Senin, 18 Januari 2016

Menuju Danau Toba



Udara sejuk mulai terasa saat kami memasuki kota Pematang Siantar, kota terbesar yang kami temui di sepanjang perjalanan. Lampu-lampu kota pun semakin meredup saat mobil yang kami tumpangi mulai memasuki daerah pinggiran dan melaju di antara pohon-pohon pinus. Suasana mencekam muncul ketika salah seorang kawan mengingatkan tentang sejumlah kisah mistis yang kerap terjadi pada saat melewati kawasan yang rindang ini. Namun begitu pun tidak membuat semangat kami hilang untuk segera menyapa satu keindahan di depan sana, karena hutan pinus itu menandakan bahwa kami akan segera sampai.
                Tepat tengah malam ketika kami mulai melihat dari kejauhan. Kumpulan lampu-lampu kecil yang berjajar dari atas hingga kaki bukit, terpantul di atas sebuah cermin raksasa yang sangat indah. Pak Supir pun mulai semakin berhati-hati mengendarai mobil. Ia membawa kami melalui jalan berliku di pinggir jurang yang disambut langsung oleh kolam raksasa dengan air dingin yang sangat dalam di bawah sana. Kami terus melaju mendekati pemukiman dan melewati gerbang kota. Suasana sepi dan dingin pun menyapa, hanya terdengar sayup-sayup suara musik dari lapo tuak di pinggir danau. Kami pun mencari penginapan yang berada dekat dengan pantai, agar besok pagi setelah membuka mata, kami bisa langsung bercengkrama dengan air sejuk dari danau purba raksasa ciptaan-Nya ribuan tahun lalu itu.

2 komentar:

  1. Menurut gw, lu udah mulai dengan baik. Lu langsung memasukkan pembaca ke keadaan si karakter (dalam hal ini, si narrator, jadi sudut pandangnya adalah orang pertama). Tapi kemudian, menurut gw, si karakter hanyalah jadi pelapor visual. Dia ga kerasa seperti sungguh-sungguh menikmati pengalaman dia pergi ke danau Toba, di disitu hanya sebagai robot reporter. Kalau lu pengen pembacalu tertarik ke danau Toba, lu belum berhasil, karena lu ngga menampilkan si narrator sebagai manusia yang bisa merasa.

    Menurut gw akan lebih membantu kalau lu coba mengkorporasi sensasi lain selain visual. Anginnya gimana? Sejuk? Hangat? Kering? Bau yang khas di perjalanan itu apa? Bau pinus? Bau duren? (Siapa tahu banyak yang jualan di perjalanannya), Bau kaki atau ketek temenlu? Kalau kalian berjalan di sore hari, matahari sorenya berwarna apa? Keemasan? Kemerahan? Jatuh di pipi sebelah mana? Sensasi-sensasi fisik begini sepertinya cocok untuk menceritakan keindahan yang melankolis.

    Terus, akan lebih baik kalau lu sudah memutuskan apa sifat2 si karakter sebelum mulai menulis. Apakah dia melankolis? “Matahari mulai terbenam di belakang kami, dengan anggun menutup matanya.” Apakah dia sinis? “Matahari mulai terbenam di belakang kami, terimakasih Anton untuk menyetir terlalu lambat. Mana bagus danau Toba di malam hari!” Apakah dia sedih? “Matahari terbenam di belakang kami, aku memeluk diriku lebih rapat lagi, dan mencoba menahan air mataku.” Sentuhan-sentuhan humanistic begini akan lebih membuat pembaca tenggelam dalam pikiran si narrator, jadi satu dengan si narrator, dan pada akhirnya bisa melihat sekelilingnya BERSAMA dengan narrator. Hal yang sama bisa jadi berbeda di mata tiap orang, tergantung suasana hatinya dan kecenderungan karakternya. Seru kalau lu bisa ulik dari sisi itu.

    Kalau lu pengen naratornya adalah diri lu sendiri, lu harus kenal diri lu sendiri. Bagaimana lu bereaksi dan apa yang lu pikirkan ketika dihadapkan sama berbagai hal dan komunikasikan itu ke pembaca.

    Segitu dulu. Semoga membantuuuu <3

    BalasHapus
  2. Menurut saya,, lebih kurangnya saya setuju dengan Mas Homeoerotika,,
    tambahan saja, selain harus memutuskan apa sifat2 si karakter, bisa juga diperjelas karakter2 didalam nya itu siapa saja,,
    kalau diawal dikatakan "kami memasuki kota Pematang Siantar", kata "kami" itu sebenarnya siapa ?? ,, bisa aja 5 orang sahabat, 10 orang bersaudara dll dll :D putuskan saja sendiri

    gitu aja dulu deh ,, malu ,, :)

    BalasHapus