Senin, 21 Maret 2016

[API] Aku

Kami terkejut dari diam diri kami selama dua belas jam jalan kaki kami karena mesin detektor si Mata Satu tiba-tiba berbunyi.

“Ternyata alat itu berguna juga,” suara Gerardo gemetar karena dingin. Tempurungnya tidak terlalu membantu ternyata sebagai penghangat tubuh.

“Apa ini berarti kita sudah dekat, Jonas?” ­­­­­suara Anselmo juga gemetar. Susah memang mencari mantel tebal untuk kura-kura. Mereka jarang bepergian ke daerah dingin, jadi pengusaha jaket merasa membuat baju musim dingin untuk kura-kura adalah bukan investasi yang baik.

“Kelihatannya begitu, teman-teman! Bersiaplah untuk harta karun paling legendaris di masa kita!” Semoga dengan bersikap seperti ini, mereka bisa lebih bersemangat. Aku ragu, tapi tidak ada salahnya berusaha. Gerardo tampak seperti selalu akan meledak marah, dan Anselmo tak henti mengedipkan mata kirinya, sejak kejadian dengan para Siren, yang rasanya seperti tahunan yang lalu.

Di depan kami terbentang lautan es bening yang datar, memantulkan aurora yang seluruhnya berwarna kehijauan di langit. Lautan ini dikelilingi oleh siluet hutan dan pegunungan. Tanpa ada cahaya merah di tengah lautan itu, dataran ini akan terlihat seperti tiada akhir. Suara detektor berdenyut pip pip pip menggema ke udara, aku kuatir aku akan mengganggu sesuatu.

Persephone akan suka pemandangan ini. Bagaimana aku bisa kembali?

“Jonas, bagaimana kita bisa kembali?” Anselmo bertanya. Langkah mereka terdengar terseok-seok di belakangku, “percuma seluruh harta ini, kalau kita tidak bisa kembali.”

“Semoga harta ini punya kekuatan sihir, karena kita butuh keajaiban.”
Beruntung aku berjalan di depan mereka, jadi mereka tidak bisa melihat keraguanku, jika keraguan itu terpancar, “ahahah, keajaiban selalu datang tiga kali, teman-teman. Pertama, kita bisa lolos dari para Siren...”

“... yang membunuh semua awak kapal kita,” sambar Gerardo.

“... itu karena mereka malah menuruti saran Jack untuk menutup telinga dan bukan menutup sebelah mata. Kedua, kita lolos dari Plaktae ...”

“... karena Anselmo lebih cerdas darimu dan menyarankan kita untuk naik ke menara pengamat. Sehingga kita tidak terjepit batu, tapi kapal kita hancur berkeping dan kita terlempar ...”

“... ke dekat garis pantai Halablar. Lihat? Keajaiban. Kalau apa yang dikatakan orang tua kita benar, kita masih punya satu lagi keajaiban.”

“Sepertinya kita masih hidup di sini adalah keajaiban terakhirnya, Jonas ...” Anselmo menyambar, “...aku kuatir jatah kita sudah habis.”

Pip pip pip pip. Suara detak detektor makin lama makin rapat-rapat semakin dekat kami ke cahaya merah di tengah lautan es. Tidak ada angin dan tidak ada suara binatang. Tidak nyata rasanya. Aku juga kuatir keberuntungan kami habis. Hanya suara sepatu boots kami yang meninggalkan sedikit suara retakan pada permukaan es yang ternyata tipis. Aku masih bisa melihat rumput segar dan tanah di balik permukaannya yang tembus pandang.

Aku tidak tahu lagi bagaimana cara menghibur mereka. Tinggal merekalah kruku, “jangan putus asa kawan...”

“... baru pertama kau memanggil kami ‘kawan’,” Gerardo tidak membantu usahaku.

“... ingatlah betapa seringnya keajaiban menyelamatkan kita. Kalian sekarang punya tanah dan rumah di Eratriet, keajaiban juga yang membuatku mendapatkan Persephone dan Anantham,”

“Anantham mungkin bukan anakmu, Jonas. Sudah kubilang berkali-kali,” Gerardo senang dengan topik ini sepertinya. Tak bisakah dia melihat kaptennya bahagia? “kau mungkin yang pada akhirnya berhasil menikahinya, tapi selama kau dan si Mata Satu sibuk memperebutkan dia, siapa yang tahu ...”

Aku berhenti dan memutar badanku menghadap dia, “Gerardo, kawan. Tolong jangan hipotesa itu lagi. Aku ... energiku sedang tidak cukup untuk tidak menghiraukanmu. Sekarang,” aku memutar badanku kembali dengan gerakan yang kuharapkan bisa mengayunkan bulu-bulu di topiku. Persephone bilang teatrikalitas adalah kunci menjadi kapten. Entah dari mana asal kebijaksanaan itu. Mungkin dari Si Mata Satu?

Gerardo dan Anselmo menggumamkan sesuatu yang tak bisa terlalu kudengar. Detak detektor sudah sangat rapat sampai terdengar seperti satu nada panjang saja. Kami sudah sekitar lima meter dari sumber cahaya merah tadi. Sebuah semak bunga mawar yang terbakar, tapi semaknya tetap utuh. Untuk pertama kalinya kami merasakan desir angin yang berputar mengelilingi semak itu. Detektor yang kucuri dari Si Mata Satu berhenti berdenging dan akhirnya meledak kecil, melompat dari tanganku dan jatuh berantakan.

“Jonaaass....” sebuah suara menggelegar entah dari mana. Kabut putih keluar dari semak terbakar itu dan bergerak pelan mengelilingiku. Aku berputar untuk mencari Gerardo dan Anselmo, yang menghilang di balik kabut.

“Gerardo? Anselmo?”

“Tanggalkan pakaianmu ...” ucap suara itu, “... ini adalah tempat yang suci ...”
Menanggalkan pakaianku? Haruskah aku melepas topiku juga?

“Yaaaa... topimu juga...” dia membaca pikiranku, siapa ini? Dari mana suaranya datang? Apakah ini keajaiban ketiga? Apakah ini harta karunnya? Harta karun macam apa ini?

“Harta yang paling berharga adalah apa yang kau tinggalkan,” jawab suara itu. Api yang membakar semak mawar itu. Siapa ini?


“Aku adalah aku.”

2 komentar:

  1. Mungkin karena simbolisme yang dipakai, cerita ini sama yang sebelumnya (tema tujuan) terasa seperti satu cerita yang sama, tapi diceritakan dari sisi yang berbeda. Btw, agak biblikal ya?
    Buat gua cerita ini berasa sekuel, ada di tengah-tengah.. dan kayaknya baru bisa dinikmati secara penuh kalau antologi tentang Halablar udah cukup banyak.

    BalasHapus
  2. Iya mas. Masih pengen ngulik universe si Halablar ini. Tapi, ceritanya ga berurutan. Gw nulis aja bagian-bagian yang terasa cocok diungkapkan sekarang. Kalau misalnya suatu saat Halablar jadi cerita besar, mungkin cerpen-cerpen ini bisa jadi chapter, atau cuma baseline.

    BalasHapus