aku, Kal,” dia berlari ke arah belakang rumah kecil yang Saya gunakan beristirahat tadi malam, dia membuka sebuah pintu yang ada disana, puluhan potongan besi rongsokan tergantung di tembok, orang-oramg itu sepertinya sengaja mengumpulkan rongsokan.
“Kamu pakai ini aja, Kal,” kevin membuka koper coklat penuh debu.
“Kamu yakin, Vin??” pakaian itu seperti tidak layak pakai.
“Sudahlah, jangan mengeluh… ini keren ko!” Kevin mengibaskan jaket kulit yang ada di dalam koper, debu beterbangan, “Ayo cepat! Aku tunggu dibawah,” dia berlalu meninggalkan Saya.
Pakaian macam apa ini, tapi Saya tidak punya pilihan. Kaos kedodoran warna hitam, celana pendek abu-abu, lalu celana jeans panjang yang dipenuhi pernak-pernik besi disekelilingnya, gila! Pakaian macam apa ini. Sepasang sarung tangan coklat dan sepasang sepatu kulit coklat tua semuanya pas dengan ukuran Saya, sepertinya kevin sedah merencanakan semuanya. Dan tentu saja tak lupa jaket kulit hitam penuh debu tadi, bau tanah dimana-mana, mual. Saya tidak punya pilihan lain selain kenalan pakaian ini, lalu segera menemukan Kevin.
 “Nah kan, keren… Hayu cepet, Kal!!,” Kevin sudah berada di atas kendaraan pickup itu, Saya berlari menuruni tumpukan sampah lalu memanjat kendaran itu kemudian duduk di bak belakang bersama Kevin. Hari ini badan Saya terasa ringan, Kevin tersenyum, mencurigakan.
“Pakai ini,” Kevin memberikan sebuah tali pada Saya,”ikat di tanganmu,”Aku hanya bisa menuruti perkataanya,”Nanti kau akan tau apa fungsi benda itu,” Kevin terseyum lagi,”Oiya, pakai jubah ini, tutupi badanmu.”
Angin bertiup kencang menerbangkan debu yang menyatu dengan bau busuk dan karat pekat, puluhan benda terbang berkeliaran dengan tali panjang seperti tangan mengais-ngais keberuntungan di tumpukan rongsokan besi sejauh mata memandang. Abensord, tempat macam apa sebenarnya, Saya harus bertanya kepada Kevin.
“Distric-25… Hanya rongsokan yang tampak di tempat ini, tapi nanti kau akan melihat sisi lain dari Abensord… Tunggu saja, Haikal!,” Kevin seperti bisa membaca pikiran, aneh.
“Sebenarnya kita mau kemana, Vin?” jalan rusak berbatu yang dilalui kendaraan ini membuat badan Saya bergoyang.
“Distric-24, nanti kau akan lihat keajaiban, Kal!” mata Kevin berbinar-binar,”semakin kau berjalan ke pusat Abensord maka semakin banyak keajaiban yang akan kau lihat,” Kevin bersemangat,”Distric Zero, Aku janji kita akan kesana, Kal.”
“Rumah… rumah Saya dimana, Vin?... Saya ingin pulang!!,” tiba-tiba saja Saya teringat Ibu dan Melisa. Kevin terdiam, dan menutupi wajahnya dengan kerudung dari jubah yang digunakannya.
“Pakai sabuk pengamanmu, Kal” Kevin menarik tali dari sisi bak, lalu mengikatkan empat buah sabuk ke badannya, Saya mengikutinya. Kevin tampak lesu, harusnya Saya tidak menanyakan rumah.
Mobil melaju kencang, di sebelah Barat Saya melihat deretan tembok membentang membelah daratan hingga jauh ke ujung Utara, awan hitam bergerombol perlahan menutupi langit, kilatan petir berkejaran menghadapinya angkasa. Apa yang akan terjadi di depan sana?.



Lampu redup, kamar sempit
Bandung, 14 Mei 2016

2 komentar:

  1. “....” Kevin hanya Dian tertunduk.

    Gw suka caralu mewujudkan dunianya. Detil tapi tidak mencekoki pembaca. Pembaca langsung ikut mengalami settingnya bersama dengan si karakter. Nais.

    Palingan untuk cerpen, ini rasanya lebih kayak potongan novel. Banyak build up tapi ga kerasa pay offnya. Sebaiknya untuk cerpen, motivasi, agency (usaha), dan hasil usahanya (berhasil ataupun tidak) terungkap semuanya dalam satu cerita. GA JELEK LOH YA. Cuma buat ukuran cerpen, agak kurang.

    Ini lepas dari cerita Iman ya? Atau ...

    Demikianlah

    BalasHapus
    Balasan
    1. typo3, susah ngedit di hape mh hehe

      ya sih,untuk misi sekarang aku lagi pengen bikin kayak cerbung, aku pengen ceritanya terus bersambung sesuai genre yang diminta, mudah-mudahan bisa ...

      untuk masalah lepas ga-nya dari Universe Iman, entahlah kita liat saja nanti hahaha

      Hapus