Angin dingin berhembus kencang menggemerisikkan daun-daun
kering di tanah dan di pepohonan, semuanya beringin. Langit abu-abu dan gemuruh
petir terdengar di kejauhan, tapi hujan tak kunjung datang. Jonas akan suka
pemandangan ini. Dia akan suka angin dan gemerisik dedaunan keringnya. Mataku
buram kembali, aku menarik nafas dengan harapan air mataku kembali masuk ke
kelenjarnya. Pria tidak menangis di sini.
Persephone berdiri gemetar di sisi berlawanan denganku. Di
sisi sebelah sana perapian Para Pelaut. Kandungannya entah sudah berapa bulan,
tapi sudah terlihat. Dia memakai gaun panjang merah tertutup sampai ujung
tangannya. Semua orang memakai merah di pemakaman penghormatan, tidak hitam,
karena bisa jadi orang yang bersangkutan masih hidup. Walau entah di mana. Semua
orang memakai merah, menegaskan warna daun-daun kering yang bergemerisik, tapi
merah Persephone yang paling menyala. Seperti darah, seperti cinta, dan dia
bercahaya, makin indah ketika dia menangis.
Apakah anak yang dikandungnya itu anak Jonas?
Semua teman-teman Jonas hadir. Tidak ada orang tua. Hanya
sang pendeta, Persephone, dan akulah yang paling tua di sini. Jonas tidak punya
orang tua. Sejauh yang dia ingat, dia selalu bagian dari keluarga Rumah Yatim
Prax. Aku tidak pernah tahu apakah itu benar. Semakin aku mencoba mengenangnya,
semakin kusadari aku tidak pernah tahu sepenuhnya mengenai Jonas. Angin bertiup
lagi ke punggungku, dan rasa sakit itu muncul lagi. Bermula dari punggung, dia
akan menjalar ke bahuku, lalu dadaku. Aku menepuk kantung pahaku, berharap ada
bunyi gemeretak. Tidak ada. Aku lupa membawa obatku.
“Sahabat. Kita berkumpul di sini sekarang untuk mengenang
seorang pelaut yang gagah berani,” sang pendeta membuka khotbahnya. Dia
mengenakan jubah merah dengan selendang emas yang dikaitkan ke lehernya dan
menjuntai ke dadanya, sampai ke tanah. Dia masih cukup muda, untuk seorang
pendeta, “dia mengarungi samudera, selalu kembali tanpa kurang suatu apapun,
Sang Topi Burung Merak, Jonas Papilaya.”
Topi Burung Merak. Jonas dan topi-topinya. Suatu hari dia
turun memakai topi yang dibuat bagai kepala Jerapah. Semua orang tertawa
melihatnya. Aku berjalan jauh-jauh, tidak ingin ikut terlihat konyol bersama dia.
Sekarang aku ingin ikut terlihat konyol. Andai aku ikut membeli topi-topi itu,
dan tampil di pelabuhan bersamanya dalam keadaan itu, kami akan tertawa banyak
... .
“... tapi dia lama tak kembali, “ lanjut sang pendeta, ”mungkin
sang Tuhan Laut telah membawanya. Mungkin Tuhan Daratan, mungkin Tuhan Takdir
telah memutusan benangnya. Kita di sini sekarang mengenangnya, jika dia tiada,
dan juga berdoa agar dia kembali, jika dia masih ada di luar sana. Semoga Tuhan
Segala memberinya petunjuk dan segala yang dia butuhkan untuk kembali bersama
dengan kita.”
“Semoga Tuhan Segala memberi petunjuk,” ulang semua yang
hadir. Aku terbata-bata mengikuti doa ini. Sudah lama aku tak berdoa.
Punggungku sakit. Seakan ada dua pedang dingin menusuk vertikal dari pinggangku
ke atas, pelan-pelan merayap.
Bawahan sang pendeta, seorang pria muda dengan jubah merah
berwarna sama dengan sang pendeta, tanpa selendang emasnya, maju dengan obor.
Melangkah pelan-pelan ke perapian yang belum menyala, dengan salah satu topi
Jonas di atasnya. Dia lalu meletakkan obornya di kaki perapian, dan api
menjalar perlahan ke seluruh perapian. Aku mencoba memandang Persephone yang
sekarang terlihat meliuk-liuk karena ilusi dari panasnya api. Dia memandangku.
Aku harap itu pandangan cinta yang masih kurindukan, tapi yang kulihat hanyalah
kebencian.
Jantungku mulai berdenyut aneh. Lambat, tapi terasa
berusaha. Tanda rasa sakitku mulai menjalar ke dadaku. Aku mengepalkan
tanganku, berharap rasa sakitnya pergi. Persephone menatapkku tajam, apa dia
tahu akulah yang menyarankan Jonas untuk pergi ke Halablar?
Aku tidak pernah ingin kalian berpisah, Jonas dan
Persephone. Aku hanya ingin yang terbaik untuk kalian berdua. Detektor itu
sudah kuserahkan pada Jonas, agar dia bisa mencari harta karun legendaris itu,
supaya kalian bahagia. Supaya kalian bahagia. Kenapa kau menatapku seperti itu
Persephone?
Tak sekalipun dalam hidupku, semenjak awal pertemuanku
dengan Jonas, ada keinginanku untuk menyakitinya. Walau kau, Persephone,
ternyata memilih dia dibanding aku. Mana mungkin aku mengkhianatinya? Dia yang
dulu menolongku dari kejaran tentara, saat aku mencuri roti ketika masih kecil
dulu. Jonaslah yang membujuk para penangkapku, sehingga aku tak jadi kehilangan
kedua mataku. Kenapa kau menatapku seperti itu?
Api makin besar di tengah kami. Topi Jonas mulai terbakar
habis. Angin yang berhembus membuat apinya makin mudah menyala besar. Wajahku
panas, tapi dada dan punggungku dingin. Apakah panas api atau mata Persephone
yang mengutukiku, aku tidak tahu. Aku meremas dadaku, dan aku membiarkan diriku
menangis sekarang. Dadaku seperti menarik dirinya ke belakang, sedangkan
punggungku ke arah sebaliknya. Aku mencoba bernafas normal, tapi aku hanya
berhasil bernafas pendek-pendek karena aku menahan sakitku. Obatku. Aku butuh
obatku.
Jonas, kau dimana? Dia pasti jika ada di sini akan bergegas
berlari mencari obatku. Atau membawaku pergi ke tabib. Jonas, kau dimana?
Jantungku seakan terobek pelan-pelan sekarang, dan aku meneriakkan teriakan
panjang. Aku menutup rapat-rapat satu mataku. Hangat air mataku mengaliri
pipiku. Tangan kananku meraih ke depan, ingin menyentuh Persephone, lalu
semuanya gelap.
Jonas, kau di mana?
Mitologi, drama, & semestanya sudah mulai terbentuk nih. Lanjutkan, mastah!
BalasHapuscakeeep!! emosinya berasa nih, kompleks ya.. penasaran apa yang bakal dilakukan sahabat Jonas di cerita berikutnya. ditungguuu
BalasHapusAh masa siiiih. Pengen lepas dulu deh dari Halablar. Biarin dia berkembang dulu sendirian hahaha. Makasi para om!
BalasHapus