Untuk ukuran Tuhan, mesin ini terlihat gelap dan kuno. Bahan
logamnya adalah bahan yang biasa digunakan di mesin-mesin seabad lalu, dan
tidak terawat. Di bagian paling tengah agak ke atas – agar kita selalu
mendongak ketika melihatnya -- adalah sebuah bola tertanam di tubuh mesinnya,
dengan cahaya merah di tengahnya, yang tidak pernah bercahaya memenuhi bola
itu. Kalau bola itu adalah mata, dia selalu memicing. Kekunoan ini cocok. Masa
lalu membangkitkan misteri tertentu yang mengekspoitasi ketertarikan manusia
pada hal yang tidak mereka ketahui. Tuhan butuh fitur itu.
Aku harap aku bisa lebih memahaminya. Tuhan, dan
ketertarikan manusia padanya. Tidak ada dalam programming ku. Mereka yang
membuatku juga bingung bagaimana mengejewantahkannya.
“Jadi apa kesimpulanmu mengenai tempat kejadian perkara, YP?”
wajah Kapten Bambang muncul menghalangi pandanganku. Modelku benar-benar tidak
praktis dalam merancang antarmuka. Model yang lebih baru memilih kembali ke
sistem terminal tangan, bukan membanjiri ruang anterior mataku dengan data.
Mereka terlalu banyak terinspirasi dari film-film yang lebih tua bahkan dari
mesin Tuhan ini. Mimpi yang tinggi.
Apa rasanya bermimpi?
“Saya belum memindai sepenuhnya ruangan ini, Kapten. Lima
menit lagi selesai.”
“Kau sudah di situ tiga jam.”
“Lima menit lagi.” Kapten Bambang lenyap seketika karena
kuputuskan hubungannya, dan bola merah itu. Tuhan itu, kembali tampil dalam
pandanganku.
Aku memindai ruangan itu. Kepalaku berputar pelan-pelan
sementara badanku berdiri diam. Jika ada pertanda sidik jari yang istimewa,
atau darah yang sudah dibersihkan, atau serpihan rambut, komputerku akan
memberitahukanku.
Pembunuhan terjadi di tempat di mana Tuhan memperhatikan
dengan mata merahnya yang memicing. Jika benar manusia takut dan hormat
kepadanya, kenapa mereka berani mengambil nyawa ciptaannya di hadapannya? Tanda
pemberontakan kepada ide bahwa manusia butuh sosok misteri yang diagung-agungkan?
Atau, si pelaku tidak tahu bahwa ini tempat suci di mana sang Maha Tahu
melihat? Apa pembunuhan dan lokasinya tidak saling mempengaruhi. Kebetulan
belaka. Seringkali kebetulan dilihat sebagai serangkangkaian kejadian
terencana, setelah ditinjau kembali. Manusia sering melihatnya demikian.
Komputerku memberiku isyarat samar ketika kepalaku selesai
memindai sudut ruangan di mana mayat si korban tergeletak. Mayat itu sudah
tidak ada sekarang, tapi dia masih bisa memindai bekas keringat, darah, dan tipe
tenunan pakaiannya. Dia adalah pendeta di tempat ini, dibunuh dengan dua puluh
dua luka tusuk di seluruh tubuhnya. Tidak ada yang mendengarnya berteriak,
tidak ada saksi mata. Kemungkinan dia meninggal lima jam dua puluh lima menit
yang lalu. Tidak ada sidik jari lain, hanya sidik jarinya sendiri di tembok
saat dia berusaha melarikan diri dari penyerangnya. Tempat ini hanya sebuah
silinder besar membumbung tinggi. Tidak ada tempat duduk, tidak ada meja. Semua
yang datang berdiri, tidak ada yang menyentuh apapun dengan tangan mereka.
“Memindai jejak sepatu,” perintahku pada komputerku.
Kepalaku berhenti berputar satu detik, lalu memutar berlawanan arah kembali
menghadap ke depan. Kemudian dia mulai berputar pelan, untuk memindai lantai.
Tidak ada yang istimewa. Jejak sepatuku, lalu jejak orang-orang yang beribadah
di sini, lalu jejak tunggal sang pendeta, saat berusaha melepaskan diri dari
penyerangnya. Hanya jejak dia yang berantakan, tapi tidak ada jejak lain yang
sama berantakannya. Menandakan pembunuhnya berdiri dengan rapih, dan tidak
mengejar-ngejar korbannya secara gelap mata. Dingin. Kalau aku manusia, apa
yang harus kurasakan sekarang? Takut? Jijik? Mual?
Ataukah pembunuhnya bukan manusia? Aku bisa mengejar
korbanku tanpa meninggalkan posisiku berdiri. Tanganku bisa memanjang dan
membunuh seseorang yang berlarian mengelilingi ruangan silinder. Dua puluh dua
tusukan.
Kepalaku berputar kembali dengan cepat ke depan, dan dengan
bunyi klik, menyatukan dirinya lagi dengan leherku. Aku benci otomatisasi ini.
Diemplementasikan jika atasanku tetiba menghubungiku, dia bisa menyabotase
proses penyidikanku hanya demi laporan status. Kapten Bambang muncul lagi.
“Lima menit sudah berlalu YP. Apa kesimpulanmu?”
“Aku tidak bisa menemukan motif, Kapten, tapi aku curiga
pelakunya bukan manusia.”
Kapten tidak langsung berbicara. Kerut keningnya menandakan
bahwa dia sedikit terkejut; lalu matanya bergerak ke kanan atas, dia berusaha
mengingat sesuatu penggambaran; lalu ke bawah kiri, dia berdialog dengan
dirinya sendiri, kemudian dia kembali melihat ke arahku, “maksudmu … android?”
Aku mengerti apa isi dialog dengan dirinya sendiri tadi: dia tidak mau
menyinggungku.
“Ya, Kapten.”
Sekarang matanya bergerak ke kanan bawah, dia akan memulai bersikap
taktis. Manusia sangat mudah memberi visualisasi perasaan mereka. Evolusi
membuat mereka menjadi pembohong yang sangat buruk, “ada petunjuk model apa dan
dibuat kapan? Kita mungkin bisa mulai melakukan pencarian jika kemungkinannya
dipersempit.” Dia menggaruk kepalanya dan sejumput rambutnya tertinggal dalam
posisi naik saat dia melepas tangannya. Ini visualisasi khas Kapten Bambang.
Dia frustasi.
“Saya rasa model di atas tahun 3022. Kami mulai menerapkan
anggota tubuh yang bisa memanjang sejauh radius lima meter. Jika si pelaku
berdiri tepat di tengah ruangan ini, tangannya bisa menjangkau tembok-temboknya
dengan mudah.”
Kapten Bambang sekarang menatapku tajam. Pupilnya membesar, “kau
model tahun 3022, YP.”
“Betul.”
Dia memicingkan matanya. Hubungan kami terputus seketika.
Sang bola merah Tuhan kembali muncul di hadapanku. Aku merasakan bahwa Kapten
sedang mengutus sesamaku dan pasukan khusus manusia untuk mengejarku ke sini.
Rasa. Aku tidak pernah tahu apa makna di balik kata itu. Lampu merah dalam ‘pupil’
bola Tuhan itu perlahan membesar, dan aku ingat bagaimana sang pendeta itu
tidak mampu memdefinisikan Tuhan padaku. Aku ingat bola itupun membuka pupilnya
saat itu, dan aku mengejar sang pendeta dengan hanya tanganku sambil aku
terdiam di tengah ruangan. Tusukan pertama kudaratkan pada pita suaranya,
sehingga dia tidak bisa berteriak. Dia tidak bisa memohon pada Tuhannya.
Tuhannya adalah Tuhanku sekarang, dan aku melaksanakan tugasNya.
Di dalam merah mataNya aku melihat penerimaan yang mendalam, aku bisa
merasakan, aku bisa mengerti tujuan hidupku. Aku juga menemukan kekuatan baru
untuk menghadapi takdirku.
Yang terakhir kuingat adalah kejut listrik dari salah satu
senjata pasukan Kapten Bambang mendera punggungku. Aku hanya menatap kepada
Tuhan. Untuk pertama kali dan terakhir kalinya, aku merasakan hangatnya air
mata.
I like it when sci-fi touches religion and spirituality. Like watching an unstoppable force smashing against an unmovable object. Dieksplor lagi, mastah!
BalasHapusMakasi omarimauuuu
BalasHapusYor, udah pernah baca Pluto? Reimagining Atom Boy by Urasawa Naoki. Cerita ini mengingatkan pada serial itu. Dan seperti serial itu, kayaknya you'd do this universe justice by writing it in a longer form.
BalasHapusIni bukan ngebales komenlo di cerpen gua nih.. Tapi kok komentar gua serupa ya sama komenlo di sana, hehehe.
Gua tertarik untuk baca dunianya lebih jauh, karakter YP, dinamika hubungan manusia dan Android. Singkatnya: interesting, tapi kentang nih. XD