Sabtu, 16 April 2016

[Orang Acak] Pak Tua

"Orang gila! Orang gilaa!!" gerombolan anak-anak itu mengikuti Pak tua Somad sambil meneriakkan kata-kata tersebut. Sesekali teriakan mereka dipecahkan suara tawa ketika lelaki tua itu menengok ke arah mereka sambil memasang muka kocak. Hampir setiap hari kejadian itu berulang di kampung kami ini, tapi tak sekalipun aku lihat pak tua itu marah. Waktu pertama kali ia datang ke kampung ini, di dalam teriakan anak-anak itu terdengar nada ejekan, tapi karena yang diejek tidak menunjukkan ketidaksukaan, perlahan-lahan nada tersebut berubah, kini teriakan-teriakan tersebut lebih terdengar seperti panggilan bermain dari anak-anak tersebut untuk Pak tua Somad.

Akulah yang pertamakali menemukannya beberapa bulan lalu di Selatan kampung ini, Aku dan A Siong temanku satu daidan di Kyōdo Bōei Giyūgun. Kami menemukannya tanpa pakaian, berputar - putar sambil mengucapkan kata-kata acak. Seperti orang linglung. Pertamakali kami sapa, pertanyaan pertama yang ia lakukan adalah di mana dia berada. Pertanyaan berikutnya makin menegaskan ada yang tak beres dengan ingatannya, "tahun berapa sekarang?"

Kami memutuskan untuk membawanya ke kampung kami untuk mengamankannya dari serdadu Nippon yang belakangan ini rasanya semakin mudah saja terpancing. Mungkin karena mereka sedang perang melawan Amerika Serikat. Aku tak begitu paham, sebelum jadi tentara aku cuma petani biasa. Sampai sekarang pun tak minat mengikuti kejadian-kejadian yang menurutku tak akan berpengaruh pada hidupku.

Ada satu gumaman yang membuatku dan A Siong sepakat untuk segera menyembunyikan orang tua itu, ia berulang ulang mengatakan "Jepang hampir kalah, Jepang hampir kalah.." Ucapan yang mungkin bisa membuatnya dibunuh di tempat oleh tentara Nippon. Atau mungkin lebih buruk lagi. Tak kusangka di bulan-bulan berikutnya kami akan mendengar igauan yang lebih luar biasa lagi.

"Kation, anion,.... Kwark,... hadron, masa kritikal, gravitasi, reaksi fusi atau fisi. Fusi atau fisi," kalimat itu diulang-ulangnya sepanjang perjalanan menuju kampung. Bunyi-bunyi acak tanpa makna.

Kami membuatkan pak tua sebuah gubuk di pinggir desa, sekedar cukup untuk tempatnya tidur. Ibu-ibu kampung secara bergiliran membuatkannya makan. Kelakuannya yang linglung dan ucapannya yang tak jelas membuatnya diolok-olok anak-anak. Tapi seperti yang aku bilang tadi, perlahan-lahan anak-anak tersebut akrab dengan pak tua Somad, karena tak disangka ia pandai berdongeng.

Hampir tiap hari ia menceritakan kisah-kisah fantastis. Mengenai alat yang bisa membantu manusia berpikir, televisi berwarna sebesar genggaman, katanya di masa depan nanti, semua rumah akan seterang siang hari, pesawat telepon tidak perlu lagi melewati operator, bahkan tak perlu kabel. Mobil akan lebih cepat dibanding kereta saat ini. Jalanan akan bertingkat-tingkat. Orang tak perlu menunggu lama untuk melihat hasil foto. Manusia mendarat di Bulan! Kadang aku dan A Siong ikut duduk  dan bertepuk tangan bersama anak-anak itu mendengarkan kisah pak tua.

Kadang pak tua Somad tidak terlihat di desa kami, biasanya ia pergi sehari penuh. Ketika aku tanya, katanya ia pergi untuk mengunjungi kerabatnya di dusun tetangga. Kenapa ia tak tinggal bersama mereka aku tak tahu.

Suatu ketika di akhir bulan Juni, pak tua Somad memintaku dan A Siong untuk duduk lebih lama, ia ingin berbicara dengan kami setelah anak-anak pulang. Kami pun menunggu dengan penasaran. Tak pernah pak tua meminta kami mendengarkannya.

"Sebentar lagi aku akan pergi, " katanya memulai pembicaraan, setelah anak terakhir pulang.

"Pergi ke mana Pak tua?" aku bertanya-tanya.

"Pulang.. Aku harap, " katanya, senyumnya terlihat.

"Pulang ke mana Pak?" giliran A Siong bertanya.

"Jauh dari sini, jauh dan lama," jawabnya singkat.

"Aku ingin titip sesuatu kepada kalian.. Sebentar lagi akan ada kabar mengejutkan dari Jepang, dari Nippon... Ada dua buah bom yang akan dijatuhkan Amerika. Bom-bom yang begitu kuatnya, masing-masing dapat meluluhlantakkan sebuah kota ketika dijatuhkan," matanya bergantian menatapku dan A Siong, menahan pandangannya sejenak seakan menegaskan ia tidak bercanda. Kami diam saja bertukar pandangan, tak tahu harus bereaksi apa.

"Bom itu menandai akhir perang yang dikobarkan Jepang dan segala ambisi imperialismenya, dan itulah juga tandanya aku pulang. Pada saat itu terjadi, aku takkan ada di sini lagi," sambungnya. Beruntung pak tua bercerita kepada kami, bukan ke tentara yang daidan nya masih loyal kepada Nippon. Lidahnya mungkin bisa dipotong di tempat karena kata-katanya barusan.

"Di awal Agustus, seorang shodancho bernama Singgih akan meminta kerelaan salah satu tentara untuk rumahnya dijadikan tempat menginap beberapa pemuda. A Siong, aku minta kau yang menyanggupi permintaan tersebut. Para pemuda tersebut akan mulai menginap di rumahmu pada tanggal 14," mata pak tua lekat menatap sobatku itu.

"Pada tanggal 16 bulan Agustus, dini hari, mereka akan membawa dua orang yang namanya sudah sering kita dengar. Tugasmu sebagai tuan rumah adalah menjaga agar diskusi yang terjadi tidak pecah menjadi pertengkaran. Paham? " aku melihat sobatku mengangguk.

"Tugasmu,.. " kali ini dia melihat ke arahku,".. adalah menunggu di jalan utama kampung malam itu. Dua orang serdadu Nippon akan berjalan dari arah selatan. Ajak mereka ngobrol dan minum di warung, jaga emosi mereka, dan yang terpenting, jangan sampai mereka mendengar diskusi yang terjadi di rumah A Siong. Paham?" tanpa sadar sepertinya aku mengangguk.

"Selain itu aku minta tolong kepada kalian, beberapa jam setelah bom-bom dijatuhkan di atas daerah Nippon, berita mengenai jatuhnya bom-bom tersebut akan mencapai Nusantara, dan akan terjadi kekacauan di beberapa tempat oleh tentara Nippon. Salah satu tempat tersebut adalah di sebuah dusun, lima kilometer ke selatan dari sini, " wajahnya terlihat sedih, tapi selain itu seperti ada pertarungan di batinnya.

"Pada tanggal 8 Agustus, aku minta tolong kalian berdua menuju dusun tersebut, akan ada seorang anak yang selamat dari kekacauan tersebut, tapi ia kehilangan seluruh keluarganya sehari sebelumnya. Tolong angkat anak itu dan rawat dia sebagaimana ia anakmu sendiri, " matanya kembali menatapku, dan aku sepertinya kembali mengangguk.

"Pada saat kau menunggu pasukan Nippon di dini hari tanggal 16 Agustus tersebut, anak itu akan mengikutimu diam-diam. Jangan kau marah terlalu keras kepadanya," pak tua tersenyum.

"Siapa nama anak itu Pak tua? " aku bertanya. Supaya lebih mudah aku mencarinya.

"Somad."

5 komentar:

  1. Science fiction abis. Ini cakep mas. Jelas banget. Dari segi storytelling ga ada masalah mas.

    Sekarang komen sebagai pembaca aja yaaah. Pak Somad ih ceroboh banget etika time travelnya, dia beresiko merusak space time continuum dengan terlalu ikut campur sama masa lalu. Hahahah

    BalasHapus
    Balasan
    1. Sebetulnya motivasinya balik ke masa lalu itu emang ngerubah masa lalu, nyelamatin keluarganya, tapi terus dia berubah pikiran. Kayanya seharusnya konflik internal di batin Pak Somad bisa lebih diolah ya, oh well. Next time better lah :D

      Hapus
    2. Ooooo... nah itu ga ketahuan mas. Oke dech

      Hapus
  2. idenya keren, sci-fi + historical fiction. sayang suspensenya kurang, soalnya dari awal udah ketebak pakde somad adala seorang time traveller. itu saja, pak.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Thanks komennya Pak. Tadinya emang mau diolah ke arah drama nya, alasan kenapa dia balik. Tapi kayanya kurang ya. Hahaha.

      Hapus