Selasa, 17 Mei 2016

[FIKSI ILMIAH] Selfie

Matahari sudah tinggi, satu dua bulir keringat mulai membasahi dahi. Perutku mulai berisik. Efek tiga biji pisang goreng yang kulahap beberapa saat lalu sudah pudar. Kalau bukan karena janji makan siang dengan Karina aku tentu akan mencomot beberapa biji pisang goreng lagi. Mungkin beberapa comro juga.

Lima belas menit sudah aku berdiri di halte angkot tanpa hasil. Belum ada satu pun mobil-mobil berplat kuning itu yang lewat di jalanan lebar namun sepi ini. Beberapa mobil berplat hitam lalu-lalang, penumpangnya menatapku dengan tatapan penasaran. Bukannya aku tidak mau menggunakan monorel, yang stasiunnya cuma berjarak beberapa ratus meter dari halte ini, tetapi ponselku menyatakan dengan tegas,- memaksa sebenarnya-, ini pilihan jalur paling tercepat ke kosan Karina. Mungkin aku telah salah mendidik AI sialan ini.

Pucuk dicinta ulam pun tiba. Dari kejauhan aku melihat sebuah angkot mendekat. Lajunya stabil lagi santai. Sialan, sudah menunggu lama, kebagian angkot yang jalannya lambat. Yang seperti ini biasanya juga gemar berhenti. Ngetem menunggu penumpang yang seringkali tak pernah muncul.

“Kang, Majalaya, Kang?” ujar kenek itu dari kejauhan, bergelantungan di pintu samping. Angkotnya mengerem perlahan, moncongnya berhenti tepat di depanku.

Cuma ada dua orang penumpang lain di dalamnya. Firasatku buruk. Angkot ini pasti bakal terus-menerus ngetem di setiap simpang dan gang.

“Mangga, Kang. Tidak akan ngetem-ngetem, Kang.” Dia membaca pikiranku. Aku juga sebenarnya tidak punya pilihan. Menunggu angkot berikutnya hanya akan membuang lebih banyak waktu.

Belum sampai bokongku menyentuh jok, angkot sudah mulai bergerak. Untung akselerasinya cukup halus, diferensial percepatannya tidak terlalu terasa. Kalau tidak aku pasti sudah terjengkang. Kualihkan pandanganku ke arah kursi supir, dengan niat hendak memelototi mukanya. Sayang, kursi itu kosong, tidak ada siapa-siapa.

“Punten, Kang. Piranti lunaknya masih baru. Belum mengenal medan. Baru juga diinstal kemaren,” lagi-lagi si kenek dapat membaca benakku, menyadari kekesalanku pada si supir. Aku cuma tersenyum kecut.

“Sebelumnya saya sendiri yang nyetir, sekaligus jadi kenek,” dia kembali berbicara. Ia masih muda, mungkin usianya sekitar akhir dua puluhan, tak terlalu jauh dariku. Wajahnya berseri-seri, tak terpengaruh kulit muka yang kasar, yang dihajar matahari, angin, dan debu sepanjang hari pun malam.

“Melelahkan ya, Mang?” tanyaku, sedikit berbasa-basi.
“Iya, Kang. Kata istri saya, mobil angkotnya diganti yang swasetir saja. Harganya tidak terlalu beda, lebih aman, dan saya juga tidak terlalu capai. Jadi bisa mengerjakan hal-hal lain,” jawabnya dengan senyum tersungging di bibir. Tampak ia begitu bangga akan istrinya.
“Keren, Kang,” sambungku singkat.
“Mengikuti perkembangan zaman atuh, Kang.”

Angkot terus bergerak menyusuri jalanan yang menghubungkan daerah kampusku dengan daerah perumahan di selatan. Penumpang-penumpang yang lain tak menggubris percakapanku dengan kenek angkot. Mereka larut dalam gawai VR masing-masing.

“Pulang kuliah, Kang?” tanya si kenek.
“Iya,” jawabku singkat. Mataku memandang jauh ke depan. Berharap angkot ini dapat bergerak lebih cepat.

Aku melirik jam tanganku. Lalu melihat peta di ponsel. ETA 20 menit. Secara reflek aku mengacak-acak rambutku sendiri.

“Janjian sama kabogoh, Kang?” tanya si kenek dengan senyum jahil. Entah orangnya usil atau memang kepo, atau cuma bosan saja karena tidak ada yang bisa dia ajak ngobrol sepanjang perjalanan.
“Bukan. Janjian dengan teman, Kang.”
“Oooh… teman,” jawabnya masih dengan senyum jahil. “Pedekate ya?”
Sial ini orang penasarannya kebangetan.
“Ya begitulah, Kang,” jawabku. Daripada disindir lagi, lebih baik jujur sekalian.

Seolah Tuhan menjawab doaku agar si kenek berhenti menginterogasi, sistem AI angkot memberi sinyal bahwa tujuanku sudah dekat. Sistem kendali angkot segera mengarahkan mobil ke sisi kiri jalan. Setidaknya AI ponselku masih ada gunanya, dia punya inisiatif untuk mengakses OS angkot dan menandai GPS tujuanku di sistem navigasinya.

“Wah saya sudah hampir sampai, Kang,” ujarku sambil membuka tas, hendak mencari dompet. Seperti kisah cintaku, isi tasku berantakan. Berbagai buku, gawai, alat tulis, komik, bertumpuk-tumpuk tak teratur. Dan semakin diperparah oleh bungkusan permen coklat besar dengan pita warna merah jambu di dalam tas, menyulitkan manuver tanganku yang meraba-raba mencari dompet.

“Ciye… si Akang mau kencan.”

Ahelahkenapa sih ini orang, aku mendumel dalam hati. Aku segera menutup kembali tas sesaat setelah dompet berhasil ditemukan. Kukeluarkan sepotong kartu plastik dan menyodorkannya ke si kenek.

“Duh… punten, Kang. Ada uang tunai tidak? EDC angkot saya sedang eror. Tadi pagi waktu saya keluar dari terminal terdengar ada suara kegusruk di bagian atas, di bagian peralatan komunikasi sepertinya,” ujarnya dengan wajah sedikit memelas.
“Lah… saya tidak bawa uang tunai, Kang. Bagaimana dong?” Ada-ada saja masalahku hari ini. Mana tujuan sudah mendekat. Dan aku juga telat.

“Kalau akun PayPal ada tidak, Kang?”
“PayPal? Memangnya angkot Akang sudah bisa terima?”
“Bukan buat bayar angkotnya, Kang. Akang cukup menyumbang di kampanye Kickstarter saya saja,” senyumnya kembali mengembang. “Tidak perlu banyak, cukup sesuai dengan tarif angkot saja. Kalau mau lebih juga mangga saya mah,” sambungnya terkekeh. Orang ini penuh kejutan.

“Memang kampanyenya apa, Kang?” tanyaku sambil membuka app Kickstarter di ponsel.
“Saya hobi bikin robot, Kang. Saya sedang membuat robot untuk misi eksobiologi di Mars. Saya sudah berhasil ngebuking tempat di roketnya SpaceX untuk peluncuran tahun depan. Robot saya sendiri sekarang masih ada sedikit masalah dengan sistem sensornya. Tahu sendiri meureun, Kang. Lingkungan Mars kan berbeda dengan di Bumi, jadi saya kudu menggunakan banyak algoritma simulasi,” jelasnya berapi-api.

Aku mulai berpikir laki-laki ini jadi kenek angkot semata-mata karena hobi.

“Hmm, saya pernah membantu dosen mengembangkan sistem sensor ekstra-terestrial. Saya bisa membagi beberapa informasi telemetrinya, kalau Akang berminat.”
“Wah! Mau sekali atuh, Kang!” serunya. Matanya berbinar-binar. “Ini kartu nama saya,” sambungnya cepat, menyadari bahwa angkot sudah mulai melambat, dan aku sudah tiba di tujuan.

Aku menempelkan kartu nama itu ke ponsel. Segera setelah datanya terekam aku menyimpannya ke dalam saku kemeja dan bersiap-siap untuk turun. Ia hanya memandangiku saja dengan terus tersenyum. Bagaikan seorang anak kecil yang mendapatkan gawai pertamanya. Sebuah notifikasi data kontak baru muncul di layar ponselku.

“Baiklah, Kang…,” aku melihat kembali nama di layar, memastikan aku tidak salah membaca,”…Kang Selfie. Nanti saya hubungi via email. Terima kasih sudah atas tumpangannya.”
“Haha…,” ia tertawa menyadari kekikukanku, “iya, itu hobi ibu saya dahulu, Kang. Makanya saya diberi nama begitu. Siap, Kang! Diantos email-nya.”

Aku melambaikan tangan, memberi salam perpisahan, sembari menatap angkot itu menjauh, menghilang dari pandangan. Kang Selfie masih terus membalas lambaianku, penuh semangat, dengan senyum lebar, dan sambil terus bergelantungan di pintu angkot. Begitu banyak orang menarik di dunia ini pikirku.

4 komentar:

  1. "Seperti kisah cintaku, isi tasku berantakan." KZL

    Dari segi penulisan, karakterisasi, plotting dsb udah oke Om. Aku suka optimismenya. Brave new world ya om. Cuma kebayang kalo providernya lagi ada gangguan, nyasar semua angkot2 ini. Ato kalo kuota abis, bhay.

    Nice kok om. Saya sih yes ya

    BalasHapus
    Balasan
    1. Jaman ini mah provider udah reliable 100% 24/7/365 dong... kuota juga gak perlu beli, udah dikasih gratis ama pemerintah, per Amandemen Konstitusi 2045.. hehe

      Thanks, mastah!

      Hapus
  2. buat gue ini tulisanlo yang paling enak dibaca Om, entah kenapa.

    BalasHapus
    Balasan
    1. mungkin karena di Bandung yg ini gak ada rapor warga kali... aha aha ahahahaha... :v

      Hapus