Merah, oranye, dan kuning. Bunga-bunga plastik di sana sini.
Di niche, di meja-meja, bahkan
bergelantungan dari langit-langit. Lihat langit-langitnya. Biru tua dan biru
muda. Sungguh? Biru dan merah. Desainer interior cafe ini harus ditampar dengan
buku teori warna. Tunggu. Aku rasa tidak pernah ada desainer interior. Sang
pemilik pasti tidak mau mengeluarkan dananya untuk desainer interior, dan hanya
percaya pada rasa ‘estetika’nya sendiri. Bencana besar-besaran. Kapankah para
pemilik modal ini belajar? Sempurna. Kencan pertama dan aku sudah kesal dengan
tempat ini. Lisa terlambat lima belas menit. Hebat.
“Selamat datang di cafe Musim Semi,” penunggu meja reservasi
menyapa seorang tamu yang baru saja masuk di belakangku. Musim Semi.
Menjelaskan bunga-bunga palsu itu. Aku memutar badanku untuk melihat siapa tamu
itu. Bukan Lisa. Brengsek. Laki-laki ternyata. Kemana dia? Dia cantik, tapi
kalau dia selalu terlambat begini aku tidak akan jadi mendekati dia. Aku punya
aturan, dan wanita yang doyan terlambat otomatis akan kucoret. Sebaiknya aku
memesan sekarang. Aku lapar.
“Mas, sori. Kok
nasi goreng kambingnya gak ada
kambingnya? Malah pake kismis,”
sebuah suara datang dari dua meja di kiriku. Sungguh? Mereka mengacaukan
makanannya juga? Ini makin lama makin baik. Tidak akan pesan nasi goreng
kambing kalau begitu. Aku akan menyarankan Lisa nanti untuk memesannya.
******
Aku mengaduk-aduk nasi goreng kambingku. Sejak tadi aku
tidak merasakan sedikitpun rasa kambing. Oke,
ada nanas di sini, telur yang hancur, kacang polong. Piringnya memakai vignette bunga-bunga. Ah mungkin yang
hitam-hitam ini. Kusendok satu potong untuk kucicipi. Aku hampir tertawa.
KISMIS! Siapa yang menaruh kismis ke dalam nasi goreng? Sungguh berani. Kokinya
eksperimental. Untuk itu aku kagum. Aku mengambil potongan kismis kedua dan
sekarang kugabungkan dengan nasi gorengnya. Siapa tahu ada citra rasa unik yang
diciptakan.
Tidak ada. Terlalu terpisah. Rasanya tidak bertemu. Rasa
nasi gorengnya dan rasa kismisnya bertarung berebut perhatian. Kalau nasi
gorengnya diolah secara Asia Timur mungkin ini bisa berhasil. Asam dan manis.
Nanas ini akan menolong andaikan nasi gorengnya tidak terlalu gurih. Perutku
menutup, tidak mau menerima lagi omong kosong ini. Apa pesananku salah?
Rombongan laki-laki di meja depanku tertawa terbahak-bahak,
seakan menanggapi keadaanku. Ada lima orang laki-laki dengan botol-botol bir.
“Selamat datang di cafe Musim Semi,” penunggu meja reservasi
menyapa seorang pria yang baru saja masuk. Pria yang tampan. Agak gemuk dengan
kemeja yang digulung lengannya. Putih dan garis-garis biru. Kalau saja matanya
tidak bermata panda begitu, dia akan sangat menarik dengan jenggotnya.
Rambutnya terlalu berantakan. Dia seperti belum tidur. Menarik.
Ah, ada waiter, “Mas,
sori,” kataku sambil mengangkat
tanganku. Dia melihatku dan menghampiri sambil agak membungkuk. Wajahnya
gabungan antara panik dan senyum keramahan yang masih dilatih.
“Boleh kerasin
musiknya sedikit, Mbak?” suara pria tampan tadi terdengar di belakangku.
“Ya, mas?” waiter tadi sudah berdiri di samping mejaku.
“Kok nasi goreng
kambingnya gak ada kambingnya? Malah pake kismis,” tanyaku, “apa salah ya
pesanannya ya?”
“Ah, oya mas? Harusnya ada kambingnya,” tidak usah sepanik
itu, anak muda. Dia masih sangat baru sepertinya, “biar saya tanya ke kitchen dulu ya, mas.”
Cara menghindar paling by
the book. Harusnya restoran sudah melangkah jauh dari alasan-alasan seperti
ini. Tapi ini cafe biasa. Bukan fine
dining di Jakarta seperti yang aku kelola. Aku harus berpikiran terbuka, “Oke.”
Aku menyeruput es teh manisku. Ya tuhan, Wari Sangi. Merk
murah. Terlalu manis. Apa yang aku pikirkan ketika aku pikir cafe ini akan
berbeda? Desain interior dan facade nya
bagus, bunga-bunga yang mendukung nama cafenya. Penampilan bisa sangat menipu.
Seharusnya aku belajar. Musik terdengar lebih keras.
“Hey! Hati-hati!” salah satu pria dari rombongan pemesan bir
di seberangku berdiri dan menunjuk ke arah ... arahku?
******
Brengsek! Sialan! Perempuan sialan! Cafe baru ya rupanya?
Musim Semi. Sialan. Cafe macam apa yang lampunya terang begini? Semuanya
berputar-putar. Banyak sekali bunganya ...
“... Musim Semi! Sendiri atau berapa orang, Mas?” sebuah
suara dari kananku. Silau sekali, aku tidak bisa melihat wajahnya. Petugas
reservasi rupanya. Lama-lama wajahnya menjadi jelas. Cantik. Senyum seperti
itu... aku harus hati-hati pada senyum seperti itu. Senyum wanita mengantarkan
aku ke keadaan seperti ini. Selalu. SELALU!
“Mas? Selamat datang. Apa anda menunggu teman?” tanyanya
lagi. Mengganggu sekali.
“Sa ... saya mencari teman saya ...”
“Baik, mas ... silakan ...”
Aku melangkah pelan ke depan, sambil mencari pegangan yang
tak kunjung aku temukan. Sialan! Musiknya terlalu pelan. Aku berputar kembali
mencari Mbak yang senyumnya menarik tadi. Isi cafe berputar mengikuti
putaranku. Itu dia, “Mbak ... Boleh kerasin
musiknya sedikit, Mbak?” Kalau musiknya pelan, pria sialan itu tidak akan
menyadari kehadiranku. Mana dia?
Lisa selingkuh. Aku tidak bisa percaya ini. Apa yang tidak
aku berikan padanya? Kenapa dia lakukan ini padaku? Musik terdengar mengeras.
Lucu sekali. Ini lagu kesukaan Lisa. Sepertinya ini memang pertanda. Aku akan
tunjukkan dia tidak akan bisa macam-macam sebagai kekasihku. Dia kekasihku.
Tidak boleh ada yang mengambilnya. Andai Lisa tidak salah kirim Whatsapp semalam, aku tidak akan pernah
tahu. Lihat Lisa? Tuhan masih berpihak pada kita! Pada hubungan kita ...
“Oke,” aku mendengar suara dari beberapa meja di hadapanku.
Pria itu ... dia berbincang dengan waiter.
Daerah tempat dia duduk bercahaya lembut. Cocok untuk kencan pasangan yang
berselingkuh. Di bawah bunga-bunga bergelantungan dari langit-langit. Pria itu
berpakaian rapi. Pakai jas, berlebihan sekali. Bandung sedang panas belakangan
ini, dasar laki-laki kebanyakan gaya! Pasti dia ... Ini pasti
laki-laki yang akan ditemui Lisa.
Akan kuhajar dia.
Denyut jantungku berdetak keras dari dalam telingaku.
Ruangan ini tidak lagi berputar-putar. Aku jadi fokus. Bagus. Waktu terasa
melambat, rasanya pria itu jauh sekali. Tiba-tiba aku sudah di belakangnya. Aku
mengangkat tinjuku, yang baru kusadari kukepalkan dari tadi.
“Hey! Hati-hati!” suara dari depanku terdengar tepat sebelum
aku meninju kepala pria sialan ini. Dia jatuh ke samping, bersama gelas es tehnya
yang langsung pecah di lantai. Aku menendangnya, menendangnya lagi, dan lagi,
lalu naik ke atas tubuh sialannya dan meninju wajah tampannya. Akan kurusak
wajah ini, supaya Lisa tidak lagi meliriknya. Aku merasakan tubuhku hangat,
lalu memanas. Aku tidak bisa berhenti. Mampus kau, anjing!
******
“Sebentar, Mbak. Masih loading,” kata supir Uberku, “daerah
sini susah sinyal.”
Gawat. Aku sudah setengah jam terlambat. Bram akan marah
besar. Aku merogoh dompetku cepat-cepat dan mengeluarkan selembar seratus
ribuan dan kuserahkan pada pak supir, “Pak, ini ambil saja. Saya buru-buru,” Bram
mudah-mudahan memberiku uang malam ini. Aku harap gaun merahku dan rambut yang
kucatok keriting ini menginspirasinya.
“Aduh, punten, Mbak.
Makasih”
Aku cepat-cepat turun dari Avanza itu, dan melangkah cepat-cepat
ke dalam cafe. Suara ribut apa itu? Petugas keamanan meraih tanganku, “Mbak,
maaf. Ada keributan di dalam, lebih baik mbak tunggu di sini.”
“Saya mau cari teman saya dulu, Pak.”
“Tunggu di sini saja, Mbak. Bahaya. Teman Mbak pasti akan
keluar.”
“Lisa!” suara Bram. Aku menengok dan melihat dia berlari ke
luar cafe.
“Bram, maaf. Aku ...”
“Lupakan. Lebih baik kita pergi dari sini. Ada orang gila di
dalam memukuli orang. Sepertinya dia mabuk. Kejadian yang cocok untuk cafe yang
tacky seperti ini.”
“Oya? Wow ... aku ...” Bram menarik tanganku dan membawaku
berjalan cepat ke mobilnya.
“Sepertinya orang gila itu Johan, kekasihmu ...” katanya
sambil mencengkeram dan menarik tanganku. Jantungku seakan berhenti beberapa
saat. Blunder Whatsapp semalam
ternyata jadi begini. Seharusnya aku mengundur janjiku dengan Bram. Tadi malam
Johan menanyakan isi pesan yang seharusnya kukirimkan ke Bram. Gawat. Ini
gawat. Aku pikir alasan yang kuberi ke Johan sudah cukup canggih ... sialan!
“Kamu tahu dari mana itu Johan?” aku tak sadar tenggorokanku
telah kering. Suaraku jadi berantakan.
Bram melepas tanganku lalu berdiri berkacak pinggang
menghadap aku, “Sambil memukul orang itu, dia bilang ‘kamu mau ketemu Lisa?
Kamu mau ketemu Lisa?’ ” Bram dan Johan sama-sama tidak saling mengenal, dan
Bram menghajar orang lain. Ini tidak keruan, “sepertinya aku tidak mau lagi
melanjutkan hubungan ini, Lisa. Pacar kamu gila, dan kamu suka terlambat!”
Kurang ajar.
“Aku akan antarkan kamu sampai rumah, tapi sesudah itu kita
harus memutuskan hubungan.”
Aku kelu dan berdiam diri sambil melangkah ke mobil Johan. Bram
terkenal tidak akan mengubah pendiriannya, tak peduli warna gaunku apa. Sial. Gagal
lagi usahaku mendapatkan pria kaya. Aku harus menajamkan skillku lagi dan lebih bermain cantik. Mungkin lain kali akan
kucoba Alex.
Jadi penasaran dengan sosok fisik Lisa... :D
BalasHapusMOLEUGH
BalasHapus