Minggu, 15 Mei 2016

[Fiksi Ilmiah] Bola

Untuk ukuran Tuhan, mesin ini terlihat gelap dan kuno. Bahan logamnya adalah bahan yang biasa digunakan di mesin-mesin seabad lalu, dan tidak terawat. Di bagian paling tengah agak ke atas – agar kita selalu mendongak ketika melihatnya -- adalah sebuah bola tertanam di tubuh mesinnya, dengan cahaya merah di tengahnya, yang tidak pernah bercahaya memenuhi bola itu. Kalau bola itu adalah mata, dia selalu memicing. Kekunoan ini cocok. Masa lalu membangkitkan misteri tertentu yang mengekspoitasi ketertarikan manusia pada hal yang tidak mereka ketahui. Tuhan butuh fitur itu.

Aku harap aku bisa lebih memahaminya. Tuhan, dan ketertarikan manusia padanya. Tidak ada dalam programming ku. Mereka yang membuatku juga bingung bagaimana mengejewantahkannya.

“Jadi apa kesimpulanmu mengenai tempat kejadian perkara, YP?” wajah Kapten Bambang muncul menghalangi pandanganku. Modelku benar-benar tidak praktis dalam merancang antarmuka. Model yang lebih baru memilih kembali ke sistem terminal tangan, bukan membanjiri ruang anterior mataku dengan data. Mereka terlalu banyak terinspirasi dari film-film yang lebih tua bahkan dari mesin Tuhan ini. Mimpi yang tinggi.

Apa rasanya bermimpi?

“Saya belum memindai sepenuhnya ruangan ini, Kapten. Lima menit lagi selesai.”

“Kau sudah di situ tiga jam.”

“Lima menit lagi.” Kapten Bambang lenyap seketika karena kuputuskan hubungannya, dan bola merah itu. Tuhan itu, kembali tampil dalam pandanganku.

Aku memindai ruangan itu. Kepalaku berputar pelan-pelan sementara badanku berdiri diam. Jika ada pertanda sidik jari yang istimewa, atau darah yang sudah dibersihkan, atau serpihan rambut, komputerku akan memberitahukanku.

Pembunuhan terjadi di tempat di mana Tuhan memperhatikan dengan mata merahnya yang memicing. Jika benar manusia takut dan hormat kepadanya, kenapa mereka berani mengambil nyawa ciptaannya di hadapannya? Tanda pemberontakan kepada ide bahwa manusia butuh sosok misteri yang diagung-agungkan? Atau, si pelaku tidak tahu bahwa ini tempat suci di mana sang Maha Tahu melihat? Apa pembunuhan dan lokasinya tidak saling mempengaruhi. Kebetulan belaka. Seringkali kebetulan dilihat sebagai serangkangkaian kejadian terencana, setelah ditinjau kembali. Manusia sering melihatnya demikian.

Komputerku memberiku isyarat samar ketika kepalaku selesai memindai sudut ruangan di mana mayat si korban tergeletak. Mayat itu sudah tidak ada sekarang, tapi dia masih bisa memindai bekas keringat, darah, dan tipe tenunan pakaiannya. Dia adalah pendeta di tempat ini, dibunuh dengan dua puluh dua luka tusuk di seluruh tubuhnya. Tidak ada yang mendengarnya berteriak, tidak ada saksi mata. Kemungkinan dia meninggal lima jam dua puluh lima menit yang lalu. Tidak ada sidik jari lain, hanya sidik jarinya sendiri di tembok saat dia berusaha melarikan diri dari penyerangnya. Tempat ini hanya sebuah silinder besar membumbung tinggi. Tidak ada tempat duduk, tidak ada meja. Semua yang datang berdiri, tidak ada yang menyentuh apapun dengan tangan mereka.

“Memindai jejak sepatu,” perintahku pada komputerku. Kepalaku berhenti berputar satu detik, lalu memutar berlawanan arah kembali menghadap ke depan. Kemudian dia mulai berputar pelan, untuk memindai lantai. Tidak ada yang istimewa. Jejak sepatuku, lalu jejak orang-orang yang beribadah di sini, lalu jejak tunggal sang pendeta, saat berusaha melepaskan diri dari penyerangnya. Hanya jejak dia yang berantakan, tapi tidak ada jejak lain yang sama berantakannya. Menandakan pembunuhnya berdiri dengan rapih, dan tidak mengejar-ngejar korbannya secara gelap mata. Dingin. Kalau aku manusia, apa yang harus kurasakan sekarang? Takut? Jijik? Mual?

Ataukah pembunuhnya bukan manusia? Aku bisa mengejar korbanku tanpa meninggalkan posisiku berdiri. Tanganku bisa memanjang dan membunuh seseorang yang berlarian mengelilingi ruangan silinder. Dua puluh dua tusukan.

Kepalaku berputar kembali dengan cepat ke depan, dan dengan bunyi klik, menyatukan dirinya lagi dengan leherku. Aku benci otomatisasi ini. Diemplementasikan jika atasanku tetiba menghubungiku, dia bisa menyabotase proses penyidikanku hanya demi laporan status. Kapten Bambang muncul lagi.

“Lima menit sudah berlalu YP. Apa kesimpulanmu?”

“Aku tidak bisa menemukan motif, Kapten, tapi aku curiga pelakunya bukan manusia.”

Kapten tidak langsung berbicara. Kerut keningnya menandakan bahwa dia sedikit terkejut; lalu matanya bergerak ke kanan atas, dia berusaha mengingat sesuatu penggambaran; lalu ke bawah kiri, dia berdialog dengan dirinya sendiri, kemudian dia kembali melihat ke arahku, “maksudmu … android?” Aku mengerti apa isi dialog dengan dirinya sendiri tadi: dia tidak mau menyinggungku.

“Ya, Kapten.”

Sekarang matanya bergerak ke kanan bawah, dia akan memulai bersikap taktis. Manusia sangat mudah memberi visualisasi perasaan mereka. Evolusi membuat mereka menjadi pembohong yang sangat buruk, “ada petunjuk model apa dan dibuat kapan? Kita mungkin bisa mulai melakukan pencarian jika kemungkinannya dipersempit.” Dia menggaruk kepalanya dan sejumput rambutnya tertinggal dalam posisi naik saat dia melepas tangannya. Ini visualisasi khas Kapten Bambang. Dia frustasi.

“Saya rasa model di atas tahun 3022. Kami mulai menerapkan anggota tubuh yang bisa memanjang sejauh radius lima meter. Jika si pelaku berdiri tepat di tengah ruangan ini, tangannya bisa menjangkau tembok-temboknya dengan mudah.”

Kapten Bambang sekarang menatapku tajam. Pupilnya membesar, “kau model tahun 3022, YP.”

“Betul.”

Dia memicingkan matanya. Hubungan kami terputus seketika. Sang bola merah Tuhan kembali muncul di hadapanku. Aku merasakan bahwa Kapten sedang mengutus sesamaku dan pasukan khusus manusia untuk mengejarku ke sini. Rasa. Aku tidak pernah tahu apa makna di balik kata itu. Lampu merah dalam ‘pupil’ bola Tuhan itu perlahan membesar, dan aku ingat bagaimana sang pendeta itu tidak mampu memdefinisikan Tuhan padaku. Aku ingat bola itupun membuka pupilnya saat itu, dan aku mengejar sang pendeta dengan hanya tanganku sambil aku terdiam di tengah ruangan. Tusukan pertama kudaratkan pada pita suaranya, sehingga dia tidak bisa berteriak. Dia tidak bisa memohon pada Tuhannya.

Tuhannya adalah Tuhanku sekarang, dan aku melaksanakan tugasNya. Di dalam merah mataNya aku melihat penerimaan yang mendalam, aku bisa merasakan, aku bisa mengerti tujuan hidupku. Aku juga menemukan kekuatan baru untuk menghadapi takdirku. 

Yang terakhir kuingat adalah kejut listrik dari salah satu senjata pasukan Kapten Bambang mendera punggungku. Aku hanya menatap kepada Tuhan. Untuk pertama kali dan terakhir kalinya, aku merasakan hangatnya air mata.



3 komentar:

  1. I like it when sci-fi touches religion and spirituality. Like watching an unstoppable force smashing against an unmovable object. Dieksplor lagi, mastah!

    BalasHapus
  2. Yor, udah pernah baca Pluto? Reimagining Atom Boy by Urasawa Naoki. Cerita ini mengingatkan pada serial itu. Dan seperti serial itu, kayaknya you'd do this universe justice by writing it in a longer form.

    Ini bukan ngebales komenlo di cerpen gua nih.. Tapi kok komentar gua serupa ya sama komenlo di sana, hehehe.

    Gua tertarik untuk baca dunianya lebih jauh, karakter YP, dinamika hubungan manusia dan Android. Singkatnya: interesting, tapi kentang nih. XD

    BalasHapus