Sabtu, 05 Maret 2016

[LANGUT] Kotamu

Aroma petrikor menggelitik nostalgia menyambut kedatanganku. Jalanan masih basah oleh hujan muson, orang-orang berlalu lalang dengan payung di tangan. Matahari berselimut awan. Sedikit sinarnya menyelusup, tetapi tidak cukup banyak untuk menghangatkan sore yang dingin ini. Seolah tak ada yang pernah berubah. Ya, sama seperti dulu. Sama seperti ingatan pertamaku akan kota ini.

Lebih dari dua puluh tahun lalu aku bertemu dia di sini. Umurku baru dua puluh dua saat itu. Baru saja diterima bekerja dan langsung menjadi tim konsultan untuk menyambangi klien-klien kantor kami di berbagai kota. Salah satunya Bengaluru. Aku tak tahu apa yang membuat kota ini begitu istimewa dalam ingatan. Apakah karena kota kebun nan asri ini memang sangat indah dan nyaman. Atau karenanya, Chita.



“Indonesia?” seorang gadis tiba-tiba menyapaku. Aku cuma tersenyum dan mengangguk.
“Saya dapat melihat dari tulisan di map yang kamu bawa,” ia menunjuk pada tumpukan dokumen di mejaku.
PT. IBM Indonesia. Tentu saja.
“Iya, betul,” jawabku. Mulanya aku ingin menjawab panjang lebar. Tetapi senyumnya seolah membekukan waktu; mengunci nalar.
“Eh, maaf. Semoga aku tidak mengganggu.”
“Oh tidak. Sepertinya aku juga perlu jeda,” jawabku singkat sambil meraih cangkir kopi keduaku.
“Tadi siang beberapa orang di divisiku menceritakan pertemuan mereka dengan tim kantormu.” Betapa bodohnya aku. Begitu terpesona hingga tak memerhatikan tanda pengenal Infosys yang ia kenakan.
“Oh ya? Berarti kamu dari divisi solusi analisa bisnis yang baru?”
“Ya. Sebelumnya aku di bagian basis data, baru beberapa bulan dipindahkan ke sana.”
“Aku bahkan baru beberapa bulan diterima. Betapa beruntungnya aku langsung dikirimkan ke Bengaluru yang penuh keindahan ini,” jawabku, menatap matanya yang bagai almond.
“Hey, apakah kamu merayuku? Aku bahkan belum tahu namamu, laki-laki misterius dari timur” balasnya sambil tertawa kecil.

§


Kendaraan yang membawaku ke hotel melewati Dr Ambedkar Road. Cubbon Park terlihat dari sisi jendela sebelah kanan. Aku membukanya lebih lebar untuk merasakan belaian senja di kulit. Matahari bersiap untuk berpamitan ke peraduan. Lampu-lampu jalan mulai dinyalakan satu persatu. Suara burung-burung yang hendak beristirahat di pepohonan taman terdengar bersahut-sahutan. Di kejauhan, samar-samar aku melihat sebuah gedung merah besar bergaya akhir abad sembilan belas.



“Pada saat perpustakaan ini dibangun, penguasa Kerajaan Mysore, kerajaan di mana Bangalore bernaung saat itu, adalah salah satu orang terkaya di dunia. Nilai kekayaannya kurang lebih sama dengan nilai kekayaan Bill Gates bila menggunakan kurs saat ini.”

Chita menceritakan padaku sejarah kotanya. Kami berjalan menyusuri lemari-lemari penuh buku yang membentuk lorong melengkung di bawah gedung besar ini. Jari-jarinya mengusap buku-buku tua itu. Seolah menyampaikan kerinduan pada masa yang lebih indah.

“Tetapi kekayaannya tidak membawa banyak kebaikan kepada bangsa kami di masa itu. Imperialisme adalah monster keji yang meninggalkan bekasnya selama berabad-abad,” sambungnya sambil melirik ke arahku.
“Ya, aku mengerti. Imperialisme berabad-abad juga menghisap kering bangsaku. Bahkan hingga saat ini,” aku mencoba memberi persetujuan atas ucapannya. “Tetapi setidaknya kita memiliki banyak peninggalan infrastruktur dari masa kolonial.”
“Ah, Rahman. Memang bangunan tua seperti ini indah. Dan ya, masih berguna hingga sekarang. Tetapi ada juga peninggalan mereka yang membuat semua gedung, benteng, dan jembatan dari masa kolonial tidak ada artinya,” mata Chita menatap jendela-jendela besar yang meneruskan sinar matahari senja ke dalam. “Selama ratusan tahun, para imperialis ini berkuasa dengan hanya satu tujuan: keuntungan bagi negara asal mereka. Sedikit sekali perhatian pada perkembangan rakyat jajahan. Bahkan seringkali tidak ada. Akibatnya masyarakat kami masih memiliki budaya masyarakat ratusan tahun lalu, sebelum para penjajah ini datang. Tertinggal. Tidak siap dan terbata-bata memasuki zaman industri. Lebih parah lagi, sikap pemerintah imperial yang ekstraktif pun menular ke para pemimpin pribumi saat ini,” Chita menghentikan langkahnya dan berbalik menatapku.
“Ya, aku mengerti. Kini kita justru dijajah oleh bangsa sendiri.” Aku dapat merasakan tatapan matanya semakin dalam. Mungkin ia merasakan kedekatan denganku karena kesamaan nasib bangsa kami. Mungkin juga karena selama ini cuma aku yang mau mendengarkan keluhannya akan masa lalu dan sejarah bangsanya.
“Sudahlah, kita ke sini kan bukan untuk membahas politik,” ucapnya memecah lamunanku. “Nah, kita menemukannya. Buku yang aku ceritakan tadi, Mohanatarangini.”

Senja itu sesuatu dalam hatiku berkata bahwa aku menemukan seseorang yang istimewa.

§


Aku memutuskan untuk sejenak menikmati suasana malam Bengaluru. Bahan pertemuan untuk besok bisa menungguku di kamar hotel. Aku berjalan menyusuri VV Puram Food Street. Tempat ini tidak pernah lenggang. Setiap malam, ratusan, mungkin ribuan orang memenuhi area yang terkenal dengan makanan jalanannya ini. Harum ghee, rose gulkand, dan jagung bakar semerbak memenuhi malam yang diterangi purnama. Aku terus berjalan mengarungi lautan manusia di hadapanku dengan satu tujuan. Sekeping kenangan dari masa lalu. Masala Dosa yang pedas dan penuh rempah.



Desir angin berhembus melalui tirai. Kaca-kaca jendela berembun oleh nafas kami berdua. Tangannya meremas rambutku sementara tangannya yang lain menggenggam erat pinggir ranjang. Sinar bulan memantul dari matanya. Kukecup bibir itu. Ia membalasnya penuh nafsu.

“Chita…”

Setiap jengkal kulitku, setiap jengkal kulitnya, kami berkelindan bagai sulur-sulur beringin. Kadang kami berlari seperti angin, kadang kami mendebur bagai ombak samudera. Kureguk semua cinta yang ia limpahkan saat itu. Aku tahu waktu kami tidak banyak.

“Oh, Rahman…”

Ia melingkarkan kedua tangannya ke leherku. Kakinya semakin erat mencengkeram panggulku. Kulitnya yang coklat berbalur keringat membuat nafasku semakin memburu. Ciumannya yang bertubi-tubi menemaniku mencapai puncak hasrat.


§


Resepsionis memberitahukan kedatangan kendaraan jemputanku di lobi. Aku berdiri dan bersiap untuk keluar dari kamar. Semuanya sudah tersimpan rapi di dalam koper. Kubuka pintu kamar. Aku berhenti sejenak dan berbalik. Kutatap gedung-gedung dan taman-taman Bengaluru dari jendela kamar. Aku sudah siap untuk berpisah. Dengan kota ini dan kenangannya. Yang lalu biarlah berlalu.



“Apakah anda hendak memesan sarapan?” tanya pramugari membuyarkan lamunanku.
English breakfast, terima kasih.”
“Baik, kami akan mengantarkannya segera setelah pesawat lepas landas.”
Aku menatap keluar jendela pesawat. Kukeluarkan secarik kertas dari dalam saku.

Dear Rahman,

Maaf aku harus pergi tanpa memberi kabar. Hanya secarik surat di meja tulismu. Semoga kamu tidak salah paham.

Rahman, aku tidak pernah bertemu laki-laki sepertimu. Saat kita pertama bertemu, seolah-olah aku telah mengenalmu seumur hidupku. Seolah aku dapat menceritakan semuanya kepadamu. Seolah aku dapat memilih pergi dan selamanya bersamamu.

Rahman, seorang wanita memiliki banyak rahasia. Dan kepergianku pagi ini, tanpa berpamitan, juga ada alasannya. Saat ini aku tidak dapat menceritakannya padamu. Mungkin nanti, sepuluh atau dua puluh tahun lagi, aku akhirnya bisa. Berjanjilah, bila nanti ada kesempatan, engkau mau mencariku lagi.

Rahman, kamu akan selamanya ada di hatiku. Aku ingin kamu tahu itu. Malam-malam yang kita habiskan berdua akan selalu menjadi milik kita bersama. Semoga nanti jalan kita akan bertemu lagi. Mungkin akhirnya kita bertemu sebagai kekasih atau sekedar sebagai dua orang teman, tetapi aku akan tetap menunggu saat-saat itu.

Yours, Chita

Seiring pesawat memasuki landasan pacu, kulemparkan pandangan pada terminal bandara. Mereka bilang, bandara adalah tempat di mana kita dapat merasakan emosi dalam bentuknya yang murni. Saat keluarga, kekasih, teman, bertemu dan berpisah. Di sana kita dapat melihat kebahagiaan, kesedihan, rasa haru, dan kerinduan terungkap jujur.

Aku cuma merasakannya di hati, tapi aku tahu Chita ada di sana.

7 komentar:

  1. Eksperimen liniwaktu yang maju mundurnya asik Rie. Di bagian akhir yang mana masa sekarang yang mana masa lalu baur, sengaja kah? Kalau iya gua masih belum nangkep maksudnya.

    Mengingatkan pada Before Sunrise.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Pas gw baca draft pertama, "jirrr... ini Before Sunrise banget" :D
      Makanya terus gw bikinin alur gitu, setiap ada pemicu nostalgia lantas diikuti scene ke masa lalu. Ya semacam kalau orang lagi melangut gitu.. hehe.

      Yang bagian-bagian akhir, silakan diinterpretasi sendiri oleh para pembaca. :D

      Hapus
  2. Rapih sih Om, saya sih yes yah. Palingan kalo mau kritik sih, kurang bumbu Chitanya. Gw sebagai pembaca susah ngerasa bahwa doi atraktif. Dia punya ciri-ciri superfisial (permukaan) yang menarik, tapi kyknya dia perlu dikasih sedikit oomph dari cara dia ngomong atau mengungkapkan pikirannya. Yang sekarang sih udah oke, tapi kurang sesetrip.

    Mungkin bagian dimana Rahman meresapi Chita ketika mereka sedang berkonsentrasi sama apa yang mereka lakukan sendiri-sendiri bisa ngasih bumbu. Jadi saat hening. Bisa dicube. OK kok om.

    BalasHapus
    Balasan
    1. ya ya.. I see what you meant. Thanks, mastah! Nasehatmu akan selalu kuingatz.

      Hapus
    2. ya ya.. I see what you meant. Thanks, mastah! Nasehatmu akan selalu kuingatz.

      Hapus