Minggu, 20 Maret 2016

[TUJUAN] Penelope



Gerimis membuat udara terasa lebih tawar dan mendung membuat sore lebih abu. Lebih tawar dan lebih abu dari biasanya. Aku letih memandang ke luar jendela ke pelabuhan, kapal Anantham tak pernah berlabuh. Aku letih, tapi tetap kupandangi juga. Riuh rendah para awak kapal, nelayan maupun ekspedisi, lonceng-lonceng, burung camar, debur ombak, dan suara sepatu-sepatu di atas dermaga kayu.

Suara denting-denting gantungan logam di langit-langit bengkelku yang tertiup angin laut yang berhasil masuk melalui jendela. Suara pintu terbuka dan terbanting tertutup.

“Sore,” sapa Lintal cepat, sebelum membanting keranjang makanan ke meja di ujung ruangan. Dia selalu membanting semuanya: makanan, cucian, benda-benda yang diangkat ketika dia mengelap meja-meja dan lemari. Aku suka pekerjaannya, tapi setiap dia di sini aku harus berhenti bekerja karena bantingan-bantingannya selalu mengejutkanku.

“Masih menunggu Anantham?” semburnya tiba-tiba.

“Hah? Aku ...”

“Lebih baik kau memikirkan bagaimana membayar sewa bengkel ini. Kamu sudah terlambat dua minggu, bukan? Aku sebal melihat muka Tuan Kan setiap aku ke sini.”

“Ya,” buat apa dia mengurusi prioritasku? “Hari ini makannya apa?”

“Lihat saja itu di atas meja,” tukasnya.

Aku mendekati meja cukil di sudut yang berlawanan dari tempatku duduk di mana dia meletakkan makan malamku. Sebuah wadah makanan plastik yang dibungkus kembali dengan serbet kotak-kotak merah putih papan catur. Aku mencium bau ikan, dan air liur terbit dalam mulutku. Aku tiba-tiba merasa lapar, aku lupa membeli makan siang tadi. Seharian ini aku hanya duduk memandangi balok kayu yang sudah kusiapkan dari seminggu lalu tapi tak kusentuh-sentuh. Aku belum tahu harus membuat apa, jadi aku hanya bergantian memandanginya lalu memandang ke luar jendela, siapa tahu Anantham pulang.

“Jangan di makan sekarang, Pene. Masih terlalu sore untuk makan malam.”

“Aku lapar, Lintal.”

Lintal tidak berkomentar lagi. Dia langsung pergi setelah mengambil lap-lap kotor dan baju kotor seminggu ini. Setelah bantingan pintu yang terakhir, dan memastikan sentakan langkah-langkahnya di tanah luar bengkelku tak terdengar lagi, aku membuka serbet makan malamku. Setelah kubuka wadahnya, tampillah potongan kentang dengan wangi merica, dan ikan dori. Bau jeruk lemon naik. Anantham suka ikan dori lemon tepung roti. Mataku buram tiba-tiba, dan nafasku berat. Seiring makanan ini mengisi perut kosongku, fokusku kembali pada perasaan kosong yang lain yang mulai familiar sebulanan ini setelah Anantham pergi.

Mau mencari ayahnya, katanya. Sang Topi Burung Merak, katanya. Bagaimana kalau Anantham tidak kemba ...

Aku duduk kembali ke meja tengah, suara debur ombak dan burung camar dan lonceng di luar menjadi musik lembut setelah aku kenyang. Aku memahat bentuk-bentuk besar di balok yang sedari pagi hanya kupandangi, berharap pancingan motorik akan akhirnya memberi inspirasi. Perlahan bentuk-bentuk kecil muncul, aku bisa melihat kelopak-kelopak mawar. Dengan pahat yang lebih kecil aku meneruskan keinginan balok itu untuk menjadi sekelompok mawar. Mahkota-mahkota bunganya mulai berjarak lebih dalam, dan daun-daunnya terbentuk. Aku tidak pernah membuat objek organik sebelumnya, jadi sambil sesekali menghapus air mata yang bercampur keringatku, aku tersenyum. Apa kata Anantham kalau tahu aku sekarang membuat bunga?

Untuk sebuah hidup yang sesaat, mawar mampu menjadi begitu indahnya. Apakah keindahan dan ketidakabadian adalah dua sahabat yang senang berjalan beriringan? Duri-duri mawar mulai muncul dalam pahatanku, tajam melawan lembutnya kelopak bunga dan daun yang menari-nari, tapi keberadaannya melengkapi. Saat aku menyadari kehadiran benih Anantham mulai menciptakan kehidupan baru dalam kandunganku, duri-duri juga menampilkan dirinya. Anantham memutuskan untuk pergi mencari ayahnya dan tidak tahu kapan kembali. Keindahan, ketidakabadian, lalu kepedihan.

Anak Lintal adalah pelaut juga. Besok aku akan berbincang pada Lintal untuk meminta ijin agar putranya mengantarkanku juga ke Halablar. Aku tidak ingin anakku nanti tidak pernah mengenal ayahnya, seperti Anantham. Rangkaian mawar kayu berdiri indah di mejaku, memandangku balik. Perlahan detilnya lenyap, dan seluruh dunia labur. Jantungku berdebar kencang untuk hari esok. Aku ingin dekat dengan Anantham lagi. Aku sudah lupa wajahnya.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar