Rabu, 27 April 2016

[FANTASI] Adikara

Soundtrack opsional: https://open.spotify.com/track/4RE18MdjehpJJH2uShw6rz
atau: https://www.youtube.com/watch?v=2t2yArIzEKU


Bintang gemintang mengalah malam itu, cahayanya tak terlihat terselimuti bara dan asap yang membubung. Kedua laki-laki itu duduk di atas kuda-kuda mereka di sebuah bukit di kaki gunung Ngliman. Sungai Brantas mengalir depan mereka, di bawah sana. Keris-keris mereka sudah tersarung, tombak-tombak di tangan kanan mereka. Kedua jenis senjata tersebut berlumur darah dan tanah, pun sekujur tubuh mereka. Jauh di bawah mereka kobaran api menari-nari di atas reruntuhan Kadiri. Kerajaan yang umurnya sependek umur rajanya.

"Gayatri sudah aman, Wijaya. Aku tak mengerti jalan pikiranmu, kau hancurkan Kadiri untuk menyelamatkan istrimu tapi kemudian mau kau serahkan ke bangsa Tartar," salah satu membuka percakapan. Yang diajak bicara tidak menengok, hanya tersenyum kecil. Pandangan matanya lekat ke reruntuhan di bawahnya yang perlahan menjadi abu.

"Semua ada waktunya, Adikara sahabatku," Sanggramawijaya akhirnya bersuara. " Semua ada waktunya, " ia mengulangi, tanpa menunggu tanggapan ia menghela tali kekang kudanya, berbalik arah menuruni bukit. Arya Adikara  mengikuti sahabatnya.

Mereka menemui Shi-Bi komandan pasukan Tartar berdiri di depan kobaran api yang memangsa istana. Dalam siluet zirah nya terlihat seperti sesosok iblis dari neraka. Di satu sisi terlihat siluet yang jauh terlihat lebih bersahabat, lebih terdidik, sang penerjemah. Di sisi lain satu sosok terlihat meringkuk dalam ikatan. Jayakatwang, tawanan perang.

Mulut Shi-Bi mengeluarkan suara, kata-kata dalam lidah asing. Dari intonasinya terdengar jelas ia masih dalam efek adrenalin dari pertempuran sebelumnya, terdengar jelas pula ia menganggap lawan bicaranya lebih rendah darinya. Adikara hampir melompat untuk meninju wajah Shi-Bi, satu gerakan kecil tangan Wijaya menghentikannya.

"Shi-Bi yang terhormat ingin mengatakan bahwa ia sudah memenuhi tanggung jawabnya dalam perjanjian ini. Ia menyerahkan tawanan ini kepada yang mulia Wijaya, dan menagih Gayatri sebagai bagian dari janji yang mulia," sang penerjemah berkata, nadanya mendayu-dayu, sama sekali berbeda dengan nada yang ia terjemahkan.

"Terimakasih atas bantuan Shi-Bi yang terhormat dan tentara Tartar yang perkasa kita meraih kemenangan dan menangkap sang raja. Kami akan menepati janji kami. Silakan datang sepuluh hari lagi ke Tarik, ke desa kami Majapahit untuk menjemput Gayatri dan beberapa upeti sebagai tanda tunduknya kami kepada Khan yang mulia," Wijaya membalas, kata dan nada diucapkan dengan penuh hormat.

Penerjemah mengucapkan beberapa kata dalam bahasa Tartar, Shi-Bi mengangguk dan membalas dalam bahasa yang sama. "Yang terhormat Shi-Bi mengucapkan terima kasih, kami akan memenuhi undangan Anda."

***

Sejak hari pertama kedatangan mereka di Majapahit, Adikara tak henti-hentinya mempertanyakan kebijakan Wijaya. Menyerah tunduk kepada Tartar sama saja  menyatakan kesiapan Majapahit untuk dijajah katanya. Sekali waktu seakan bercanda dia bertanya pada Wijaya apakah dia siap untuk menjadi budak. Di kesempatan lain ia menggunakan sindiran, sengaja tidak mengucapkan gelar Dyah di depan nama Wijaya di acara resmi pemerintahan. Di kali lain bahkan kata-kata 'lemah' dan 'pengecut' sempat dilontarkannya, tentu tidak langsung, tapi lewat cerita dan perumpamaan yang jelas dimaksudkan untuk menyinggung Wijaya. Semua sindiran itu dibalas dengan kata-kata yang sama; semua ada waktunya.

Di hari kesepuluh pasukan Tartar mulai berkumpul di perbatasan desa. Mereka mendirikan yurt-yurt, tenda mereka. Pasukan dari Majapahit menyambut mereka, dipimpin oleh Wijaya sendiri. Dengan akrab ia menepuk bahu Shi-Bi. Wajah Shi-Bi sedikit terkejut, kemudian memerah marah, tapi beberapa detik kemudian ia terbahak-bahak. Tak ada orang selain Adikara yang melihat bibir Wijaya bergerak-gerak, merapal. 

Suara Wijaya membahana, "Tabik! Kami menyambut pasukan Tartar yang perkasa ke desa sederhana kami. Kami tidak akan bisa mengalahkan pasukan Kadiri tanpa bantuan Shi-Bi dan para pendekarnya. Untuk itu kami sudah menyiapkan sajian istimewa di dalam desa untuk yang terhormat Shi-Bi dan 200 orang yang terhebat di pasukannya. Silakan ikuti kami, tapi mohon maaf, mengingat kejadian yang baru dialami Putri Gayatri, tentu yang terhormat Shi-Bi mengerti apabila kami meminta semua senjata ditinggalkan di sini sebelum memasuki desa."

Sang penerjemah melongo mendengar sambutan barusan. Meninggalkan senjata? Dia harus menerjemahkan kata-kata gila ini? Bisa-bisa dia yang diamuk oleh tuannya. Tapi disiplin dan latihan bertahun-tahun mengambil alih, ia menerjemahkan sambutan tersebut dengan sempurna. Di luar dugaannya, tuannya menyanggupi dengan semangat. Tertawa bahkan.

Perlahan Adikara mulai mengerti apa yang dilakukan sahabatnya. Gendam.

Shi-Bi dan dua ratus pasukan terbaiknya mengikuti Wijaya dan Adikara memasuki desa. Dalam perjalanan, di sana-sini Adikara melihat wajah-wajah yang ia kenali. "Pasukan telik sandi?" ia menengok ke arah perkemahan pasukan Tartar, dan ia melihat kedua penjaga perkemahan tersebut tertidur di tempatnya, bersandar pada tombak mereka. Suasana perkemahan yang tadinya terdengar riuh, bahkan dari jarak sejauh ini, kini senyap. Adikara paham kini: sirep, keseluruhan sekitar dua puluh ribu orang di sana bisa dipastikan perlahan terlelap tidur. Tanpa sadar di bibirnya terbentuk senyuman. Ia teringat kembali betapa cerdasnya sahabatnya itu.

Di ujung jalan terlihat istana, balai desa mungkin lebih tepatnya, karena ukurannya tidak terlalu besar. Pada baris paling depan terlihat seluruh perempuan penghuni keputren yang sudah berdandan ayu. Hampir tak terlihat, di baris kedua pasukan Bhayangkara berpakaian seperti bangsawan, dengan tangan siap di atas senjata-senjata mereka. Di baris paling belakang terlihat kaum yang dituakan, termasuk Ki Ajar Pelandongan, mertua Adikara, yang sudah dikenal kesaktiannya. Semakin mereka mendekat, awan semakin gelap, berkumpul menggelayut di atas mereka seperti dikomando, membentuk sosok garuda raksasa. Angin semakin kencang, bahkan mulai membuat suara-suara. Kilat mulai menyambar di sana-sini. Kuda-kuda tunggangan mereka terlihat mulai gelisah. Wajah para pasukan Tartar mulai berubah, beberapa terlihat curiga tapi tak berani mengganggu komandan mereka yang senyumnya tak hilang sejak dari perbatasan desa.

Dua puluh depa, sepuluh, sembilan, delapan depa, enam, lima.. Wijaya menengok ke arah Adikara. "Semua ada waktunya Lawe sahabatku.. ," menyebut Adikara dengan nama panggilannya, wajahnya tersenyum, ".. dan waktunya adalah sekarang," katanya sambil mengangkat tangan kanannya, membuat aba-aba.


5 komentar:

  1. Red Wedding ya mas?

    Aku suka mas. Ini ciamik banget. Sudut pandang mahatahu ya? Gw merinding pas di akhir. Build upnya enak banget. Sabar tapi ga dragging. Sudut pandang ini emang cocok buat fantasi. Very well done. Selamat

    BalasHapus
  2. Tapi link spotifynya di gw ga nyala mas :(

    BalasHapus
    Balasan
    1. wah masa sih? coba gua tes ke orang-orang ya, lagunya Barasuara sih, yang judulnya Nyala Suara. Ini link ke youtube nya: https://www.youtube.com/watch?v=2t2yArIzEKU

      Hapus
    2. Lagunya kayaknya cocok mulai dimainin pas 3 paragraf terakhir, sebelum end credits

      Hapus