Jumat, 11 Maret 2016

[SENDAL JEPIT] Tahta

Hari semakin gelap, suara jangkrik dan berbagai binatang malam terdengar. Suara kodok bangkong beradu harmoni dengan suara kucing birahi, lolongan anjing liar menjadi aksen, tokek di seksi perkusi.

Saat sudah tepat baginya untuk keluar mencari makan, proses prokreasi menghabiskan banyak energi, dan ia harus menggantinya. Malam ini dia harus mencari makan di tempat tinggal para raksasa. Tempat di mana makanan berlimpah, tapi bahaya kematian juga mengancam di setiap saat keberadaannya di sana. Secara insting ia tahu bagaimana para raksasa itu membenci kaumnya.
Raksasa-raksasa itu membangun rumah-rumah yang kokoh dari batu. Akan tetapi karena ukuran mereka, kadang celah-celah kecil tersisa lewat mana ia dan kaumnya bisa masuk. Ia melata memasuki salah satu dari celah tersebut, kaki-kakinya mendorong tubuhnya dengan kecepatan luar biasa.

Kosong dan gelap.

Sepertinya para raksasa itu sudah tidur. Ia mulai bergerak dengan lebih berani. Dari celah-celah dinding, ke bawah lemari, menyeberang ruang terbuka, ke tempat di mana para raksasa tersebut biasanya menyimpan makanan. Misi berhasil! Untuk beberapa saat lamanya ia memenuhi hasratnya. Mengisi penuh perutnya. Ia makan dengan rakus, semua makanan yang tidak diamankan dengan baik dijamahnya. Setelah beberapa saat, otaknya mengirimkan isyarat asupan energi telah tercukupi.

Ia merayap kembali ke luar dari tempat penyimpanan makanan tersebut. Sesampainya ia di tengah perjalanan, otaknya mengirimkan isyarat lain: ia butuh air. Inderanya merasakan kelembaban di udara, kelembaban yang berasal dari satu titik di bangunan itu. Ia berhenti sejenak, dan berbelok ke arah kelembaban itu berasal. Sebuah garis terang horizontal terbentuk di atas lantai, menunjukkan celah yang bisa ia masuki. Di sebelah sana ada sumber cahaya, nalurinya meningkatkan kewaspadaan, cahaya adalah bahaya

Kaumnya bisa bertahan beberapa minggu tanpa air, tapi di tanah para raksasa ini, semua sumber air dikuasai oleh mereka, ia sudah di dalam, kenapa tidak sekalian saja? Dengan lincah ia menyelipkan dirinya di bawah celah itu. Dia berhasil melalui penghalang itu. 

Cahaya menyilaukan membutakan matanya sejenak, ketika pandangannya kembali, ia menemukan salah satu dari raksasa itu sedang bertahta, matanya menatap langsung ke arah dirinya.

"KECOAAAAAAKKKK!!!" bu Karti berteriak. Tangannya dengan sigap mengambil sendal jepitnya, yang kanan, dan melemparnya ke arah kecoak tersebut. Otak si kecoak masih belum bisa memproses apa yang terjadi, tapi sistem di ganglia syarafnya sudah menembakkan instruksi-instruksi yang menyebabkan kakinya bergerak menghindarkannya dari bahaya. Sendal jepit itu meleset. Tapi arah lari kecoak tersebut menyebabkan ia tersudut. Sekarang satu-satunya cara untuk menghindar adalah berlari tepat ke arah bu Karti.

Bu Karti sudah setengah berdiri, tangan memegangi ujung dasternya agar tidak basah, perasaan takut bercampur dengan benci kepada makhluk sialan itu. Untuk orang seusianya waktu buang air adalah waktu sendirian yang mirip dengan kemewahan. Apalagi ia sudah hampir sampai ke bagian akhir novel yang dibacanya, Poirot baru saja membeberkan deduksinya kepada para tersangka ketika kecoak itu masuk.

Berusaha untuk tidak bergerak sama sekali, tangan kiri bu Karti mengambil sandal jepitnya, sebelah kiri. Masih dengan gerakan seminimal mungkin, seperti petinju yang menyembunyikan pukulannya, ia mengambil ancang-ancang. Kecoak sialan itu masih memandang tepat ke arahnya. Sepasang antenanya bergerak ke segala arah.

Bu Karti mengambil napas panjang, membidik, dan melemparkan sendal tersebut dengan kecepatan tinggi.

PLAAAKK!!!

2 komentar:

  1. SERUUU! Singkat padat jelas. Detil si ibu lagi baca Poirot juga luncang. Cakep mas cupwaw

    BalasHapus
  2. Terima kasih komennya tuan Yori! Nulis yang ini tanpa rencana nih, hahahaha. Syukurlah masih enak dibaca :D

    BalasHapus