Selasa, 01 Maret 2016

[LANGUT] Bulat Sempurna

­
TTTTTEEEEEEEEEETTTTTTTTTT...
TTTEEEEEEEEEETTTTTTTT...
TTTTTTTTTTEEEEEEEEEEEEEEEEEEETTTTTTTTTTTTTTTT...

Nada sumbang terdengar di seantero Sekolah Dasar BHAKTIWINAYA 2, nada tak merdu yang selalu dinanti dan kadang dibenci. Pintu-pintu mulai terbuka, bocah-bocah berlarian kesegala arah, langit tampak ceria menyertai mereka bermain di Lapangan. Sedangkan Aku, Aku sudah sejak sepuluh menit yang lalu keluar kelas, Bu Rita menghadiahkan kepada kami jam istirahat lebih cepat.

Ga ada Dwi, ga ketemu, mungkin ga datang lagi ...”, lapor anak laki-laki itu.

“Jangan bercanda!!, Sekarang sudah hari sabtu, mana mungkin 5 hari tidak datang!!.”

“Aku sudah nunggu dari tadi, ga ada ... .“ raut wajahnya berubah layu.

Dia adalah anak laki-laki yang rumahnya bersebelahan dengan rumahku, dia adalah sahaba... Eh bukan, dia adalah bocah aneh yang selalu membuat Aku selalu tersenyum dengan tingkahnya, Iman Syafa’at. Anak laki-laki yang hampir tiap hari aku marahi lalu diam-diam ku rindukan.

“Kenapa ga beli batagor saja ??.” Tiba-tiba Nisa memecahkan lamunanku dengan celetukannya, sebungkus batagor sedang dia nikmati.

 “Enek Nis makan batagor sama gorengan terus tiap istirahat, Aku kan tidak seperti kamu.”

“Betuuull.” Iman menyepakati.

“Ke warung Bu Haji aja beli ketan goreng, gimana??.”

“Tutup ... “ Iman menyanggah, singkat.

“Ke kantin aja, gimana ??,” tawar Nisa.

“Tadi kita sudah kesana kan, ga ada yang menarik.” Jawab Iman.

“Betuuull.” Giliran Aku yang menyepakati.

Yaa beli apa kek, daripada membusuk di teras, bosen... .”

“... .”

Aku tidak bisa menjawab, kekurangan nutrisi membuat otakku sedikit lambat berpikir, apalagi bocah kelas 4 dari tadi asyik bermain lompat tali didepanku membuat aku pusing, ditambah lagi anak kelas 3 sedang bermain kucing-kucingan mereka berlarian kesana kemari membuat aku semakin pening. Urgh.

“Kita kedepan aja yukk, siapa tau Mang Alit datang,” celetuk Iman.

Yuukk!!.” Aku mengamini, senyum manisku untuk ide brilianmu itu Man.

Iman memalingkan wajah, lalu berlari ke arah gerbang sekolah. Apa senyumanku tidak indah??.

“Tunggu Maaaannn!!!.” Aku mengejar dia dari belakang.

“Eh Dwi, tunggu Aku ikuutt... Dwiiiiiii !!!!.”

“Ayo cepet Nis!!.”

“Bentar... .” Nisa meraih tanganku, kami berlari beriringan.

Dia adalah Annisa Azkiyah Nur sahabatku dari kecil, kami sering bermain bersama sejak bayi katanya, kami terpisah ketika keluargaku pindah rumah, namun Bhaktiwinaya mempertemukan kami kembali, sejak itu kami selalu duduk sebangku. Tubuh kami sama-sama kurus namun badan Nisa lebih tinggi dari Aku, kulitnya putih bersih berbeda dengan aku yang kecoklatan gara-gara sering main layangan, rambut dia hitam panjang cantik bagaikan model  shampo di TV kontras dengan rambutku yang bergelombang pirang tersengat matahari. Dia itu sangat pendiam, sedikit berbicara banyak makan, hampir sempurna.

“Kita tunggu disini saja,” kata Iman sedikit memerintah, kami ikut serta saja.

Kami bertiga duduk di pinggir jalan tiga meter sebelah kanan dari gerbang utama sekolah, di tembok rendah pagar sekolah yang biasa digunakan ibu-ibu murid kelas satu ngerumpi sambil menunggu anak mereka pulang. Didepan sekolah terdapat jalan desa yang tidak terlalu ramai, jarang terlihat mobil yang lewat, paling tukang ojek yang sering lalu lalang mengantarkan penumpang, melaju pelan. Anak-anak bebas keluar masuk sekolah, kami cukup beruntung sekolah memperkenankan kami jajan di luar. Biasanya sepanjang jalan depan sekolah dipenuhi penjaja makanan dan tukang jualan mainan, kini yang tersisa hanya Mang Dadang tukang batagor dan penjual agar-agar yang tidak Aku kenal.

“Biasanya Mang Alit jualan disini.” Iman membuka pembicaraan, wajahnya menoleh ke arah barat seolah sengaja menyembunyikan matanya yang berkaca-kaca.

“Sepertinya Mang Alit Jualan ke Kabupaten deh, kata Bapak disana sedang ada kejuaran bola voli tingkat Kabupaten, besok finalnya.” Lanjut Iman memperpanjang pembahasan.

“... .” Nisa tidak memperhatikan, dia sedang asyik menikmati permen kaki, batagornya sudah habis sejak tadi.

“Iya... ,” jawabku singkat, usaha Iman tidak berhasil.

Betul, disinilah biasanya Mang Alit jualan, di gerobak biru berbalut seng berkarat, Cilok Si Bos sebuah tulisan warna-warni terlukis pada kaca depan gerobak. Entah apa yang membuat cilok jualannya itu begitu enak, mungkin karena bentuknya yang bulat sempurna, bisa jadi. Barangkali dia memasukkan ramuan rahasia pada bumbu kacangnya agar terasa lebih lezat, mungkin. Jangan-jangan dia memasukan campuran khusus sehingga isi cilok begitu gurih dan lumer dimulut ketika dikunyah, Aku tidak mengerti. Atau dia menggunakan kecap spesial yang harganya mahal sehingga ciloknya begitu menggigit di lidah, tidak, tidak mungkin, barang seperti itu tidak mungkin bisa dia beli. Aku penasaran.

Mang Alit tidak tampan, kulitnya legam berkeringat, baju kotak-kotak kusam dibungkus rompi hitam lusuh selalu ia kenakan. Bos, itulah panggilan dia kepada semua pelanggan. Aku, Bos Uwi panggilan sayangnya untukku. Nisa, biasa dipanggil Bos Ratu. Iman, Boss Kancil, hidung Iman selalu kembang kempis kegirangan tiap kali dia dipanggil seperti itu. Semetara dia memanggil dirinya sendiri sebagai Bos Besar padahal badannya kerempeng.

Mang Alit sering bercerita kalau dia ingin punya anak yang berani seperti Aku, cantik seperti Nisa, dan pintar seperti Iman, isterinya tidak kunjung berbadan dua. Tapi sekarang jangankan cerita, beritanya pun tidak ada, lima hari sudah Mang Alit tidak kelihatan.

Jalanan mulai sepi, suara anak-anak yang tadi berkumpul di Gerobak Mang Dadang hilang senyap, motor roda dua melintas dihadapan kami tanpa suara. Sinar matahari menyengat terasa dingin di kulit, langit seakan mendung menghitam teratur. Kerikil melantunkan lagu sunyi langutanku ke angkasa, perlahan hangat mulai terasa di ujung mataku, pandanganku berputar.

“Dwii!!, lihat itu !!,” Aku terperanjat, telunjuknya Nisa mengarah ke Timur sisi lain jalan. Gerobak biru?.

“... .” Iman bangkit dan berlari seketika. Aku masih mengucek-ucek mata memastikan yang kulihat itu nyata atau ilusi.

“Itu gerobaknya kan Wi??,” Nisa mencoba mencari pengesahan.

“... .”

Dia semakin mendekat, Iya tidak salah lagi itu gerobak Mang Alit, dari kejauhan Aku bisa menegaskan bahwa itu memang gerobaknya, yakin. Penantianku terbayarkan, akan kulunasi selera makanku yang sudah berontak dari kemarin lusa, akhirnya... .

TTTTTEEEEEEEEEETTTTTTTTTT...
TTTEEEEEEEEEETTTTTTTT...
TTTTTTTTTTEEEEEEEEEEEEEEEEEEETTTTTTTTTTTTTTTT...



Bandung, 27 Februari 2016





5 komentar:

  1. Saya coba mengartikan Langut lewat cerita ini,, maap kalo masih meleset ,,,

    BalasHapus
  2. Okeh. Yang ini kekuatanlu mulai agak goyah. Kayaknya lu mulai pusing ketika karakternya lebih dari 2 orang ya? Suka ada dialog yang kurang jelas siapa yang mengucapkan. Tajemin itu aja kali ya. Gw rasa voice Dwi dan Iman terlalu sama karena karakter mereka hampir mirip, Nisa punya potensi voice yg berbeda tapi dia tidak diijinkan bersinar di cerita ini, sepertinya ini penyebab gw kebingungan.

    Terus untuk beberapa saat, gw ga ngeuh ini sudut pandang siapa. Ini bisa distracting banget selama ngebaca. Kalau ceritanya panjang bisa acak2an ntar. Kurang diestablish di awal. Kalo misalnya di awal ada "aku, Iman, dan Nisa sedang duduk di bawah pohon," akan lebih jelas.

    Demikian kalo dari saya. Sekian terimakasih.

    BalasHapus
    Balasan
    1. okay mass :)

      lumayan bingung sih buat bikin karakter 3 ,, hihihi ketauan ,,

      makasih buat masukannya

      Hapus
    2. Kayaknya ke depannya perlu ada pembedaan karakter Iman dan Dwi. Gawat kalo semua orang karakternya mirip.

      Hapus
  3. Gua enjoy bacanya Man :) selamat Anda berhasil bikin tema langut yang bukan romansa :D

    BalasHapus