Senin, 07 Maret 2016

[LANGUT] Rindu

Halo para pembaca yang baik, apa kabar? Perkenalkan, nama saya Mahesa, biasa dipanggil Maha. Sebelum saya mulai cerita, izinkan saya untuk bertanya sejenak. Siapa di antara Anda yang belum pernah jatuh cinta? Ada? Kasihan amat. Oke, cerita ini adalah cerita cinta, jadi tak perlu berharap plot yang rumit atau karakter yang luar biasa, ini cerita tentang betapa sialannya hidup.. Lebih tepatnya cerita ini adalah cerita dua orang biasa: saya dan Rindu. Ya, Rindu.

Kata orang, nama adalah doa. Untuk kasus Rindu, ini benar-benar terbukti. Namanya adalah doa bagi saya, seperti doa emak untuk Malin Kundang.

Anda yang sudah pernah terlibat hubungan cinta tentu paham kurang lebih anatominya seperti apa. Untuk yang tadi jawab belum pernah, kurang lebih seperti ini:
  1. Tahap penjajakan.
    Tahap ini adalah masa di mana kita berkenalan dengan subyek hati kita. Walaupun namanya masa penjajakan, tapi sebenarnya masa ini adalah masa pembenaran, apalagi kalau sudah terlanjur jadi subyek hati. Lebih sering kita memberikan pembenaran-pembenaran supaya kita bisa segera melewati tahap berikutnya, yaitu:
  2. Tahap peresmian.
    Di masa ini mungkin salah satu dari aktor dalam kisah cinta tersebut akan nyatain, nembak, atau istilah norak lainnya yang intinya mengungkapkan perasaan ke aktor yang lain di kisah tersebut.
  3. Tahap bulan madu.
    Dunia indah, wangi karbol bagaikan hutan pinus, sabun cuci piring bagaikan lemon. Saya pernah lihat teman saya Agus waktu dia baru jadian sama Kinar (sekarang sudah jadi mantan) , mereka naik motor berduaan dan motornya menabrak mobil di depannya sampai mereka terjungkal. Mereka luka-luka, tapi malah cengengesan di atas aspal. Omnis amans amens, semua yang jatuh cinta itu gila.
  4. Kembalinya dunia nyata.
    Tergantung dari aktor-aktor yang terlibat, tahap ini bisa indah, bisa brengsek. Di tahap ini soft filter masa bulan madu mulai kehilangan khasiat. Kedua aktor mulai melihat kekurangan kelebihan masing-masing dengan lebih obyektif. Bau kaki mulai tercium, cerewet mulai ganggu pendengaran. Tahap ini biasanya dilanjutkan dengan salah satu di bawah ini:
  5. a. Putus
        "Lo. Gue. End." - Kinar ke Agus.
    b. Bahagia selamanya.
        Iya, bahagia selamanya itu mitos. Hidup itu naik turun. Tapi paling tidak kedua subyek hubungan memutuskan untuk tetap bersama.

Rindu dan saya tidak cukup beruntung untuk naik ke tahap kedua. Boleh dibilang kami bertemu di saat yang tidak tepat. Pertemuan pertama kami terjadi di pesta ulang tahun adik saya. Jujur saja Rindu bukan tipe yang biasanya bikin saya jatuh hati. Keningnya terlalu lebar, kulitnya terlalu gelap (walaupun bukan hitam juga sih), rambutnya kurang panjang sedikit... cuma ada satu hal yang bikin saya kerap memalingkan muka ke arah Rindu: matanya. Mata Rindu yang besar dan bening, yang seperti selalu sedang memikirkan sesuatu. Betapa mata itu bisa mengucapkan ribuan kata, betapa beragam ekspresi bisa dibaca melalui mereka. Ada pepatah yang bilang, "Mata itu jendela hati." Betapa hal itu benar untuk kasus Rindu. Rindu tertawa, menangis, marah, kesal dengan matanya.

Rindu tidak perlu berkata banyak untuk menyampaikan sesuatu, paling tidak kepada saya. Dari lirikannya di ujung meja saya bisa tahu ia sedang tertawa karena salah satu lelucon saya. Dari caranya menahan tatapan mata sepersekian detik waktu acara tersebut selesai, saya tahu (dan saya yakin dia juga tahu), ada sesuatu di antara kami. Seusai acara tersebut, saya beranikan diri menelepon Rindu, malam itu dan selanjutnya kami berkali-kali ngobrol di telepon, masing-masing sekitar 2-3 jam, tentang berbagai macam hal. Tentang hal-hal sekecil jerawatnya yang muncul tak tahu waktu, tentang hal-hal sebesar alam semesta. Benar 'kan, ada sesuatu di antara kami.

Selama beberapa waktu kami hanya berbicara melalui telepon dan kirim pesan melalui aplikasi di ponsel kami. Oya, saya hampir lupa, ini cerita tentang sialannya hidup ya.. jadi gini, sebetulnya pada saat itu saya sudah punya pacar, dan dia sedang kuliah di luar negeri. Rindu masih sendiri, dia baru saja keluar dari sebuah hubungan. Sebenarnya beberapa teman (yang kurang beruntung jadi sasaran curhat saya), sudah menyarankan untuk melepaskan Ranti, dan serius menjajaki hubungan dengan Rindu, tapi waktu itu saya bersikukuh ingin membuktikan hubungan cinta jarak jauh itu bisa dilakukan.

Saya dan Rindu sedang membicarakan tentang kesukaan kami tentang kopi di telepon ketika tiba-tiba ia berkata "Aku bisa bikin espresso macchiato yang enak banget loh.." lalu hening sejenak.. "Aku boleh coba?" akhirnya aku berkata. Malam itu adalah pertama kalinya aku mengunjungi tempat tinggal Rindu.

Rindu memakai celana 3/4 warna khaki, rambutnya dibiarkan jatuh ke bahunya dengan poninya menutupi kening. Ia memakai kaus putih bergaris hitam, mukanya dibiarkan alami dengan kacamata berbingkai tebal di depan matanya. Memang sepertinya ia tidak pernah memakai make-up, tapi demi Tuhan dia cantik sekali malam itu. Ia mempersilakan saya duduk, dan membuatkan kopi di pantry rumahnya. Suara mesin kopi, wangi seduhannya, dan cara Rindu membawakan kopi tersebut, cara kami ngobrol dan bercanda. Sampai saat ini, bertahun-tahun setelahnya, bayangan tentang malam itu adalah definisi kata 'langut' buat saya.

Setelah itu kami beberapa kali bertemu di luar untuk sekedar makan malam, ngobrol tak tentu arah, tapi karena beberapa kesibukan, intensitas komunikasi saya dan Rindu berkurang. Kami baru mulai berkomunikasi lagi ketika saya juga mengalami masalah dengan Ranti. Saat itu Rindu mulai sering membicarakan tentang salah satu teman lelakinya, saya hanya bisa mendengarkan. Pada saat saya dan Ranti memutuskan untuk memasuki tahap 5a, Rindu dengan bahagianya bercerita ia dan teman lelakinya itu sampai ke tahap 2 (lihat di atas).

Sejak Rindu jadian dengan pacarnya itu, komunikasi kami praktis terputus. Satu setengah tahun setelah itu Ranti pulang dari kuliahnya, dan kami memutuskan untuk mencoba lagi. Setahun kemudian kita sampai pada kondisi saya saat ini, duduk di hadapan monitor, dengan ponsel di genggaman tangan, aplikasi kirim pesan siap dipergunakan. Memutar otak untuk menulis pesan.

"Halo Rindu, apa kabar? Masih sama Riko?" (kenapa pula aku buka obrolan ini dengan begini, dasar bodoh)

"Oh, halo Maha, masih nih.. kamu gimana? Masih sama Ranti?"

"Hehehe.. masih, malahan aku ngontak kamu sekarang untuk ngundang kamu."

"Wah?"

"Iya, ngundang kamu ke nikahan aku, bulan September nanti. Datang ya.."

"Oh iya, insya Allah aku datang. Selamat ya.."

"Siip, aku tunggu ya, kita ngobrol-ngobrol lagi nanti :) "

tidak ada jawaban

Esok harinya di jendela kirim pesan yang sama, saya menemukan satu pesan dari Rindu.

" https://www.youtube.com/watch?v=ukkRG-flg20 "


Sialan 'kan?

5 komentar:

  1. Gw suka penggunaan poin-poinnya. Jadi teringat film-filmnya Tarantino atau Stephen Chow. Semacam breaking the 4th wall. Hanya saja cara penyampaiannya bisa dibikin lebih personal kayaknya. Menggunakan numbering begitu kesannya jadi dingin, heartless.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Thanks komennya Om. Emang lagi eksperimen breaking the 4th wall sih, dari kalimat pertama pembaca udah disapa. Gak tau deh berhasil atau nggak nih. Masih tunggu judgment day Hahaha.

      Tadinya mau pakai kata kata alih alih penomoran, tapi di bagian akhir gua berniat me-refer nomor-nomor itu, dan kayanya lebih jelas kalau pake nomor. Lain kali bisa dicoba gak pake nomor.

      Hapus
    2. Memang sinematik banget sih alurnya dari awal. Kebayang kayak lagi nonton film, kamera ngikutin si tokoh, setiap dia cerita diikuti cut scenes ke masa lalu.

      Hapus
  2. Cakep mas! Terus terang gw belum terlalu paham mengenai sudut pandang ini, karena sepertinya emang sulit, jadi gw ga bisa ngasih kritik dan saran yang informed. Tapir, sebagai pembaca, gw enjoy banget. Kerasa jadi temen sama si narator. Mas juga managed untuk jadi unik tapi ga terlalu over the top imho, jadi gw bisa simpati sama penulisnya.

    Cakep sih bikin list gitu hihi, jadi character trait juga. Good job mas.

    BalasHapus
    Balasan
    1. terimakesyen tuan Yori. Syukurlah kalo dia belum terlalu annoying.. hahaha. tadinya gua pikir karakternya agak terlalu nyebelin untuk jadi sympathetic XD

      Hapus