Selasa, 15 Maret 2016

[SENDAL JEPIT] LEMPAR !!!





“Ayolaaah… Masa gitu doang nggak bisa?, yang kenceng dong….”

            “Berisik kau, Du!!.”

FFUUUUHHHHHH… Serpihan genteng pun terbang dilempar Iman.

PRAANNGGG… Meleset.

“Hahaha, nggak kena!,” Dudu joged kegirangan.

“Arggh… ,” Iman tampak kesal, kami ikut-ikutan.

Kami sedang memasuki ronde 5, pilar pendek yang tersusun dari potongan genteng masih berdiri tegak, kami harus meruntuhkannya agar ronde 5 ini dimulai. Dudu jadi ‘kucing’ yang jaga sedangkan kami berenam yang akan bersembunyi. Halaman rumah Reni cukup luas biasanya dipakai untuk garasi mobil colt bak terbuka milik Ayahnya, kami terkadang bermain disini, biasanya 15 orang lebih ikut bermain, kali ini sepi Reni tidak ada di rumah.

Lima kali bermain lima kali pula harus jaga, sepertinya Dudu hobby jadi tukang jaga, dia berbakat menjadi Hansip.

“Kamu aja Wi, ayo cepet lempar!!!.” Dudu menantang sembari tersenyum penuh percaya diri.

Aku pun maju, pandanganku lurus mengunci sasaran, tumpukan genteng itu berdiri 10 langkah didepanku. Aku tarik nafas panjang, potongan genteng ditangan Aku genggam erat, perlahan ku ayunkan tanganku kemudian kulempar sekuat tenaga, potongan genteng memelesat tajam.

PRAANNGGG… Kena!!.

“Hahaha, Ayo sembunyi!!,” Andi berlari paling duluan, kami menyusul berlari kesegala arah.

Aku berlari ke arah timur samping gang rumah Pak Nano, sekejap mataku melirik ke belakang, tampak Dudu sedang berdiri sambil tersenyum, dia tidak segera merapikan potongan genteng yang berserakan, dia memperhatikan arah larinya anak-anak yang lain, curang.

“Ihhh,, ngapain sih kamu ngikutin Aku mulu??, kesana ihh jangan ngikutin.” Aku berlagak marah, Iman mengikutiku dari belakang.

“Kalau ngumpet sama yang lain Aku sering ketahuan,” Iman menunduk, kami berdua duduk dibelakang rumah Pak Nano, beruntung desa kami masih jarang orang yang membangun tembok tinggi atau memasang pagar besi untuk membatasi tanahnya, kami bebas berlarian di halaman mereka, kadang dimarahin sih.

“Ya sudah, awas kalau bikin Aku repot.”

“Siap Wii,” Iman mengangguk.

                Kami berdua berjalan perlahan sambil mengintip memeriksa keadaan, ini adalah tempat persembunyian andalanku, dari sini bisa melihat jelas ke arah halaman rumah Reni, Dudu sudah berhasil menyusun genteng, dia sedang memandangi jam ditangannya, entah taktik macam apa yang sedang dia siapkan.
               
                “Nisa tuh Nisaa … keluar aja Nis… ,” Dudu teriak kegirangan, mantra ajaib pun diucapkan,”Nisa ‘bancak’!!,” satu mangsa ditangkap. Kaki Dudu menginjak-injak batu kecil tidak jauh dari lingkaran yang terpahat ditanah tempat tumpukan genteng berada.
               
                “Yaahh,… Kok bisa tau sih ??,” Nisa keluar dari persembunyian, rambut hitamnya melambai-lambai tertiup angin, rok hitamnya ikut berkibar, tangannya mencengkeram sebungkus makanan ringan.

                “Tau dong, Hahaha,” Dudu bangga.

                Yaa bagaimana tidak ketahuan, kalau setiap sembunyi larinya ke warung Bu Ika terus. Nisa duduk diteras rumah Reni sambil menikmati keripik kentang rasa ayam barbeque, KREESS… KRESS… KRESS… bikin Dudu ngiler.

                CING KOROKOK BODOGOL CAU…
                UCING NA NGOKOK BOOL NA BAU …
               
                Nyanyain khas petak umpet pun berkumandang, itu suara Deni. Sepertinya dia bersembunyi tidak jauh dari halaman Reni, Dudu memperhatikan sekitar dengan sesama, matanya liar seperti elang mencari buruan.

                “Suara Si Deni, Wii.” Iman menepuk-nepuk punggungku setengah mendorong.

                “jangan dorong-dorong dong, entar Aku ketahuan… Aku juga tahu itu Deni!!, ,” Aku balik mendorongnya pelan.

                “Oh, maaf Wi,” Iman cengengesan, senyumnya manis.

                Sekarang Aku mengendap-endap ke belakang rumah Pak Toto uaknya Nisa, lalu berjalan tembus sampai ke jalan desa. Iman masih saja membuntutiku membuat langkahku terganggu, jantungku berdetak makin kencang.
               
                Kami berdua bersembunyi dibalik gapura didepan gang samping halaman rumah Reni, kami luput dari pengawasan Dudu.

                “ Rita!! ‘bancak’!!,… Andi!! ‘bancak’!!,… dibelakang pohon mangga ituu tadi kelihatan lari… Hahaha,” Kaki Dudu sudah ada di batu kecil lagi, dua mangsa tertangkap, sepertinya dia berbakat menjadi detektif.

                “Ahh kamu sih Rita ngikutin Aku mulu,” Andi mengeluh, dia masih memakai celana seragam sekolah dan baju hitam bergambar logo Batman andalannya.

                “Ahh kamunya aja larinya lambat,” Rita balik mengomel, baju terusan biru berhias bunga-bunga merah kecil yang dikenakannya sudah mulai kusam. Kakak adik ini selalu bermain bersama tapi tidak pernah akur, selalu saja bertengkar.

Rita mendekat kemudian duduk di dekat Nisa sementara Andi berjalan ke arah jalan, dia tidak sengaja melihat Aku dan iman sedang bersembunyi. Iman menempelkan jari telunjuk ke bibirnya.

                “Muter dong, Du… Jangan diem aja, ‘ngokok’,” Andi pura-pura sewot.

                “Santai, Ndi… sebentar lagi semua akan tertengkap olehku,” Dudu tersenyum lebar, giginya tidak rapi. Dia masih saja berdiri tak jauh dari tumpukan genteng yang harus dijaganya, matanya memeriksa sekitar.

                “Wii …!!,” Deni terengah-engah, tiba-tiba saja dia sudah ada dibelakang Iman.
               
                “Apa sih, Den… Ngagetin,” Aku pukul kepalanya pelan-pelan, kesal.

                “Bagaimana ini Wii, kita harus menyelamatkan Nisa… “ dia terlihat ketakutan, sementara Nisa… Nisa berjalan santai menyebrangi jalan desa lurus menuju warung Bu Ika tanpa melirik kepada kami yang tengah serius bersembunyi, lempeng, dia jajan lagi. Nisa kemudian berjalan lagi seperti tadi kembali ketempat duduknya sambil memegang satu keresek penuh berisi beberapa bungkus kerupuk emping, satu bungkus dia buka kemudian makan bersama Rita, dia jajan terus, Rita senang lalu ikut makan bersama. Andi mendekat berharap ditawari. Dudu tidak tertarik, dia masih asik memantau sekeliling.

                “Gini aja Den, Aku punya rencana besar nih,” Aku berkata pelan, Iman dan Deni mendekat, Aku bisikan rencana besarku kepada mereka, iyaa ini adalah rencana besar yang sangat rahasia jadi hanya Aku, Iman dan Deni yang boleh tahu.

                “Oke, Aku mengerti Wii,” Deni berlari ke belakang rumah Pak Toto menunaikan tugas besar dariku, dia mengikuti perintahku tanpa banyak tanya, dia naksir Nisa.

                “Wii… .” Iman berkata.
               
                “Apa…??.” Aku menjawab sambil membelakangi Iman, Aku harus mengawasi keadaan memastikan rencanaku berjalan dengan lancar.

                “Kalau rencana kamu gagal, Aku yang akan menyelamatkan mu, Wii.” Aku terkejut seketika berbalik ke belakang, Iman duduk di tanah memegang daun kering pohon nangka. Aku terdiam berusaha menebak apa maksud ucapan Iman tadi, bingung.

                “Deni… ‘Bancak’!!. Hahahaha,” Dudu berteriak kencang, rencanaku gagal. Gara-gara Iman Aku jadi lupa dengan rencanaku bersama Deni, urgh. Saatnya rencana cadangan.

                “Kamu diam disini, Man. Jalankan rencana ke-tiga kalau Aku tidak berhasil,” pesanku singkat, Iman mengangguk paham.

                Aku berlari mengambil jalan memutar kembali ke samping rumah Pak Nano, lalu berjalan menyusuri gang. Dudu menghadap ke arah jalan desa, Aku kemudian menyelinap ke belakang pohon mangga tempat tadi Andi dan Rita bersembunyi.

Deni pun memulai rencana kedua. Deni memandang ke arah jalan lalu mengibas-ngibas tangannya seolah sedang berkomuikasi dengan seseorang. Dudu melihat sekejap, Deni pun pura-pura diam, Dudu pun mulai curiga, rencana berjalan sesuai dengan rencana.

Dudu berjalan mendekati gapura perlahan-lahan, dia tidak mau gegabah terlalu jauh berjalan bisa berakibat fatal. Selangkah demi selangkah, matanya mencari-cari dengan seksama.
               
                Dudu semakin menjauh, ini kesempatan untukku. Aku pegang sendal jepitku, iya sendal jepit bergambar Hello Kitty warna pink hadiah dari Mamihku. Aku berlari sekuat tenaga menuju tumpukan genteng, Dudu menyadari kehadiranku, dia pun berlari berusaha menyelamatkan bentengnya.
               
Pandanganku lurus kedepan, tumpukan genteng berdiri 5 langkah didepanku nafasku memburu, sendal jepit masih Aku genggam erat, perlahan ku ayunkan tanganku, tiba-tiba ucapan Iman terngiang lagi di kepalaku…

Aku yang akan menyelamatkan mu, Wii…

Konsentrasiku buyar. Segera kulempar sekuat tenaga, sandal jepit ku memelesat tajam, dan… PLUUKK… Sandalku mendarat 2 jengkal didepan tumpukan genteng lalu memantul…

“Dwi… ‘Bancak’… !!,” Aku tertangkap, Dudu tersenyum lebar, Aku tidak beruntung.

“Wah, tinggal Si Iman nih. Hahahaha,”Kemenangan didepan mata.

“Selamatkan Aku, Man… Selamatkan Nisa, biar ga jadi jaga… .” Harapku lirih dalam hati, diikuti bermacam do’a dan permintaan.

Aku ikut bergabung dengan Nisa dan Rita, Aku ikut memakan kerupuk emping  bersama mereka. Andi maskin mendekat tapi tak berani ikut makan, Deni masih saja memperhatikan Nisa, tapi Nisa tidak menghiraukannya, makanan membuat dia lupa segalanya.

“Imaaannn,… Imaaaannnn…,” Dudu tampak bersemangat, dia tahu Iman pasti kalah cepat dibanding dirinya. Dudu mulai berani berkeliling jauh dari bentengnya, Iman target yang empuk.

Kilauan oranye mulai terlihat dilangit, hari semakin sore semakin dingin, Aku mulai lelah menunggu, sebenarnya Iman kemana sih?, Kenapa rencana ketigaku tidak juga dia laksanakan?.

“Andiii,… Rita… Ayo pulang, sudah sore, bentar lagi Maghrib!!,” Wanita bertubuh gemuk menggunakan baju tidur bunga-bunga warna putih tiba-tiba datang.

“Hmmm… Aku pulang dulu, yaa… .“ Andi pamit, lesu tak berhasil ikut makan,

“Aku juga pulang, sampai besok yaaa Kak Uwii … .” Adiknya pun pamit, dia sudah kenyang.

Dudu pun tak sanggup bertahan, akhirnya kami memutuskan bubar mengakhiri permainan dan meninggalkan tumpukan genteng dihalaman Reni, Iman dimanakah kamu, Aku khawatir.

Aku pun menyebrangi jalan lalu masuk ke gang buntu samping Warung Bu Ika, lesu karena terlalu lama menunggu. Sampailah Aku di rumah anak laki-laki itu, bocah aneh yang selalu bisa membuatku tersenyum. Pintu belakang rumahnya terbuka, Aku bisa melihat jelas, Aku bisa melihat dengan sangat jelas, dia ada disana, dia _Iman_ sedang duduk dikursi sambil makan tempe depan televisi, dia tertawa.



Aku ingin pulang.
Bandung, 15 Maret 2016

4 komentar:

  1. Kasian Dwi, patah hati perdana ya?

    BalasHapus
    Balasan
    1. entah ,, Saya belum tau mau dibawa kemana cerita ini ,,
      masih seneng ngejailin dwi n iman ,,

      Hapus
  2. OK Man, terlepas dari enaknya cerita ini diikuti, kurangnya paling adalah cara lu establish tempatnya. Kayaknya akan lebih membantu kalo lu udah punya bayangan settingnya kayak gimana, jadi pembaca ga mengawang-awang tempatnya gimana. Gw ngerasa tempat-tempatnya tuh melayang-layang tanpa ada sense jarak dan posisi.

    Mungkin bisa membantu kalo di suatu poin sebelum mereka mulai nyebar, lu deskripsiin tempat A ada di sebelah B, belakang C, kira-kira 10 langkah dari tempat mereka mulai bermain. Trus kasih landmark2 kayak pohon, bekas pilar batu, dst. Gitu aja sih dari aku.

    BalasHapus
    Balasan
    1. setuju ,,
      gw udah ada sih gambaran setting tempatnya ,, cuman lumayan susah juga buat nyeritainnya ,,
      well, mudah2an kedepannya bisa lebih baek lagi ,, :)

      makasih mass

      Hapus