“Laper, yuk!” ujar Arif dengan cengiran lebar. Menatap kami
bergantian.
“Ayuk!” Bule menyahut dengan mata masih tertuju ke
laptopnya.
“Pecel lele simpang apa sop kaki kambing depan BCA?” aku
yang melempar pertanyaan.
“Bosen, ih. Sop kaki kambing enakan jarang-jarang. Kalo tiap
hari eneg juga,” sahut Rima. Matanya juga masih tertuju ke laptopnya, “lagian
lagi ga punya duit.”
“Dwilingga?” Arif sekarang memperhatikan handphonenya.
“Hiii, najis. Mending upnormal. Masih buka gak, ya?” Rima
menyahut, “eh buka deng biasanya. Tapi gua males sama musiknya.”
Aku menyambar, “kalo gua perhatiin, mereka suka sengaja
ganti musik yang agak Pantura gitu kalau yang nongkrong di situ udah terlalu
lama. Biar mereka ga betah dan pulang.”
Bule penasaran, “oya? Lucu juga.”
“Mungkin sih. Ya udah maunya di mana?” Aku melirik jam
dinding. Jam 1 pagi, “keburu pada tutup.”
“Masak ajalah. Males keluar gua,” kata Rima. Aku memandangi
Rima, dan sepertinya yang lain juga memandangi dia tak percaya. Aku sih malas
kalau harus masak dulu, nanti pasti cucian piring menumpuk pagi-pagi dan aku
yang mencuci. Selalu begitu. Yang lain mungkin berharap Rima saja yang memasak
buat mereka, karena idenya dari Rima.
“Gw agak pengen pecel lele sih…” Arif mementahkan lagi diskusi
ini, “tapi gak mau yang di simpang, suka bau selokan.”
“Aduh gorengan jam segini. Lele ga ada gizinya, ah,” Bule
memotong pembicaraannya sendiri untuk mengetik di laptopnya. Tidak ada
tanda-tanda bahwa dia akan menyelesaikan kalimatnya.
“Bapau aja yuk! Di Cibadak,” Bule, Arif, dan Rima langsung
mengangkat kepala serentak dan memandang aku. Wajah mereka menampilkan
antusiasme. Laptop dan handphone mereka tidak penting lagi dibanding bapau
Cibadak. Semua yang lain di dunia ini bisa menunggu untuk memberi jalan pada
bapau Cibadak. Kami beranjak misuh-misuh bergegas, menyiapkan tas kecil,
mencemplungkan rokok dompet dan handphone ke tas-tas masing-masing, memakai
jaket. Aku memakai jaket oranye, Bule jaket hitam, Arief jaket coklat tua yang
membuat kulitnya makin terlihat kusam, dan Rima memakai cardigans putih-abu
yang aku yakin samasekali tidak menghangatkan.
“Pake motor gua dan Arif aja,” kata Bule, “gw ngeboncengin
Jeki, Arif ngeboncengin Rima.”
Tidak ada yang menjawab. Bagaimanapun pengaturan
transportasinya yang paling penting adalah bapau Cibadak.
Tiba-tiba kilatan cahaya menyambar dari luar dan menerangi
ruang tamu kontrakan kami, diikuti gemuruh di langit. Suara rintik-rintik air
di luar terdengar, yang tidak lama berubah menjadi lebih dan lebih ramai. Kami berhenti
bergerak, saling pandang, semuanya menganga. Hujan badai rupanya. Ramai sekali
suaranya, sampai aku tidak bisa mendengar suara perutku meminta bapau Cibadak,
yang sepertinya tidak akan bisa terpenuhi malam ini.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar