Selasa, 01 Maret 2016

[AYAH] Gagang Pintu

Riuh, mungkin itu kata yang tepat untuk menggambarkan suasana sekarang. Beberapa kepala dengan benak masing-masing, juga pasang-pasang kaki dengan buru-burunya sendiri ada di segala jarak di tempat ini.

Belum genap 90 derajat matahari ada di titik pertama pagi. Terlalu ramai, terlalu pagi. Tetapi mungkin, ini merupakan hal biasa di tempat seperti ini, sebuah bandara kota tujuan terpopuler untuk berwisata di indonesia. Bandara Ngurah Rai, Bali.

Bandara, buat beberapa orang adalah tempat bermuara cerita. Pertemuan dan perpisahan dan segala maknanya banyak terkisahkan di tempat ini, biasanya romantis, tapi sepertinya kali ini buatku tidak. Sebuah pengumuman delay keberangkatan ke kota asalku baru saja dikumandangkan. Penerbangan ditunda sampai 2 jam ke depan karena adanya gangguan yang entah itu apa.

Kekecewaanku mungkin tidak seperti kekecewaan penumpang lain. Karena hari senin, banyak yang selain pulang liburan juga orang-orang pekerja yang akan menuju ke ibu kota untuk bekerja.. seperti lelaki yang di sudut ruang tunggu itu, dengan kemeja rapih dan wajah yang sangat sebal terlihat sekali kekecewaannya. Mungkin dia dikejar meeting di kota Jakarta.

Aku tidak terlalu buru-buru, kota jakarta sangat santai menerima aku kapanpun. Hanya saja dipaksa bangun sepagi ini, dan terlebih lagi meninggalkan seorang wanita yang tadi tertidur tanpa sempat berpamitan sepertinya bisa jadi alasan yang tepat untuk sedikit kesal.

Dari kebingungan harus ngapain dan kemana menunggu sampai dua jam, salah satu pilihan adalah kembali ke tempat tadi pagi, ke tempat wanita yang baru aku temui dan kenal tadi malam. Kania Lestari, seorang wanita yang penuh keceriaan dan antusiasme di matanya.

“Hey, Kania. Maaf tadi ga pamitan, soalnya buru-buru. Ga enak juga ngebanunin, ngeliat kamu tidurnya lelap banget.. hehe”
Aku mulai membuka sebuah chat apps di handphone dan mengirim sebuah pesan ke dia.

Yap, “Don’t contact first after one night stand”, biasanya seperti itu. Tapi perihal Kania ini mungkin sebuah pengecualian, banyak hal yang menyenangkan tentang dia. Juga mungkin, delay-nya pesawat sekarang adalah kesempatan lain dari waktu untuk bisa lebih tau tentang dia, lebih memaknai pertemuan.

“Hey Timur, di mana kamu? udah di Bandara? Kamu keluar kamar tadi gimana? kok pintunya masih terkunci?” Berulang kali aku baca pesan balasan dari Kania. Sesungguhnya, aku tidak banyak berharap dia membalas pesan yang aku kirim, banyak kemungkinan-kemungkinan yang bisa menjadi sebab dia akan tidak membalas pesanku.

“Iya nih, udah di Bandara. Tapi delay dong pesawatnya 2 jam”..

“Yaelah, udah balik ke sini lagi aja. Ngapain juga di Bandara 2 jam. Kita sarapan bareng deket hotel sini, katanya ada nasi pedas yang enak di sini”

Akhirnya kita sepakat untuk bertemu di sebuah tempat yang tidak jauh dari hotel dia, tapi ternyata lumayan jauh dari Bandara.

Bali. Aku suka kota ini, di setiap sudut kota ini adalah kesempatan untuk kenal orang-orang beragam. Selalu menyenangkan untuk mengenal dan mendengar cerita-cerita mereka, tentang asal mereka, negara mereka, dan rencana-rencana mereka. Buatku Kota ini juga tempat paling cocok untuk belajar aneka macam budaya dan bahasa.

Tadi malam, malam terakhir rencana aku di kota ini, dan berakhir terdampar jam 1 pagi pada sebuah club kecil di daerah seminyak. Dan di sanalah aku pertama kali melihat dan bertemu Kania, di antara semua manusia di club itu yang sedang asik dengan musik dan hingar bingar-nya masing-masing, Kania duduk sendirian memakai earphone dan asik menikmati musiknya sendiri.

“Musiknya ga cocok sama aku, paling enak tuh kalo udah lumayan tipsy ngedenger lagu ini” Kania sedikit berteriak dan memberikan sebelah earphonenya kepadaku malam itu, dan lagu spanish sahara dari foals memulai semua obrolan.


“Sudah sampai pak” Suara supir uber menyadarkanku dari semua lamunan tentang Kania tadi malam. Tempat-nya sepi, mungkin karena ini hari senin.

Tempat makan ini tepat di pinggir pantai, birunya lautan terhampar jelas dihiasi buih-buih ombak yang terlihat berkeliaran manja, dan di sana Kania duduk dengan setiap indahnya, segala senyumnya.

“udah pesen?” tanyaku pertama sambil menggeser sebuah kursi tepat di depan dia.

“Baru kopi, mau pesen makan tapi nunggu kamu aja biar sekalian. Kok bisa delay pesawatnya? memang harusnya flight jam berapa? eh by the way, aku belum mandi loh.” Suaranya yang merdu dan tatapannya jauh lebih menenangkan dari desiran suara ombak yang sebelumnya terdengar banyak. Pagi ini Kania mengenakan kaos putih polos dan celana pendek, pakaiannya yang sederhana tidak mengurangi semua pesona dia.

Waktu kalah telak terhadap perbincangan aku dan Kania. Kita mulai mengingat-ngingat apa yang kita perbincangkan tadi malam, dan dengan Kania menanyakan jam berapa aku flight pagi ini, aku yakin dia tidak ingat semua perbicangan tadi malam. Begitupun aku sepertinya. Tidak hanya waktu yang kalah telak, segala rasa makanan yang aku makan bisa terabaikan oleh semua percakapan dan senyuman Kania.

“Oke, jawab jujur ya timur, jangan becanda mulu. Jadi karena apa tadi malem kamu berani mulai nyapa aku? padahalkan aku pakai earphone” Tatapan Kania mulai serius, walau ada terbesit sedikit senyum di wajahnya.

“Kania, siapa yang ga aneh sama cewe yang pake earphone di tempat yang semua orang pada sibuk joged? tapi selain itu, aku penasaran sama tattoo UFO di Bahu kamu. Eh tadi malem aku sempet nanyain itu ga sih?”

“Hmmm.. Sempet ga ya? kayaknya engga deh” Kania mencoba mengingat-ngingat.

“Engga, kamu ga sempet nanya.” Lanjutnya setelah berulang kali mencoba mengingat.

“eh itu UFO kan? Kamu suka UFO? percaya alien?” tanyaku kepada Kania, dan kali ini akupun berharap jawaban dia serius.

“Iya, UFO.. tapi kamu jangan ketawa ya, jadi sebenernya tattoo aku ini tanda lahir, bentuknya seperti gambar piring. Tapi tahun lalu aku tambahin Tattoo, jadi UFO. Biar keren” Dia menjawab sambil tertawa, dan tawanya bertolak belakang dengan larangan dia sendiri untuk melarang aku tertawa.

Aku setengah tidak percaya, sampai dia menunjukan beberapa foto sebelum Tattoo-nya berbentuk UFO, dan memang ada gambar yang menyerupai piring. Kaniapun cerita tentang Ayah dia yang seorang arkeolog dan sering bepergian ke beberapa negara gemar sekali mengoleksi barang kuno, salah satunya piring.

Kania dulu sempat berpikir mungkin itu kutukan karena ayahnya mengoleksi piring-piring kuno. Walaupun Ayahnya pernah bercerita tentang beberapa orang yang memiliki tanda lahir berbentuk Tattoo. Menurut Ayah Kania, orang-orang dengan tanda lahir itu spesial, tapi sampai saat ini Kania belum tau spesialnya di mana dan menganggap ayahnya hanya mengarang cerita.

“Kok kamu penasaran tentang Tattoo UFO aku, emang kamu percaya sama UFO?” Kania membalas dengan pertanyaan yang sama.

“Percaya!” dengan lantang dan penuh keyakinan aku menjawab. Karena memang aku percaya.

“Pas aku kecil, aku pernah ngeliat UFO loh, aku serius ini. terserah kamu percaya apa engga”. Lanjutku.

Ketika itu memang aku melihat dengan mata sendiri, sebongkah cahaya yang lumayan besar melaju pelan dan sedikit jauh di angkasa, tepat di atas pekarangan rumah. Aku tidak ingat persis umur berapa waktu itu, yang aku ingat adalah tanggapan ayahku tentang hal itu.. “Nak, kamu orang-orang terpilih, kamu orang spesial”, dan ketika itu aku sadar aku memiliki seorang Ayah yang hebat.

Sayangnya, itulah hal yang paling aku ingat tentang masa laluku, keluargaku. Sisanya masih berbentuk keping puzzle yang harus aku temukan. Karena itu apapun perihal Alien dan UFO akan sangat menjadi menarik buatku.

“Eh tentang Tattoo ya, kamu juga kan punya Tattoo gambar gagang pintu! ITU APAAN MAKSUDNYA? Dari semua pilihan desain Tattoo, kenapa harus Gagang pintu???” Kania bertanya sambil menahan tertawa, minta maaf, dan kemudian tertawa tanpa ditahan lagi. Sialan.


“Aku suka gagang pintu Kania, buat aku gagang pintu itu keren. Dia, Awal dari semua perjalanan dan akhir dari segala pulang”
Aku menatap mata Kania, dan berusaha menjawab dengan wajah dan nada seserius mungkin, tapi gagal.

Aku terpaksa berbohong kepada Kania, karena kalaupun aku menjawab jujur. Kemungkinan besar dia tidak akan percaya, dan lebih jauh dari itu aku memang tidak ingin ada yang tau.

Tattoo gagang pintu ini sudah ada semenjak aku kembali sadar dari koma beberapa tahun lalu, dan ya mungkin ini adalah tanda lahir, karena setelah koma aku tidak banyak ingat tentang masa lalu dan asal-usulku. Mungkin juga cerita ayah Kania tentang orang-orang yang memiliki tanda lahir berbentuk Tattoo adalah orang-orang spesial itu benar.

Kalo cerita Ayah Kania memang benar, mungkin itu menjawab hal yang membuatku heran tadi pagi. Saat aku terburu-buru pergi dari Kamar Kania dan memutar gagang pintu di kamar mandinya, tiba-tiba aku ada di toilet Bandara.

Mungkin. Tapi, keberadaan Kania di depan mataku sekarang terlalu berharga untuk disia-siakan dengan memikirkan hal seperti itu.

9 komentar:

  1. Penyakitnya masih sama. Awalnya menjanjikan tetapi di tengah-tengah mulai hilang fokus: gaya bahasa berubah, penulisan tidak baku, etc. Dan mungkin karena saya kenal penulisnya, tokoh-tokoh di tulisan Daus memiliki karakter yang serupa dengan dia sendiri. Ingin sekali-kali membaca karakter yang 180 derajat dari karakter penulisnya.

    BalasHapus
    Balasan
    1. gaya bahasanya berubah gimana kak? Aku ga nyadaaaar.


      Perihal karakter, bukan aing ini mah :((((

      Hapus
    2. siapa yang bilang ente... tong insecure kitu atuh. kan gw bilang mirip... socially adept, curious, free-spirited, have a penchant for quirks. so you, man...
      sekali-kali bikin karakter yang pemalu atuh. like, a genuinely shy person.

      Hapus
    3. Perihal gaya bahasa om, urang ga menyadari berbeda dari manana?

      Hapus
    4. poho deui.. mun teu salah mah antara narasi dan percakapan

      Hapus
  2. Aduh jangan berantem dong temen-temen. Iya setuju sih sama Omari. Ini tuh masih Daus banget karakterisasinya. Tapi gapapa sih, kan pembaca kebanyakan ga kenal sama Daus. Kalo gw ga kenal Daus, gw akan tertarik sih sama karakter ini, krn voicenya unik. Tapi hati2 jangan terkesan quirky for the sake of being quirky. Di fiksi sepertinya harus ngasi alasan kenapa dia begitu detached from the world, kalo alasannya udah ada, momen2 merenung bisa lebih kuat lagi efeknya (kayak pas bagian dia nginget pernah liat UFO).

    Problem tulisan elu adalah masih banyak redundancy. Suka nekenin hal yang sama berulang-ulang. (' “Percaya!” dengan lantang dan penuh keyakinan aku menjawab. Karena memang aku percaya. '). Please don't do that. Ini akan watering down the whole story. Toh akhirnya karakterlu showing kenapa dia percaya, jadi nambahin "Karena memang aku percaya" hanya jadi redundancy. Itu salah satu contoh aja. Tips, kalo lu ngerasa harus ngulang sesuatu demi menghantam sebuah point, cari ekspresi lain yg sama kuatnya dan ga usah diulang-ulang.

    Gitu sih kalo dari Nenden.

    BalasHapus
  3. TIPS LEBIH ADVANCED: Soal quirkyness. Biasanya ya (ini bukan ngomongin elu ya Us), karakter quirky punya alasan dark kenapa mereka quirky. Biasanya mereka nutupin self inferiority. Sama kayak orang-orang yang selaluuuuu melucu. Mereka lucu karena itu cara yang mereka tahu biar mereka ngerasa diterima. Karakter quirky bisa menarik kalo ternyata mereka begini. Jadi ada nuansa dan kedalaman. Lebih asoy ntar ngembanginnya.

    BalasHapus
    Balasan
    1. petuah sifu memang selalu asoy geboy.. 🙏

      Hapus