Minggu, 10 April 2016

[SAHABAT] Dada Sang Mata Satu



Angin dingin berhembus kencang menggemerisikkan daun-daun kering di tanah dan di pepohonan, semuanya beringin. Langit abu-abu dan gemuruh petir terdengar di kejauhan, tapi hujan tak kunjung datang. Jonas akan suka pemandangan ini. Dia akan suka angin dan gemerisik dedaunan keringnya. Mataku buram kembali, aku menarik nafas dengan harapan air mataku kembali masuk ke kelenjarnya. Pria tidak menangis di sini.

Persephone berdiri gemetar di sisi berlawanan denganku. Di sisi sebelah sana perapian Para Pelaut. Kandungannya entah sudah berapa bulan, tapi sudah terlihat. Dia memakai gaun panjang merah tertutup sampai ujung tangannya. Semua orang memakai merah di pemakaman penghormatan, tidak hitam, karena bisa jadi orang yang bersangkutan masih hidup. Walau entah di mana. Semua orang memakai merah, menegaskan warna daun-daun kering yang bergemerisik, tapi merah Persephone yang paling menyala. Seperti darah, seperti cinta, dan dia bercahaya, makin indah ketika dia menangis.

Apakah anak yang dikandungnya itu anak Jonas?

Semua teman-teman Jonas hadir. Tidak ada orang tua. Hanya sang pendeta, Persephone, dan akulah yang paling tua di sini. Jonas tidak punya orang tua. Sejauh yang dia ingat, dia selalu bagian dari keluarga Rumah Yatim Prax. Aku tidak pernah tahu apakah itu benar. Semakin aku mencoba mengenangnya, semakin kusadari aku tidak pernah tahu sepenuhnya mengenai Jonas. Angin bertiup lagi ke punggungku, dan rasa sakit itu muncul lagi. Bermula dari punggung, dia akan menjalar ke bahuku, lalu dadaku. Aku menepuk kantung pahaku, berharap ada bunyi gemeretak. Tidak ada. Aku lupa membawa obatku.

“Sahabat. Kita berkumpul di sini sekarang untuk mengenang seorang pelaut yang gagah berani,” sang pendeta membuka khotbahnya. Dia mengenakan jubah merah dengan selendang emas yang dikaitkan ke lehernya dan menjuntai ke dadanya, sampai ke tanah. Dia masih cukup muda, untuk seorang pendeta, “dia mengarungi samudera, selalu kembali tanpa kurang suatu apapun, Sang Topi Burung Merak, Jonas Papilaya.”

Topi Burung Merak. Jonas dan topi-topinya. Suatu hari dia turun memakai topi yang dibuat bagai kepala Jerapah. Semua orang tertawa melihatnya. Aku berjalan jauh-jauh, tidak ingin ikut terlihat konyol bersama dia. Sekarang aku ingin ikut terlihat konyol. Andai aku ikut membeli topi-topi itu, dan tampil di pelabuhan bersamanya dalam keadaan itu, kami akan tertawa banyak ... .

“... tapi dia lama tak kembali, “ lanjut sang pendeta, ”mungkin sang Tuhan Laut telah membawanya. Mungkin Tuhan Daratan, mungkin Tuhan Takdir telah memutusan benangnya. Kita di sini sekarang mengenangnya, jika dia tiada, dan juga berdoa agar dia kembali, jika dia masih ada di luar sana. Semoga Tuhan Segala memberinya petunjuk dan segala yang dia butuhkan untuk kembali bersama dengan kita.”

“Semoga Tuhan Segala memberi petunjuk,” ulang semua yang hadir. Aku terbata-bata mengikuti doa ini. Sudah lama aku tak berdoa. Punggungku sakit. Seakan ada dua pedang dingin menusuk vertikal dari pinggangku ke atas, pelan-pelan merayap.

Bawahan sang pendeta, seorang pria muda dengan jubah merah berwarna sama dengan sang pendeta, tanpa selendang emasnya, maju dengan obor. Melangkah pelan-pelan ke perapian yang belum menyala, dengan salah satu topi Jonas di atasnya. Dia lalu meletakkan obornya di kaki perapian, dan api menjalar perlahan ke seluruh perapian. Aku mencoba memandang Persephone yang sekarang terlihat meliuk-liuk karena ilusi dari panasnya api. Dia memandangku. Aku harap itu pandangan cinta yang masih kurindukan, tapi yang kulihat hanyalah kebencian.

Jantungku mulai berdenyut aneh. Lambat, tapi terasa berusaha. Tanda rasa sakitku mulai menjalar ke dadaku. Aku mengepalkan tanganku, berharap rasa sakitnya pergi. Persephone menatapkku tajam, apa dia tahu akulah yang menyarankan Jonas untuk pergi ke Halablar?

Aku tidak pernah ingin kalian berpisah, Jonas dan Persephone. Aku hanya ingin yang terbaik untuk kalian berdua. Detektor itu sudah kuserahkan pada Jonas, agar dia bisa mencari harta karun legendaris itu, supaya kalian bahagia. Supaya kalian bahagia. Kenapa kau menatapku seperti itu Persephone?

Tak sekalipun dalam hidupku, semenjak awal pertemuanku dengan Jonas, ada keinginanku untuk menyakitinya. Walau kau, Persephone, ternyata memilih dia dibanding aku. Mana mungkin aku mengkhianatinya? Dia yang dulu menolongku dari kejaran tentara, saat aku mencuri roti ketika masih kecil dulu. Jonaslah yang membujuk para penangkapku, sehingga aku tak jadi kehilangan kedua mataku. Kenapa kau menatapku seperti itu?

Api makin besar di tengah kami. Topi Jonas mulai terbakar habis. Angin yang berhembus membuat apinya makin mudah menyala besar. Wajahku panas, tapi dada dan punggungku dingin. Apakah panas api atau mata Persephone yang mengutukiku, aku tidak tahu. Aku meremas dadaku, dan aku membiarkan diriku menangis sekarang. Dadaku seperti menarik dirinya ke belakang, sedangkan punggungku ke arah sebaliknya. Aku mencoba bernafas normal, tapi aku hanya berhasil bernafas pendek-pendek karena aku menahan sakitku. Obatku. Aku butuh obatku.

Jonas, kau dimana? Dia pasti jika ada di sini akan bergegas berlari mencari obatku. Atau membawaku pergi ke tabib. Jonas, kau dimana? Jantungku seakan terobek pelan-pelan sekarang, dan aku meneriakkan teriakan panjang. Aku menutup rapat-rapat satu mataku. Hangat air mataku mengaliri pipiku. Tangan kananku meraih ke depan, ingin menyentuh Persephone, lalu semuanya gelap.


Jonas, kau di mana?

3 komentar:

  1. Mitologi, drama, & semestanya sudah mulai terbentuk nih. Lanjutkan, mastah!

    BalasHapus
  2. cakeeep!! emosinya berasa nih, kompleks ya.. penasaran apa yang bakal dilakukan sahabat Jonas di cerita berikutnya. ditungguuu

    BalasHapus
  3. Ah masa siiiih. Pengen lepas dulu deh dari Halablar. Biarin dia berkembang dulu sendirian hahaha. Makasi para om!

    BalasHapus