Gerimis membuat udara terasa lebih tawar dan mendung membuat
sore lebih abu. Lebih tawar dan lebih abu dari biasanya. Aku letih memandang ke
luar jendela ke pelabuhan, kapal Anantham tak pernah berlabuh. Aku letih, tapi
tetap kupandangi juga. Riuh rendah para awak kapal, nelayan maupun ekspedisi,
lonceng-lonceng, burung camar, debur ombak, dan suara sepatu-sepatu di atas
dermaga kayu.
Suara denting-denting gantungan logam di langit-langit bengkelku yang tertiup angin
laut yang berhasil masuk melalui jendela. Suara pintu terbuka dan terbanting tertutup.
“Sore,” sapa Lintal cepat, sebelum membanting keranjang
makanan ke meja di ujung ruangan. Dia selalu membanting semuanya: makanan,
cucian, benda-benda yang diangkat ketika dia mengelap meja-meja dan lemari. Aku
suka pekerjaannya, tapi setiap dia di sini aku harus berhenti bekerja karena
bantingan-bantingannya selalu mengejutkanku.
“Masih menunggu Anantham?” semburnya tiba-tiba.
“Hah? Aku ...”
“Lebih baik kau memikirkan bagaimana membayar sewa bengkel
ini. Kamu sudah terlambat dua minggu, bukan? Aku sebal melihat muka Tuan Kan
setiap aku ke sini.”
“Ya,” buat apa dia mengurusi prioritasku? “Hari ini makannya
apa?”
“Lihat saja itu di atas meja,” tukasnya.
Aku mendekati meja cukil di sudut yang berlawanan dari tempatku duduk di mana dia meletakkan makan
malamku. Sebuah wadah makanan plastik yang dibungkus kembali dengan serbet
kotak-kotak merah putih papan catur. Aku mencium bau ikan, dan air liur terbit
dalam mulutku. Aku tiba-tiba merasa lapar, aku lupa membeli makan siang tadi.
Seharian ini aku hanya duduk memandangi balok kayu yang sudah kusiapkan dari
seminggu lalu tapi tak kusentuh-sentuh. Aku belum tahu harus membuat apa, jadi
aku hanya bergantian memandanginya lalu memandang ke luar jendela, siapa tahu
Anantham pulang.
“Jangan di makan sekarang, Pene. Masih terlalu sore untuk
makan malam.”
“Aku lapar, Lintal.”
Lintal tidak berkomentar lagi. Dia langsung pergi setelah
mengambil lap-lap kotor dan baju kotor seminggu ini. Setelah bantingan pintu
yang terakhir, dan memastikan sentakan langkah-langkahnya di tanah luar
bengkelku tak terdengar lagi, aku membuka serbet makan malamku. Setelah kubuka
wadahnya, tampillah potongan kentang dengan wangi merica, dan ikan dori. Bau
jeruk lemon naik. Anantham suka ikan dori lemon tepung roti. Mataku buram tiba-tiba,
dan nafasku berat. Seiring makanan ini mengisi perut kosongku, fokusku kembali
pada perasaan kosong yang lain yang mulai familiar sebulanan ini setelah
Anantham pergi.
Mau mencari ayahnya, katanya. Sang Topi Burung Merak,
katanya. Bagaimana kalau Anantham tidak kemba ...
Aku duduk kembali ke meja tengah, suara debur ombak dan
burung camar dan lonceng di luar menjadi musik lembut setelah aku kenyang. Aku
memahat bentuk-bentuk besar di balok yang sedari pagi hanya kupandangi,
berharap pancingan motorik akan akhirnya memberi inspirasi. Perlahan
bentuk-bentuk kecil muncul, aku bisa melihat kelopak-kelopak mawar. Dengan
pahat yang lebih kecil aku meneruskan keinginan balok itu untuk menjadi
sekelompok mawar. Mahkota-mahkota bunganya mulai berjarak lebih dalam, dan
daun-daunnya terbentuk. Aku tidak pernah membuat objek organik sebelumnya, jadi
sambil sesekali menghapus air mata yang bercampur keringatku, aku tersenyum. Apa kata Anantham kalau tahu aku sekarang membuat bunga?
Untuk sebuah hidup yang sesaat, mawar mampu menjadi begitu
indahnya. Apakah keindahan dan ketidakabadian adalah dua sahabat yang senang
berjalan beriringan? Duri-duri mawar mulai muncul dalam pahatanku, tajam
melawan lembutnya kelopak bunga dan daun yang menari-nari, tapi keberadaannya
melengkapi. Saat aku menyadari kehadiran benih Anantham mulai menciptakan
kehidupan baru dalam kandunganku, duri-duri juga menampilkan dirinya. Anantham memutuskan
untuk pergi mencari ayahnya dan tidak tahu kapan kembali. Keindahan,
ketidakabadian, lalu kepedihan.
Anak Lintal adalah pelaut juga. Besok aku akan berbincang
pada Lintal untuk meminta ijin agar putranya mengantarkanku juga ke Halablar.
Aku tidak ingin anakku nanti tidak pernah mengenal ayahnya, seperti Anantham.
Rangkaian mawar kayu berdiri indah di mejaku, memandangku balik. Perlahan
detilnya lenyap, dan seluruh dunia labur. Jantungku berdebar kencang untuk hari
esok. Aku ingin dekat dengan Anantham lagi. Aku sudah lupa wajahnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar