Rabu, 02 Maret 2016

[AYAH] Aku memanggilnya Bapak

Ramai kumbang dan serangga sejenisnya berbunyi, ngiiiiiiiiiiiingg, di siang hari. Jujur. Aku nggak tahu itu beneran suara kumbang atau bukan, kurang lebih itu lah.

Kayaknya musim kemarau mulai tiba. Hujan mulai jarang, serangga-serangga mulai beradu suara. Angin datang sesekali membunyikan Genta, lonceng angin yang terbuat dari bambu. Kantuk mulai menyerang ku,

Tuk... tuluk tuuk tuluk... Suara Genta menari-nari bersama angin di udara.

....pi ...pii ...piii, hmm suara burung sayup-sayup terdengar. Merdunya menggiring ku ke dimensin lain di bawah alam sadar,

...pii ...Pi ...pa... PI,
 
hm??

"P A P I!!" Bak cacing yang di hujani butiran garam, diriku tersentak dari gerbang mimpi. Terkadang burung bersuara merdu dapat mengagetkan aku, istri ku. Ia hampir berteriak di kuping jika aku tidak segera bangun.
 
"Maaf Pi, tapi kamu ga boleh tidur dulu... kan kita mau ke rumah Ayah," dengan tubuh separuh tertidur aku menatap malas ke dirinya, "heii, Papi kan bangunnya siang banget tadi, masi belum cukup?" katanya lagi memotong kehendak ku untuk protes.

"...iya", jawab ku serya merangkak menuju kamar mandi, sebelum diseret olehnya.

Aku merapihkan diri, mencukur jenggot dan mandi bersih agar tidak dipanggil "kambing" oleh Ibu ku nanti. Kurang dari satu jam aku sudah siap untuk berangkat. Sambil memastikan sisiran rambut ku rapih, aku berjalan keluar kamar dengan gagahnya. Inilah lelaki. Tapi Istri ku lebih macho, ia bisa lebih dulu siap ketibang aku... jurus apa yang dia pakai hingga tetap cantik walau hanya sekejap?! Ia tersenyum bangga, sudah rapih menunggu ku di ruang depan. Ini mustahil...

"Kamu yakin, ngga langsung beliin Ayah kado?" ucap wanita yang baru ku nikahi delapan bulan lalu sembari membuka pintu kiri depan mobil.

"Mhm, biar Bapak sendiri yang ngasi tau mau apa nanti..." Aku menyalakan mesin mobil, berdoa sebentar, kami hendak menempuh jarak kilo dari Bandung untuk ke rumah orang tua ku di Jakarta. Bapak ku berulang tahun hari ini.

***

Dua jam perjalanan lewat tol jika tidak macet, akhirnya kami sampai ke tempat tujuan. Dengan hati menggebu-gebu, aku menuntun istri ku turun dari mobil. Kami berjalan menuju pintu depan rumah yang tepat berada disebelah halaman samping tempat mobil ku parkir tadi. Rumah khas Betawi ini mengingatkan aku dengan film si Doel di masa kecil ku. Walau sebenarnya keluarga kedua orang tua ku berasal dari Solo, saat itu aku begitu bangga menonton film tersebut karena rumah kami tak jauh dari yang ada di film tersebut. Hanya saja bangunan ini sudah mengalami sedikit perombakan dibagian atap depan dan banyak perubahan dibagian belakang karena akhirnya dibangun lantai-lantai tambahan di atasnya. Ku ketuk pintu dan ku ucapkan salam, tak lama pintu depan terbuka.

Ibu membukakan pintu. Tanpa basa-basi ku cium tangannya dan ku peluk beliau dengan penuh kerinduan. Di ikuti oleh istri ku, “Maaf Mah, baru bisa berkunjung lagi, kebetulan mas Tito baru bisa ambil cuti sekarang…” katanya, memberi tahu prihal diriku yang mengambil cuti kantor.

“Ga papa, Ida, Ibu mah asal dapet kabar kalian dari sms atau bbm sudah cukup senang”, ucap Ibu ku sambil menepuk-nepuk pundak istri ku, “Hayuk-hayuk, masuk dulu… Ibu minta teh Ijah bikinin minuman dulu buat kalian ya, pasti haus… Itu Bapak mu lagi di kebun belakang samperin aja ya Dul”, lanjut Ibu sambil memberi isyarat ke istri ku untuk mengikuti beliau. Aku pun bergegas ke halaman belakang untuk mencari Bapak.

Belum sempat ku buka pintu yang menuju ke tempat Bapak, tiba-tiba pintu itu sudah terbuka sendiri, Bapak tentunya yang membuka dari luar. “Eeee, putra bungsu Bapak sudah sampai… Nanti mas dan mbak yu mu baru bisa datang sore…” sambut beliau, ku kecup telapak tangan Bapak di sambut dengan usapan di kepala ku.”Bapak, sehat selalu ya Pak… Semoga senantiasa diberikan kebahagiaan dunia akhirat, amin”, doa ku menyalami beliau yang sudah bertambah usia.

“Amin, amin, amiiin!” , ”Kamu gimana di sana? Lancar-lancar saja?” Tanya Bapak, tidak seperti Ibu, beliau kurang mahir menggunakan smartphone karena jemarinya yang besar-besar itu sulit menggunakan keyboard di layar sentuh.

“Baik Pak, Tito dan Ida dalam keadaan baik”, jawab ku, sambil menuntun Bapak ke ruang tengah dimana istri ku dan Ibu ku berada. Dengan aba-aba tidak sabar, Ibu meminta Bapak untuk segera duduk disebelahnya,

“Pak sini-sini coba, ada berita menarik dari Ida…” Bapak pun duduk di sebelah Ibu.

“Tunggu sebentar lah, Mah, biar Ayah minum dulu, kan capek habis dari kebun belakang…” ucap istri ku malu-malu sambil bersalam ke Bapak. Namun Bapak diam saja tidak bergeming. Aku dan Ibu saling menatap,

“Psst! Da… panggil Ba-pak, panggil B a p ak”, bisik ku ke arah istri ku, dia gelagapan…

“Aduuh maap, Ida teh suka lupa…” Gummam istri ku sambil sedikit mengeraskan suaranya kemudian, “Bapak, minum dulu ya, nanti Ida ceritain sesuatu…”

“O… Hoo? Okee, ada yang seru apa nih? Sebentar ya, Bapak minum dulu…” Balas Bapak sambil tertawa lepas, beliau mengambil gelas teh untuknya di meja.

Beberapa waktu yang lalu tiba-tiba Ibu memberi kabar kalo Bapak mulai tidak merespon panggilan lain selain panggilan “Bapak” atau “Pak”. Jika Bapak mendapatkan panggilan yang lain, Ayah misalnya, walau beliau diberi tau bahwa dirinya sedang diajak berbicara, beliau tidak akan merasa bahwa dirinya lah yang sedang di ajak berbicara. Entah mungkin karena penurunan daya dengar dan daya ingat, Beliau suka ling-lung.

“Gini Yah, eh Pak…, Ida mulai isi dari tiga bulan kemarin…” ucap Ida perlahan-lahan, ia agak kesulitan memanggi Bapak selain menggunakan panggilan “Ayah”. Menurutnya tidak berbeda jika memanggil orang asing.

Mendengar kabar itu raut muka Bapak berubah begitu senang, “Waah! Bapak punya cucu baru lagi doong”, ucap Bapak kegirangan, syukurlah... “Terus-terus, motor sport Bapak gimana?” Tanya Bapak tiba-tiba,

“….”

“EEEH!?” kami serentak melongo. Motor… SPORT!?

“Kalian mau ngasi bapak motor sport kan, ulang tahun ini?” Kumis putih Bapak merenggang bersama senyumnya yang mengembang,

“Bu, ini Bapak abis nonton apa? Pak, Bapak ngantuk ya?” Tanya ku bergantian saking bingungnya. Ibu menceritakan bahwa sudah semingguan ini Bapak nonton acara balap motor… Macam apa pula seorang kakek-kakek meminta motor sport di usianya yang ke 80 tahun itu? Bapak masih meracau seputar motor keinginannya kemudian merambat ke masa lalu dan jaman penjajahan. Lalu kabar gembira dari kami bagai butiran debu ketika Ibu menggiring Bapak menuju kamar untuk beristirahat.

3 komentar:

  1. Duh.. kok bacanya sedih ya Dhes.. :( Bittersweet gitu. gutjab!

    BalasHapus
  2. Kalo kata gw ya ndes, bagian pertama dimana mereka masih di Bandung bisa dihilangin aja, soalnya ga ada informasi penting yg bisa jadi payoff di keseluruhan cerita. Maksudnya gini: misalnya nih ya, lu menunjukkan bahwa sang istri bisa siap-siap cepat, apakah hal ini bisa jadi penting di akhir atau tengah cerita? Kalau ngga, ilangin aja. Seluruh kejadian di rumah sang Bapak udah cukup lengkap tanpa lu dalem-dalem ngulik karakter suami istri; mereka bisa jadi protagonis 'kosong' untuk jadi avatar pembaca. Pada akhirnya ntar lu bisa ulik kayak misalnya kenangan sama si Bapak ketika si karakter ngeliat pohon nangka depan rumah misalnya, dulu si ayah pernah nolak pohon itu ditebang karena blablabla yg bisa ngontrasin ayah yg dulu sama yg sekarang.

    Dalam keadaan tulisan yg sekarang aja udah kerasa bittersweetnya, apalagi kalo misalnya lu fokus lagi ke si bapak, akan lebih kuat, dibanding lu buang2 energi untuk bagian pertama.

    Gitu ajah kalo dari tante.

    BalasHapus
  3. Oiya. Kyknya mulai sekarang kita harus belajar ngurangin kata-kata 'pelemah efek', kayak "mulai menyerang", atau "sedikit marah" atau "agak sibuk", karena kata2 itu cenderung melemahkan efek dari kata sesudahnya. Lebih kuat efeknya kalo "kantuk menyerangku" dibanding "kantuk mulai menyerangku"; atau "aku kesal" dibanding "aku agak kesal". Tips buat semuanyah ini mah.

    BalasHapus