Minggu, 24 Januari 2016

[HUJAN] Bapau

“Laper, yuk!” ujar Arif dengan cengiran lebar. Menatap kami bergantian.

“Ayuk!” Bule menyahut dengan mata masih tertuju ke laptopnya.

“Pecel lele simpang apa sop kaki kambing depan BCA?” aku yang melempar pertanyaan.

“Bosen, ih. Sop kaki kambing enakan jarang-jarang. Kalo tiap hari eneg juga,” sahut Rima. Matanya juga masih tertuju ke laptopnya, “lagian lagi ga punya duit.”

“Dwilingga?” Arif sekarang memperhatikan handphonenya.

“Hiii, najis. Mending upnormal. Masih buka gak, ya?” Rima menyahut, “eh buka deng biasanya. Tapi gua males sama musiknya.”

Aku menyambar, “kalo gua perhatiin, mereka suka sengaja ganti musik yang agak Pantura gitu kalau yang nongkrong di situ udah terlalu lama. Biar mereka ga betah dan pulang.”

Bule penasaran, “oya? Lucu juga.”

“Mungkin sih. Ya udah maunya di mana?” Aku melirik jam dinding. Jam 1 pagi, “keburu pada tutup.”

“Masak ajalah. Males keluar gua,” kata Rima. Aku memandangi Rima, dan sepertinya yang lain juga memandangi dia tak percaya. Aku sih malas kalau harus masak dulu, nanti pasti cucian piring menumpuk pagi-pagi dan aku yang mencuci. Selalu begitu. Yang lain mungkin berharap Rima saja yang memasak buat mereka, karena idenya dari Rima.

“Gw agak pengen pecel lele sih…” Arif mementahkan lagi diskusi ini, “tapi gak mau yang di simpang, suka bau selokan.”

“Aduh gorengan jam segini. Lele ga ada gizinya, ah,” Bule memotong pembicaraannya sendiri untuk mengetik di laptopnya. Tidak ada tanda-tanda bahwa dia akan menyelesaikan kalimatnya.

“Bapau aja yuk! Di Cibadak,” Bule, Arif, dan Rima langsung mengangkat kepala serentak dan memandang aku. Wajah mereka menampilkan antusiasme. Laptop dan handphone mereka tidak penting lagi dibanding bapau Cibadak. Semua yang lain di dunia ini bisa menunggu untuk memberi jalan pada bapau Cibadak. Kami beranjak misuh-misuh bergegas, menyiapkan tas kecil, mencemplungkan rokok dompet dan handphone ke tas-tas masing-masing, memakai jaket. Aku memakai jaket oranye, Bule jaket hitam, Arief jaket coklat tua yang membuat kulitnya makin terlihat kusam, dan Rima memakai cardigans putih-abu yang aku yakin samasekali tidak menghangatkan.

“Pake motor gua dan Arif aja,” kata Bule, “gw ngeboncengin Jeki, Arif ngeboncengin Rima.”
Tidak ada yang menjawab. Bagaimanapun pengaturan transportasinya yang paling penting adalah bapau Cibadak.


Tiba-tiba kilatan cahaya menyambar dari luar dan menerangi ruang tamu kontrakan kami, diikuti gemuruh di langit. Suara rintik-rintik air di luar terdengar, yang tidak lama berubah menjadi lebih dan lebih ramai. Kami berhenti bergerak, saling pandang, semuanya menganga. Hujan badai rupanya. Ramai sekali suaranya, sampai aku tidak bisa mendengar suara perutku meminta bapau Cibadak, yang sepertinya tidak akan bisa terpenuhi malam ini.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar