Senin, 11 April 2016

[SAHABAT] Godel


Boni datang paling pagi. Dia memang begitu, hampir tidak pernah terlambat, kalaupun terlambat dia akan berusaha mengabari sebelumnya. Dulu aku pernah tanya kenapa dia begitu konsisten datang duluan, dia cuma jawab, "Cara paling mudah mengatakan waktu gua lebih berharga dibanding waktu elo, adalah dengan datang terlambat. Dan itu sombong sekali." Semua yang kenal dia tahu, Boni paling kesal kalau dia harus menunggu, buat sebagian orang ini kontradiktif dengan konsistensinya datang paling awal, tapi aku paham: kalau dia datang terlambat, lain kali orang akan datang lebih terlambat lagi, dia ingin mengubah kebiasaan ini dengan caranya sendiri. Profesinya sebagai dosen terlihat di caranya berpakaian.

Yanto datang kedua, sejak masa sekolah dulu potongan anak ini tidak berubah. Kacamata bingkai tebal, gerak-gerik yang menunjukkan pikirannya yang sulit berhenti berputar. Tidak banyak yang mengerti kenapa kami dekat dengan anak ini. Anak yang terlihat antagonistik dengan segala sesuatu. Tak jarang ia terjebak situasi tidak menyenangkan karena sikapnya. Tak banyak yang mengerti, bahwa yang Yanto lakukan bukanlah menunjukkan ketidaksetujuan atau penghinaan. Yanto hanya ingin mempertanyakan segala hal, karena katanya, hanya dengan demikian kita bisa maju, bisa belajar. Yanto juga pemain gitar yang handal, kini mengelola perusahaan asuransi milik sepupunya.

Hotma datang berikutnya. Dari posturnya dapat dilihat kehidupannya sekarang sangat baik. Tidak seperti Yano yang ceking abadi, berat badan Hotma sepertinya bertambah berbanding lurus dengan umurnya. Setiap kali disindir, jawabannya hanya "Maklumlah bos, tiap kali aku meeting, harus makan pula lah aku, hahaha!" Seorang extrovert sejati, Hotma kadang terlihat sombong. Di antara kami semua, Hotmalah yang paling supel, paling mudah bergaul. Kami tidak pernah bicara ini di hadapannya, tapi dialah perekat kelompok kecil kami ini. Hanya kamilah mungkin yang tahu cerita hidupnya yang tidak seindah dan semudah yang dia tampilkan di depan semua orang.

Yunus datang paling akhir. Besar di Amerika Serikat, dialah yang biasanya yang dulu membawa ide-ide "kontroversial". Pada saat guru sejarah kami bercerita tentang konflik Israel-Palestina, Yunus yang satu-satunya berani memberikan argumen berseberangan dengannya. Dia juga pernah menolak ikut pelajaran agama karena menurutnya waktu itu, dia adalah seorang agnostik. Vokalnya ia menyuarakan pendapatnya membuat dia dijauhi, atau paling tidak dipandang dengan curiga oleh sebagian besar orang di sekolah kami, siswa, guru, maupun penjaga sekolah. Sepertinya di antara kami semua, dialah yang hidupnya paling banyak berubah. Kini Yunus hampir selalu memakai gamis, berkopiah, dan memelihara janggut lebat. Setiap kali ditanya alasan perubahannya, ia hanya tersenyum. (Diam-diam kami menyimpulkan perubahan ini karena istrinya).

Waktu jaman sekolah dulu kami memanggil satu sama lain dengan 'godel', anak sapi. Entah siapa yang memulai, tapi kami ingat panggilan ini dimulai sejak kami study tour ke Bali. Panggilan mesra ini kemudian menyebar ke seluruh sekolah, dan dengan nama itulah kelompok kecil kami ini dikenal, para godel. Dalam ekosistem siswa sekolah kami, kami berada di tengah-tengah. Tidak diidolakan para wanita seperti kelompoknya Soni yang jago olahraga atau anak-anak ekskul musik. Tidak ditakuti seperti kelompoknya Arno dan begundal-begundalnya. Tapi juga lebih sering berbaur dengan yang lain dibanding kelompok bodat yang kuper, atau grup Eka yang kutubuku itu. Sekedar catatan, demi status sosial kami pernah berusaha membentuk band musik, tapi tidak bertahan lama karena selera yang berbeda (Aku dan Yanto lebih suka brit pop, Hotma punk, Yunus metal, dan Boni lagu-lagu Benyamin S). Apa boleh buat.

Hari ini hari istimewa, hari di mana kami memutuskan untuk selalu bertemu setahun sekali, hmm...sebenarnya mereka yang memutuskan, aku hanya ikutan saja. Setelah kami berkumpul, Boni --yang secara de facto pemimpin di kelompok kami ini-- angkat bicara," Halo 'Del, apa kabar semua? Hotma, lu makin keliatan pas sama panggilan kita.. hahaha. Gak kerasa udah setahun lagi lewat ya? " Pertanyaan yang dijawab dengan senyuman dan anggukan kepala. "Jadi gimana rencana kita hari ini? Seperti biasa?" Yanto yang dari tadi tampaknya sudah tidak sabar menjawab cepat "Iya, yuk, naik mobil gua aja ya. Tahun lalu naik mobil Hotma malah mogok melulu." Hotma tertawa mendengar itu "Hahahaha, maklum lah 'Del, mobil Eropa, kalau gak rewel gak afdol lah.. beda lah sama mobil Korea lu". Yunus mendamaikan, "Sudah sudah, yuk kita berangkat, nanti kesiangan, macet kan kalau siang?" Semua sepertinya setuju pendapat Yunus, kami berangkat!

Di dalam mobil seperti biasa kami bertukar cerita, saling mengabarkan apa yang sedang kami lakukan saat ini. Setelah beberapa lama kami akan mengulangi cerita-cerita lama, cerita saat kami berlima masih bersama-sama tiap hari. Sebuah pola yang familiar. Cerita ketika kami bolos dari sekolah dan tak sengaja bertemu dengan pak Edo guru bahasa Inggris di bioskop. Pengalaman bodoh kami saat pertama kali mencoba saké. Ketika Yanto salah memasukkan abu rokok ke mangkuk sop buntut yang belum sempat ia makan. Petualangan kami di Bogor sebelum keberangkatanku. Tentang kentut subsonik Hotma yang seperti blitzkrieg, hanya diketahui setelah terlambat. Tentang aku yang diminta tolong untuk menulis puisi oleh Yunus untuk Nina, dan malah sukses membuat Nina jadi pacarku. "Gue seneng kita bisa ngumpul lagi kayak gini," kataku tanpa menuju siapapun secara spesifik. Satu dua senyum tersungging di pipi sobat-sobatku. Di hari ini kami kembali menjadi lima anak SMA, masa depan terbentang jauh di hadapan kami.

Napak tilas kami seperti biasa dimulai dari restoran Jepang di mana kami pertama kali mencoba saké. Di usia sekarang, kami tidak berani lagi minum saké sepagi ini, jadi biasanya sekarang di tempat pertama ini kami hanya makan beberapa potong sushi. Setelah puas makan dan bercerita, kami melanjutkan perjalanan ke Bogor, berkeliling-keliling menikmati pemandangan (dan kemacetan) sebelum menuju Kebun Raya. Setelah hari agak siang, kami kembali ke Jakarta untuk makan siang di restoran sop buntut pinggir jalan tempat kami dulu sering berkumpul. Tempat Yanto "membumbui" sopnya dengan abu rokok. Kami selalu bercanda tempat ini suatu saat akan memasang tanda dilarang masuk dengan muka-muka kami di atasnya karena berisiknya kami setiap kali berkunjung. 

Semakin kami menuju tujuan terakhir perjalanan kami hari ini, mobil yang kami kendarai terasa makin senyap. Canda dijawab dengan tawa yang makin dihela. Masing-masing larut dengan kenangannya.

Ujung perjalanan kami hari ini adalah sebuah tempat yang kontradiktif, tempat yang menjadi dinding pemisah antara kami, tetapi secara bersamaan menjadi segel yang mengikat kami untuk selalu bersama. 

Ketika mobil berhenti di tujuan, tak ada suara terdengar dari dalam kabin. Senyap. Yang terdengar hanya suara burung malam yang menyambut senjakala.

---

Keempat sahabat itu keluar dari mobil, menyeberangi lahan yang dipenuhi batu nisan. Mereka berhenti di dekat salah satu makam, membersihkan sekelilingnya, kemudian duduk. Salah seorang dari mereka memipin doa, yang apabila didengarkan lebih mirip dengan obrolan yang sangat akrab. Beberapa bagian ia ucapkan dengan tersenyum, beberapa bagian disambut tawa teman-temannya, beberapa bagian dengan suara bergetar, dan beberapa bagian lainnya yang bahkan sepertinya tak sanggup untuk ia ucapkan. Setelah ia selesai, teman-temannya bergantian mengucapkan beberapa kata pendek. Kata-kata singkat yang dalam keringkasannya menyimpan suka duka dalam hampir setengah kehidupan mereka. Kata-kata ringkas yang palung dan puncaknya hanya dimengerti oleh mereka berlima.

4 komentar:

  1. Tadinya mau bikin yang lebih ringan, tapi mengingat alasan kenapa tema ini dipilih, rasanya ini lebih tepat untuk menghormati tema tersebut.

    BalasHapus
  2. deskripsi para godelnya menarik, hehe, cuma kok endingnya gitu, hiks :'(

    btw, nampaknya benda ini: "Tentang aku yang diminta tolong untuk menulis puisi oleh Yunus untuk Nina, dan malah sukses membuat Nina jadi pacarku." adalah kejadian nyata, haha

    BalasHapus
  3. Ahahah. Sejauh ini tema sahabat agak morbid ya bo. Valar morghulis. Sudut pandang yang mas ambil menarik. Kalau gw ga salah, si narator bagian pertama sudah tiada ya? Jadi dia orang pertama terbatas. Kalau bagian kedua setelah jeda, mahatahu. Salah ga gw mas?

    Kalau misalnya benar, mungkin gw bisa komen untuk bagian pertama. Gw kurang menangkap rasa sayang narator sama temen-temennya ini. Masih agak bland dan ga berkarakter. Mungkin voicenya kurang unik. Gw hampir protes soal info dump ("Profesinya sebagai dosen terlihat di caranya berpakaian", "gerak-gerik yang menunjukkan pikirannya yang sulit berhenti berputar" <--- ada kecenderungan memberitahu bukan menunjukkan), tapi melihat nature ceritanya unfolding, masih sah-sah saja sepertinya. Tapi ya gitu mas, kayaknya untuk hal-hal yang sedih begini, voicenya mesti agak lebih ngeset 'nada' ceritanya.

    Gitu aja mas. Kalau pembacaan gw salah bilang aja ya heheh.

    *ps: apa ya bahasa Indonesia untuk 'voice' dalam cerita? Hahaha. Suka sebel pake istilah2 englays.

    BalasHapus