Selasa, 29 Maret 2016

[API] Lilin

Minah memerhatikan lilin yang ada di hadapannya. Apinya tegak lurus tak bergeming walaupun lilin tersebut bergerak mengayun-ayun karena piring alasnya diombang-ambing air di dalam baskom. Cantik sekali, seperti almarhum ibunya yang gemar sekali menari. Minah selalu ingin menjadi seperti ibunya yang selalu anggun, sesulit apapun hidup mereka. Ibu yang membantu ayahnya bekerja siang malam untuk menafkahi keluarganya. Ibu yang direnggut tiba-tiba dari hidupnya oleh pengemudi bus ugal-ugalan. Minah baru berusia enam tahun ketika itu, tapi ia sedikit paham bahwa kepergian ibunya lebih berat dirasakan oleh ayahnya yang akhirnya harus berhenti dari pekerjaannya menyupiri sebuah keluarga. Kehidupan mereka yang tadinya pas-pasan sedikit bertambah sulit.

Keputusan untuk kembali ke desa kelahiran ayah Minah diambil dua bulan setelah kejadian itu, desa yang sekali-dua kali pernah dikunjungi Minah sebelumnya. Minah selalu senang setiap kali ia berkunjung. Banyak teman, dan saat malam walaupun gelap tanpa listrik, ia bisa mendengarkan orkestra binatang-binatang malam, menonton pertunjukan kembang api kunang-kunang sambil menemani ayahnya minum kopi di depan rumahnya. Kebiasaan yang diteruskan selepas kepergian ibunya. Kebiasaan yang kini diwarnai cerita-cerita ayah tentang ibunya.

Buat ayahnya, Minah lebih berharga dari apapun yang ia pernah, sedang, dan akan ia miliki. Ia tahu, sejak pertama kalinya bidan mengangkat tubuh kecil itu keluar dari rahim istrinya, bahwa hidupnya yang lama sudah berakhir. 

Kehidupannya yang lama sudah selesai, hidupnya sekarang bukan lagi miliknya dan itu tidak apa-apa. 

Ia bekerja berkali lipat lebih giat, tubuhnya terasa berkali lipat lebih lelah di ujung hari, tapi satu panggilan "Ayah" dari Minah, dan semua itu terbayarkan.

Ayah Minah kemudian bekerja sebagai buruh di sebuah perkebunan di dekat kampungnya, tugasnya membawa hasil panen ke pasar di kota yang jaraknya beberapa puluh kilometer, kemudian membawa hasil penjualannya kembali ke Pak Sabeni sang tuan tanah. Ini ia lakukan beberapa kali dalam seminggu, biasanya ia berangkat pagi-pagi buta, dan kembali ke rumah larut malam. 

Penghasilannya sebagai buruh tidak seberapa. Uang yang didapatkan sebagian besar dipakai untuk membeli makanan, sisanya ditabung. Tabungan yang biasanya habis di akhir bulan untuk merawat rumah kecil dan membeli pakaian setahun sekali. Di masa mudanya ia pernah hidup berkecukupan, berlebihan malah. Kehidupan lalu di mana ia tidak pernah memikirkan hari esok, dimana ia berfoya-foya tanpa tahu kemana ia melangkah. Uang yang ada ia habiskan di meja perjudian, mabuk-mabukan, dan di rumah pelacuran. Uang yang didapatkannya juga dengan cara tak terpuji, berbekal nekat dan ilmu hitam. Pertemuannya dengan ibunda Minah selalu ia anggap uluran tangan dari yang Maha Kuasa. Pertemuan sederhana di pasar malam yang akhirnya merubah jalan hidupnya.

Ia selalu berusaha untuk membawakan buah tangan untuk buah hatinya, terkadang coklat, permen, atau kalau penjualan sedang bagus, mainan seperti kapal-kapalan yang menjadi kesayangan Minah. Warnanya yang merah cerah dan bunyi tuk-tuk-tuk yang keras ketika berjalan membuat tawa Minah selalu pecah setiap kali ayahnya menyalakan mainan tersebut dan membuatnya berlayar di dalam baskom.

Pertamakalinya ia menyalakan mainan kapal-kapalan yang ia bawakan, ia bisa melihat kekaguman di mata putrinya itu. Matanya yang berbinar-binar, tangan kiri menggenggam tangan kanan, saling menahan. Antusiasme. 

"Minah mau ambil kapalnya ya?" Ia bertanya pada putri kesayangannya, dan dijawab dengan anggukan dan senyuman yang melebar. Setelah api sumbu di kapal tersebut mati, ia ambilkan kapal tersebut. "Hati-hati, masih panas ya Nak.., " katanya sambil memberikan kapal itu pada Minah. Tangan-tangan kecil menyambutnya dengan semangat, membolak-balikkan mainan itu, mengeluarkan sumbu dari tempatnya, mengintip ke dalam lubang tempat air dimasukkan ke bilik pembakaran. Di saat itu ia sadar, anaknya cerdas, penuh keingintahuan, dan berhak untuk mendapatkan jalan hidup yang lebih baik daripada dirinya dan almarhum istrinya. 

Minah harus bisa sekolah.

Di hari ulang tahun Minah yang ke-tujuh, ia membulatkan tekadnya untuk menyekolahkan putrinya itu. Ia tahu tabungannya tidak ada, bahkan dengan menggadaikan semua yang ia punya uangnya masih belum cukup untuk uang pangkal Sekolah Dasar. Belum lagi uang iuran bulanannya. Malam itu ia duduk di depan rumahnya lebih lama dari biasanya. Minah tertidur di pangkuannya, tangannya membelai rambut anak perempuan itu. Orkes makhluk malam sudah selesai, hanya suara jangkrik dan lolongan anjing yang beberapa kali terdengar. Suara sumbu petromak terbakar dan bau minyak tanah menemaninya. Ia menyeruput sisa kopi dari gelasnya, dan mengeluarkan selembar foto kusam dari dompetnya. Foto mereka bertiga yang diambil lima bulan yang lalu. Foto yang saat ini terlihat seperti foto keluarga lain, di kehidupan yang lain. Keluarga yang sangat bahagia dengan masa depan yang terlihat cerah. Di bawah hembusan napasnya ia meminta maaf kepada almarhum istrinya, dengan suara yang cukup halus agar putrinya tidak terbangun.

Minah bermain dengan anak-anak lain hari itu, seperti biasanya. Saat senja tanpa perlu dipanggil ia pulang ke rumah, menyalakan lampu petromak dan  menunggu ayahnya pulang sambil menyiapkan makan malam yang sudah dimasak oleh ayahnya sebelum ia berangkat pagi tadi. Setelah makanan ditata, terakhir ia menyeduhkan kopi kesukaan ayahnya, dan menaruhnya di atas meja makan. Setelah itu biasanya ia membaca buku-buku dan komik-komik yang dibawakan oleh ayahnya dari perjalanan-perjalanannya. Malam ini ada yang sedikit berbeda dari raut muka ayahnya, ia bicara lebih sedikit dibandingkan biasanya, menundukkan kepala seperti enggan beradu pandang dengan putrinya itu. Minah sudah tertidur ketika ia merasa tubuhnya diguncang-guncang.

"Nah, Minah, bangun sebentar, ayah mau minta tolong." Suara ayahnya terdengar sedikit tergesa-gesa. Minah membuka mata, megusap-usapnya dengan punggung tangannya, kemudian duduk di dipan. "Ada apa Ayah?" mata kanannya terbuka setengah, mata kirinya masih tertutup, rambut masih menutupi sebagian wajahnya. "Ayah mau pergi sebentar, kamu bisa bantu ayah jaga lilin ini?" Ayahnya menunjuk ke arah baskom tempat ia biasa bermain kapal-kapalan, di dalamnya ada air, sebuah piring berisi lilin yang menyala mengapung di atasnya. "Kita mau main kapal-kapalan ayah?" Minah kembali memandang ayahnya. Ia melihat ayahnya tersenyum sedikit. "Bukan sayang. Ini permainan yang lain lagi, cara mainnya, kamu harus jaga api lilin ini selama ayah pergi, jangan sampai lepas dari pandangan ya.. kalau api lilinnya mulai bergerak gerak, kamu harus tiup lilin tersebut sampai apinya mati. Bisa?" Minah memandangi lilin tersebut beberapa saat, lalu menengok ke arah ayahnya dan mengangguk.

"Ayah berangkat dulu ya," ayahnya berdiri, sekecup ciuman menghampiri kening Minah. Tangannya menyelipkan foto ke tangan anaknya. Sambil memakai sebuah ponco hitam ia membuka pintu, melepaskan pandangan beberapa saat ke arah putrinya sambil tersenyum. "Ayah sayang Minah," katanya. "Aku juga sayang Ayah," senyumnya, kedua mata Minah yang kini terbuka sepenuhnya melihat ayahnya menutup pintu dan sosoknya menghilang di kegelapan.

***

Minah memerhatikan foto yang diselipkan ayahnya tadi di bawah cahaya lilin. Bayangan dari permukaan foto yang lecek dan tak lagi rata membuat gambar dalam foto tersebut bergerak-gerak. Ia masih ingat saat foto itu diambil. Ayahnya baru mendapatkan kenaikan gaji dan mereka merayakannya dengan berjalan-jalan ke sebuah pusat perbelanjaan. Ia merasakan air berkumpul di sudut-sudut matanya dan mengusapnya dengan punggung tangannya.

Suara letupan senapan menyadarkannya dari lamunan. Bergema. Kemudian suara orang berteriak-teriak, langkah-langkah kaki berderap, berlari di luar rumahnya. Minah berlari ke arah jendela, mengintip. Tak ingin ketinggalan untuk mengetahui hiruk-pikuk apa yang sedang terjadi.

"Celeng! Celeng masuk rumah Pak Sabeni! Besar sekali!" Pak Warso, tetangga dan sobat ayahnya berteriak-teriak. Sarungnya dililitkan di bahunya, tangannya memukul-mukul kentongan bambu. Sekelompok penduduk kampung berkelebat melintas di depan rumahnya, Minah tak bisa melihat siapa mereka, tangan-tangan mereka memegang golok, celurit. Minah menyaksikan semuanya dengan seksama, jantungnya berdebar-debar tapi bukan karena ketakutan. Matanya melihat ke sana kemari, berharap ia bisa melihat celeng itu, sekelebat saja. Ia ingin melihat makhluk yang berhasil membuat seluruh desa geger malam ini.

Di belakang Minah, api lilin meliuk-liuk.. bergetar. Terang, gelap, terang, gelap, dengan irama yang awalnya teratur, semakin cepat, semakin acak. Setelah sejenak ia menyala terang, jauh lebih terang daripada seharusnya sebuah lilin menyala. 

Lalu lilin itu mati.

Kericuhan malam itu perlahan padam. Suara-suara teriakan para penduduk kampung sudah tak lagi terdengar. Minah kembali ke arah baskom sedikit kecewa, ia tidak sempat melihat celeng itu.. di dalam baskom itu sebuah lilin tanpa api mengapung. Di sekelilingnya ia melihat beberapa benda yang sebelumnya tak ada di sana. 

Minah mengulurkan tangannya, meraih dan mengangkat sebuah kalung dan beberapa gelang emas. Cantik sekali.

5 komentar:

  1. Maap aku kemaren spoiler.. bhahahak.. tidak bermaksud. Padahal itu nebak-nebak doang. Masalahnya dalam legenda urban kita, lilin selalu dikaitkan dengan praktek nyegik. :v
    Anyway gw suka sisi emosionalnya. Membuka perspektif bahwa terkadang kriminal juga punya orang yang mereka cintai dan mencintai mereka sama tulisnya. Dunia tidak hitam putih, and I love those kind of stories!
    Kritiknya: pas di awal gw bingung, ini tokoh utama/naratornya si anak atau si ayah.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Thanks komennya Om. Sebenernya pengennya orang ketiga mahatahu, tapi emang yang disorot pindah2 antara Minah dan ayahnya. gak tau berhasil atau nggak.. hahaha.

      Hapus
  2. Gw seneng banget ini mas. Memakai cerita yang biasanya horor jadi drama. Tapi bener kata Omari, perspektifnya pindah2. Mungkin karena mas terlalu akrab sama tiap karakternya, jadi kesannya kayak orang ketiga terbatas. Mahatahu harusnya ga bisa terlalu intim masuk ke dalam kepala karakternya, cukup permukaan-permukaan aja. Sebenernya bisa memang headhopping pake orang ketiga terbatas, tapi ada cara transisinya (yang gw sendiri belum tahu, kecuali ngasih jeda). Tapi kalo maksud mas mau mahatahu, voicenya terlalu spesifik, ada voice ayah ada voice anak. Kalau satu voice, mungkin bisa berhasil.

    Gitu aja kalo dari aku. 5 bintang untuk orisinalitas :D

    BalasHapus
    Balasan
    1. siap tuan! Iya sepertinya saya belum jagoan pake trik pindah2 POV gini huhuhu.. harus banyak latihan

      Hapus
  3. Perkenalkan, saya dari tim kumpulbagi. Saya ingin tau, apakah kiranya anda berencana untuk mengoleksi files menggunakan hosting yang baru?
    Jika ya, silahkan kunjungi website ini www.kumpulbagi.com untuk info selengkapnya.

    Di sana anda bisa dengan bebas share dan mendowload foto-foto keluarga dan trip, music, video, filem dll dalam jumlah dan waktu yang tidak terbatas, setelah registrasi terlebih dahulu. Gratis :)

    BalasHapus