Rabu, 09 Maret 2016

[SENDAL JEPIT] Merah

“Bune, sendal jepit yang baru kubeli di pasar ada di mana?”
“Sebentar pak’e. Bune pinjam dulu buat ke sumur.”
“Pak’e mau ke surau. Sebentar lagi lohor.”

Setiap menjelang tengah hari suamiku selalu menanyakan sendal jepit merahnya yang baru ia beli di pasar inpres. Selain bertani ke ladang, mendatangi surau adalah kegiatan rutinnya. Tak pernah terlewat olehnya shalat berjamaah di surau desa.

Kami baru saja pindah ke desa ini. Semua warganya adalah transmigran, sama seperti aku dan suamiku. Sebenarnya tempat ini tidak jauh berbeda dengan kampung halaman kami di Jawa. Tanahnya keras, irigasi seadanya, sumber pupuk dan bibit susah dicari. Tapi setidaknya di sini kami memiliki lahan sendiri. Hujan & sinar matahari pun masih berlimpah. Aku dan suamiku telah bertekad untuk menjadikan desa ini rumah yang nyaman bagi anak-anak kami kelak.

“Bune, aku nanti sore sekembalinya dari ladang, bada magrib akan langsung ke tempat Pak Wadi. Ada pertemuan dengan muspida.”
“Muspida itu apa tho, pak’e?”
“Aku juga kurang tahu, bune. Kata pak RT itu bapak-bapak dari pemerintah. Mungkin hendak membahas kekeringan musim panen lalu.”
“Oh. Bune siapkan makanan dulu buat bekal pak’e ya?”
“Sudah tidak perlu. Pak’e nanti makan sepulangnya dari Pak Wadi saja. Bune mendingan istirahat. Kandunganmu sudah mulai besar, aku tidak mau kamu terlalu capek,” ujar suamiku sambil mengusap-usap perutku. “Nak, kamu jangan nakal ya,” suamiku membisikkan kata-kata ke jabang bayi di perutku.

Azan isya berkumandang bersamaan dengan kegelapan malam yang mulai menyelimuti. Hanya ada suara jangkring bersahut-sahutan dalam kesunyian desa kami. Tidak seperti beberapa desa lain yang lebih dekat ke kota kecamatan, di desa kami belum ada listrik. Aku menyalakan pelita untuk diletakkan di teras rumah.

Aku baru saja selesai melipat mukena saat kudengar suara tetanggaku Bude Narsih menyampaikan salam. Beliau sudah lama tinggal di desa ini. Anak-anaknya kini merantau di kota. Ia pernah berkata padaku kalau ia telah menganggapku bagai anaknya sendiri.

“Assalamualaikum, Dayu…,” kudengar lagi suara itu memanggil tergesa-gesa. Tidak biasanya.
“Wa’alaikumsalaam,” kubuka pintu depan. Bude Narsih telah berdiri tepat di depanku. “Maaf, bude. Dayu tadi baru selesai shalat. Silakan masuk, bude.”
“Dayu, bude dan pakde hendak mengajakmu ke kota.”
“Ke kota? Ada apa tho, bude? Kangmas belum pulang. Masih ada pertemuan di rumah Pak Wadi.”
“Pakde sudah bertemu dengan kangmasmu tadi. Dia juga yang meminta pakde dan bude membawamu ke kota malam ini,” kulihat Pakde Darmin berdiri tak jauh dari pagar rumahku. Kendaraan bak terbuka mereka yang biasa dipakai membawa hasil bumi ke pasar sudah terparkir di sana. Aku tak dapat melihat jelas dalam malam pekat yang hanya disinari purnama ini, tapi beliau terlihat gelisah.

“Tolong dengarkanlah budemu ini, Dayu,” wajah bude tampak cemas sekaligus sedih. Aku tak tega mengatakan tidak pada orang yang sudah kuanggap orang tua sendiri ini.
“Baiklah bude. Dayu ambil pakaian dan bekal dulu.”
“Tidak usah, Dayu. Kita harus segera berangkat,” kulihat matanya berkaca-kaca. Ada apa sebenarnya ini?

Aku hanya sempat meraih kain selendang yang kugantungkan di kursi depan. Kukunci pintu depan dengan tergesa-gesa. Bude Narsih menggengam tanganku erat. Tangannya pun terasa begitu dingin.

Pakde Darmin memacu kendaraannya melalui jalanan berdebu yang menghubungkan desaku dengan jalan aspal yang mengarah ke kota kecamatan. Aku tidak mengerti kenapa beliau tidak menyalakan lampu kendaraannya. Mungkin karena dia sudah hapal jalur ini yang telah ia lewati bertahun-tahun, pikirku. Aku enggan bertanya. Aku hanya terdiam. Bude pun tidak berkata-kata. Ia hanya menggenggam tanganku sepanjang perjalanan.

Berkali-kali kulihat Pak Darmin menatap ke kaca spion. Seolah-olah ia hendak melihat apakah ada yang mengejar kami. Kucoba menengok ke belakang.

“Jangan, Dayu,” ucap bude Narsih lirih sambil mencoba mengalihkan pandanganku ke depan. Aku sempat melihat ke belakang sebentar. Aku tak mengerti dengan apa yang kulihat. Desa kami begitu terang bagai diterangi ribuan lampu.

Bukan. Itu bukan lampu. Itu api.

Pak’e…

§


Saat mataku terbuka, kicauan burung dan harum teh manis menyambutku.

“Nak, kamu sudah bangun. Ayo minum dulu,” ucap bude Narsih sambil menyodorkan teh manis hangat. Mataku masih silau oleh sinar mentari yang menyusup dari balik tirai.
“Aku ada di mana, bude?” tanyaku.
“Kita ada di kota kabupaten, nak. Di rumah anak bude,” kulihat seorang perempuan duduk di sebelah bude. Wajahnya mirip bude Narsih tetapi usianya mungkin tidak terlalu jauh dariku.
“Kangmas…?”
“Istirahat lah dulu, nak. Ingat kandunganmu,” suaranya tercekat seolah menahan tangis.

Aku mencoba untuk bangkit. Aku tahu bude dan pakde sangat sayang padaku dan suamiku. Mereka tidak akan menyakiti kami. Tetapi semua ini terasa terlalu aneh. Kepergianku yang tiba-tiba tanpa berpamitan pada suami. Pakde Darmin dan bude Narsih yang begitu gelisah sejak kemarin malam. Dan desa kami. Ada apa dengan desa kami. Aku harus tahu.

“Ada apa ini sebenarnya, bude?”
“Dayu, kamu tidak boleh terlalu lelah dan banyak pikiran. Bude ambilkan sarapan ya?” perempuan tua itu beranjak dari kursinya dan berjalan keluar.

“Eyang, lihat! Desa eyang masuk tivi!” kudengar suara seorang anak berseru dari luar kamar. Aku dapat melihat dari pantulan cermin di lemari pakaian di kamar ini. Sekilas, tapi begitu jelas. Desa kami terbakar hangus.

Lalu segalanya gelap gulita.

Koran mengatakan bahwa desa kami sarang pemberontak. Bahwa aparat sudah melakukan hal yang benar dan sesuai prosedur. Dan bahwa mereka tidak sanggup menghentikan warga pribumi yang kemudian beringas membakar desa kami, para pendatang.

Bude dan pakde berkata bahwa belum aman untuk kembali ke desa kami. Bahwa nanti kangmasku akan menyusul kami ke kota. Aku tahu mereka orang baik, tetapi aku tahu mereka berbohong padaku.

Dan beberapa hari kemudian kekhawatiranku seolah mendapat jawaban. Siang itu aku mampir sejenak di warung di sebelah terminal saat berjalan pulang dari pasar. Kandunganku sudah memasuki bulan ke-tujuh. Aku hendak memesan segelas teh hangat saat kudengar dua orang pengunjung warung bercakap-cakap.

“Para pendatang itu berpikir mereka bisa seenaknya saja menjual dagangan mereka ke sini. Tahu rasa mereka sekarang,” ujar seorang laki-laki bertubuh kurus kering. “Sejak ada mereka para pedagang pasar selalu menawar sangat rendah. Akibatnya untungku berkurang jauh. Untung saja kepala desa kami punya rencana untuk menyingkirkan mereka.”
“Maksudmu?” tanya temannya yang menggantungkan handuk kecil di tengkuknya.
“Dia bilang, tentara paling takut sama yang namanya dengan laten.”
“Laten?”
“Ya pokoknya itu yang kudengar dari kepala desa. Dia punya kemenakan tentara di koramil. Dia melaporkan bahwa banyak orang-orang laten di desa transmigran tersebut. Kau lihat sendiri kan akibatnya? Para tentara langsung menyerbu. Para laki-laki desa tersebut diciduk. Hahaha…”
“Itu sebabnya desa-desa sebelah langsung menyerbu saat para tentara ini pulang ke markas?”
“Tentu saja! Yang tersisa hanya sekelompok perempuan dan anak-anak pendatang. Pekerjaan mudah membakar habis desa mereka!”
“Hush! Jangan keras-keras…”
“Ah biar saja. Aparat tidak akan peduli pada sekelompok orang-orang laten dan keluarganya. Dan para pemimpinnya pun…,” laki-laki itu menoleh ke kiri dan ke kanan, “sudah dihabisi.”
“Kamu tahu dari mana?”
“Beberapa malam lalu aku dan si Brewok melihat beberapa orang keluar dari truk lalu membuang beberapa mayat ke sungai. Waktu itu kami sedang bersiap-siap mengeruk pasir. Di bawah jembatan dekat perbatasan kabupaten.”
“Maksudmu…?”
“Mayat-mayat dilempar begitu saja dari atas jembatan, jatuh ke bantaran. Waktu itu air sedang surut. Tangan-tangan mereka masih terikat tali. Aku yakin mereka disiksa. Ada yang masih menggunakan pakaian lengkap berlumuran darah, tampaknya pemuka agama atau sesuatu. Ada yang cuma menggunakan celana dalam dengan badan penuh bekas sundutan rokok,” laki-laki itu menyeruput kopinya dan menghisap rokoknya dalam-dalam.

“Dan oh ya, aku ingat ada yang mukanya begitu hancur. Bajingan itu sepertinya disiksa berjam-jam. Laki-laki itu cuma menggunakan sarung dengan sendal jepit masih menempel di kaki. Sendal jepit merah, seperti warna orang-orang laten.”

2 komentar:

  1. Fakmen! Cerpen-cerpen belakangan ini selaluuuu love lost atau unattainable happiness. Aku capek, Mas! Capek! Terlalu mirip sama kehidupanku sekarang!!! (CURHAT SELESAI)

    OK. Sukses banget sih ini. Gw sedih dan patah hati, tapi bagian terakhir menurut gw agak ganggu. Kenapa? Info dump. Sebenernya bagian ini emg paling penting sih di cerita buat ngasih final blow, tapi gimana ya caranya biar ga terlalu terasa info dump? (malah nanya balik) Mungkin bisa dikelindan dengan aksi. Buat karakter utamanya ngelakuin beberapa hal sementara informasi sedang dia terima ("aku melangkah mendekati tumpukan kacang panjang supaya bisa mendengar mereka lebih jelas." --- info --- "aku berpura-pura meneliti tomat, hampir saja kuhancurkan tomatnya" --- info ---), dengan begini mungkin efek info dumpnya ga akan terlalu terasa.

    Atau lebih ekstrim lagi, buat karakternya terlibat dalam obrolan. Jadi dia ga melulu jadi korban keadaan tapi punya agency untuk memajukan plotnya. Dia bisa punya konflik dgn dua preman itu. Sepertinya efeknya akan lebih asyik kalau kita melihat karakter POV berkembang (dari pasrah wae ke sedikit pushy), walau keadaan dia tetep sedih. Sambil kandungannya nendang-nendang misalnya, jadi ada sensasi fisik. Sepertinya bisa lebih dramatis.

    Demikian komentarku. Salam

    BalasHapus
    Balasan
    1. aleays a pleasure receiving your insights.. again, thank you, mastah *bow*

      Hapus