Minggu, 17 April 2016

[ORANG ACAK] Cafe Musim Semi

Merah, oranye, dan kuning. Bunga-bunga plastik di sana sini. Di niche, di meja-meja, bahkan bergelantungan dari langit-langit. Lihat langit-langitnya. Biru tua dan biru muda. Sungguh? Biru dan merah. Desainer interior cafe ini harus ditampar dengan buku teori warna. Tunggu. Aku rasa tidak pernah ada desainer interior. Sang pemilik pasti tidak mau mengeluarkan dananya untuk desainer interior, dan hanya percaya pada rasa ‘estetika’nya sendiri. Bencana besar-besaran. Kapankah para pemilik modal ini belajar? Sempurna. Kencan pertama dan aku sudah kesal dengan tempat ini. Lisa terlambat lima belas menit. Hebat.

“Selamat datang di cafe Musim Semi,” penunggu meja reservasi menyapa seorang tamu yang baru saja masuk di belakangku. Musim Semi. Menjelaskan bunga-bunga palsu itu. Aku memutar badanku untuk melihat siapa tamu itu. Bukan Lisa. Brengsek. Laki-laki ternyata. Kemana dia? Dia cantik, tapi kalau dia selalu terlambat begini aku tidak akan jadi mendekati dia. Aku punya aturan, dan wanita yang doyan terlambat otomatis akan kucoret. Sebaiknya aku memesan sekarang. Aku lapar.

“Mas, sori. Kok nasi goreng kambingnya gak ada kambingnya? Malah pake kismis,” sebuah suara datang dari dua meja di kiriku. Sungguh? Mereka mengacaukan makanannya juga? Ini makin lama makin baik. Tidak akan pesan nasi goreng kambing kalau begitu. Aku akan menyarankan Lisa nanti untuk memesannya.

******

Aku mengaduk-aduk nasi goreng kambingku. Sejak tadi aku tidak merasakan sedikitpun rasa kambing. Oke, ada nanas di sini, telur yang hancur, kacang polong. Piringnya memakai vignette bunga-bunga. Ah mungkin yang hitam-hitam ini. Kusendok satu potong untuk kucicipi. Aku hampir tertawa. KISMIS! Siapa yang menaruh kismis ke dalam nasi goreng? Sungguh berani. Kokinya eksperimental. Untuk itu aku kagum. Aku mengambil potongan kismis kedua dan sekarang kugabungkan dengan nasi gorengnya. Siapa tahu ada citra rasa unik yang diciptakan.

Tidak ada. Terlalu terpisah. Rasanya tidak bertemu. Rasa nasi gorengnya dan rasa kismisnya bertarung berebut perhatian. Kalau nasi gorengnya diolah secara Asia Timur mungkin ini bisa berhasil. Asam dan manis. Nanas ini akan menolong andaikan nasi gorengnya tidak terlalu gurih. Perutku menutup, tidak mau menerima lagi omong kosong ini. Apa pesananku salah?

Rombongan laki-laki di meja depanku tertawa terbahak-bahak, seakan menanggapi keadaanku. Ada lima orang laki-laki dengan botol-botol bir.

“Selamat datang di cafe Musim Semi,” penunggu meja reservasi menyapa seorang pria yang baru saja masuk. Pria yang tampan. Agak gemuk dengan kemeja yang digulung lengannya. Putih dan garis-garis biru. Kalau saja matanya tidak bermata panda begitu, dia akan sangat menarik dengan jenggotnya. Rambutnya terlalu berantakan. Dia seperti belum tidur. Menarik.

Ah, ada waiter, “Mas, sori,” kataku sambil mengangkat tanganku. Dia melihatku dan menghampiri sambil agak membungkuk. Wajahnya gabungan antara panik dan senyum keramahan yang masih dilatih.

“Boleh kerasin musiknya sedikit, Mbak?” suara pria tampan tadi terdengar di belakangku.

“Ya, mas?” waiter tadi sudah berdiri di samping mejaku.

Kok nasi goreng kambingnya gak ada kambingnya? Malah pake kismis,” tanyaku, “apa salah ya pesanannya ya?”

“Ah, oya mas? Harusnya ada kambingnya,” tidak usah sepanik itu, anak muda. Dia masih sangat baru sepertinya, “biar saya tanya ke kitchen dulu ya, mas.”

Cara menghindar paling by the book. Harusnya restoran sudah melangkah jauh dari alasan-alasan seperti ini. Tapi ini cafe biasa. Bukan fine dining di Jakarta seperti yang aku kelola. Aku harus berpikiran terbuka, “Oke.”

Aku menyeruput es teh manisku. Ya tuhan, Wari Sangi. Merk murah. Terlalu manis. Apa yang aku pikirkan ketika aku pikir cafe ini akan berbeda? Desain interior dan facade nya bagus, bunga-bunga yang mendukung nama cafenya. Penampilan bisa sangat menipu. Seharusnya aku belajar. Musik terdengar lebih keras.

“Hey! Hati-hati!” salah satu pria dari rombongan pemesan bir di seberangku berdiri dan menunjuk ke arah ... arahku?

******

Brengsek! Sialan! Perempuan sialan! Cafe baru ya rupanya? Musim Semi. Sialan. Cafe macam apa yang lampunya terang begini? Semuanya berputar-putar. Banyak sekali bunganya ...

“... Musim Semi! Sendiri atau berapa orang, Mas?” sebuah suara dari kananku. Silau sekali, aku tidak bisa melihat wajahnya. Petugas reservasi rupanya. Lama-lama wajahnya menjadi jelas. Cantik. Senyum seperti itu... aku harus hati-hati pada senyum seperti itu. Senyum wanita mengantarkan aku ke keadaan seperti ini. Selalu. SELALU!

“Mas? Selamat datang. Apa anda menunggu teman?” tanyanya lagi. Mengganggu sekali.

“Sa ... saya mencari teman saya ...”

“Baik, mas ... silakan ...”

Aku melangkah pelan ke depan, sambil mencari pegangan yang tak kunjung aku temukan. Sialan! Musiknya terlalu pelan. Aku berputar kembali mencari Mbak yang senyumnya menarik tadi. Isi cafe berputar mengikuti putaranku. Itu dia, “Mbak ... Boleh kerasin musiknya sedikit, Mbak?” Kalau musiknya pelan, pria sialan itu tidak akan menyadari kehadiranku. Mana dia?

Lisa selingkuh. Aku tidak bisa percaya ini. Apa yang tidak aku berikan padanya? Kenapa dia lakukan ini padaku? Musik terdengar mengeras. Lucu sekali. Ini lagu kesukaan Lisa. Sepertinya ini memang pertanda. Aku akan tunjukkan dia tidak akan bisa macam-macam sebagai kekasihku. Dia kekasihku. Tidak boleh ada yang mengambilnya. Andai Lisa tidak salah kirim Whatsapp semalam, aku tidak akan pernah tahu. Lihat Lisa? Tuhan masih berpihak pada kita! Pada hubungan kita ...

“Oke,” aku mendengar suara dari beberapa meja di hadapanku. Pria itu ... dia berbincang dengan waiter. Daerah tempat dia duduk bercahaya lembut. Cocok untuk kencan pasangan yang berselingkuh. Di bawah bunga-bunga bergelantungan dari langit-langit. Pria itu berpakaian rapi. Pakai jas, berlebihan sekali. Bandung sedang panas belakangan ini, dasar laki-laki kebanyakan gaya! Pasti dia ... Ini pasti laki-laki yang akan ditemui Lisa.

Akan kuhajar dia.

Denyut jantungku berdetak keras dari dalam telingaku. Ruangan ini tidak lagi berputar-putar. Aku jadi fokus. Bagus. Waktu terasa melambat, rasanya pria itu jauh sekali. Tiba-tiba aku sudah di belakangnya. Aku mengangkat tinjuku, yang baru kusadari kukepalkan dari tadi.

“Hey! Hati-hati!” suara dari depanku terdengar tepat sebelum aku meninju kepala pria sialan ini. Dia jatuh ke samping, bersama gelas es tehnya yang langsung pecah di lantai. Aku menendangnya, menendangnya lagi, dan lagi, lalu naik ke atas tubuh sialannya dan meninju wajah tampannya. Akan kurusak wajah ini, supaya Lisa tidak lagi meliriknya. Aku merasakan tubuhku hangat, lalu memanas. Aku tidak bisa berhenti. Mampus kau, anjing!

******

“Sebentar, Mbak. Masih loading,” kata supir Uberku, “daerah sini susah sinyal.”

Gawat. Aku sudah setengah jam terlambat. Bram akan marah besar. Aku merogoh dompetku cepat-cepat dan mengeluarkan selembar seratus ribuan dan kuserahkan pada pak supir, “Pak, ini ambil saja. Saya buru-buru,” Bram mudah-mudahan memberiku uang malam ini. Aku harap gaun merahku dan rambut yang kucatok keriting ini menginspirasinya.

“Aduh, punten, Mbak. Makasih”

Aku cepat-cepat turun dari Avanza itu, dan melangkah cepat-cepat ke dalam cafe. Suara ribut apa itu? Petugas keamanan meraih tanganku, “Mbak, maaf. Ada keributan di dalam, lebih baik mbak tunggu di sini.”

“Saya mau cari teman saya dulu, Pak.”

“Tunggu di sini saja, Mbak. Bahaya. Teman Mbak pasti akan keluar.”

“Lisa!” suara Bram. Aku menengok dan melihat dia berlari ke luar cafe.

“Bram, maaf. Aku ...”

“Lupakan. Lebih baik kita pergi dari sini. Ada orang gila di dalam memukuli orang. Sepertinya dia mabuk. Kejadian yang cocok untuk cafe yang tacky seperti ini.”

“Oya? Wow ... aku ...” Bram menarik tanganku dan membawaku berjalan cepat ke mobilnya.

“Sepertinya orang gila itu Johan, kekasihmu ...” katanya sambil mencengkeram dan menarik tanganku. Jantungku seakan berhenti beberapa saat. Blunder Whatsapp semalam ternyata jadi begini. Seharusnya aku mengundur janjiku dengan Bram. Tadi malam Johan menanyakan isi pesan yang seharusnya kukirimkan ke Bram. Gawat. Ini gawat. Aku pikir alasan yang kuberi ke Johan sudah cukup canggih ... sialan!

“Kamu tahu dari mana itu Johan?” aku tak sadar tenggorokanku telah kering. Suaraku jadi berantakan.

Bram melepas tanganku lalu berdiri berkacak pinggang menghadap aku, “Sambil memukul orang itu, dia bilang ‘kamu mau ketemu Lisa? Kamu mau ketemu Lisa?’ ” Bram dan Johan sama-sama tidak saling mengenal, dan Bram menghajar orang lain. Ini tidak keruan, “sepertinya aku tidak mau lagi melanjutkan hubungan ini, Lisa. Pacar kamu gila, dan kamu suka terlambat!”

Kurang ajar.

“Aku akan antarkan kamu sampai rumah, tapi sesudah itu kita harus memutuskan hubungan.”


Aku kelu dan berdiam diri sambil melangkah ke mobil Johan. Bram terkenal tidak akan mengubah pendiriannya, tak peduli warna gaunku apa. Sial. Gagal lagi usahaku mendapatkan pria kaya. Aku harus menajamkan skillku lagi dan lebih bermain cantik. Mungkin lain kali akan kucoba Alex.  

2 komentar: