Rabu, 27 Januari 2016

[HUJAN] Perspektif Erika

Namaku Erika, hobiku menangis, kali ini tangisanku bertemakan religi. Malam ini, adalah malam yang penuh lelehan awan yang berjatuhan di tarik gravitasi. Aku menangis, memikirkan keangkuhan dan kesombonganku kepada Tuhan. Aku hanya di kamar gelap manmfikan Tuhan, tenggelam pada kepengecutan ku sebagai mahluk fana.

Erika namaku, dialah aku yang setengah jam yang lalu sedang bergemuruh seru dalam pertarungan etika, logika, dan estetika, yang turun dari kepala penuhi dada, sesak. Aku mencoba mengaburkan pengetahuan, mencari celah turuti logika. bahwasanya Tuhan tidak suka apa yang diciptakanNya menyakiti diri sendiri. Tuhan memberikan akal, manusia lebih dicerdaskan dengan mahluk lainnya di planet ini supaya mereka bisa mengetahui tanda-tanda kebesaran-Nya, tentu saja dalam setiap situasi, gelap atau pun benderang, lapar atau pun kenyang, kemarau ataupun hujan.

Erika namaku, Manusia yang  setengah jam lalu sedang menikai Tuhan, terdominasi oleh pikiran. tadinya aku dalam keadaan baik, tidak menangis, tidak berpikir alot atau padat, suara harfiah ribuan tubrukan air hujan vs permukaan bumi tak mampu mengaktifkan sensor peka ku. Aku malahan sedang menonton acara sampah di televisi lokal, mengangkat-angkat otomatis gerahamku, menarik-narik otomatis otot pipiku, bereaksi wajar terhadap banyolan yang ditawarkan. Endorfin ku mengalir deras tanpa sadar, menyegarkan.

Eh tapi, apalah daya hamba, mengatur apa yang diinginkan Tuhan. ketika tiba saatnya klik itu hadir,, "woah hujan", aku berkata, ciri sadar akan suatu hal. Ketika pikiranku sudah sepenuhnya pada hujan,  sepaket fokus ku kemudian mundur pada "woah ini karna Tuhan nyuruh malaikat buat jatuhin hujan di area sini". Selangkah lagi benak ku mundur, "ngapain Tuhan ngirimi wilayah ini hujan?", "pasti ada kausalitasnya".. terus pertanyaan itu satu-persatu hadir, satu-persatu juga berusaha kujawab hingga aku ingat ini:

"Dialah Yang menjadikan bumi sebagai hamparan bagimu dan langit sebagai atap, dan Dia menurunkan air ("hujan") dari langit, lalu Dia menghasilkan dengan "hujan" itu segala buah-buahan sebagai rezki untukmu; karena itu janganlah kamu mengadakan sekutu-sekutu bagi Allah, padahal kamu mengetahui. (QS. Al Baqarah:22)"

aku sampai pada kesimpulan bahwa, hujan itu rahmat dan rizki Tuhan, kurasa cukup berkecimpung tenggelam pada lautan pemikiran, Aku kemudian berusaha mengambil nafas ke permukaan realita. "Sial!!!" malah realita itu menimbulkan ketidaksinkronan dengan apa yang aku simpulkan. tapi calm, aku selalu begitu, dimulai dari diri sendiri. langkah pikirku selanjutnya adalah, "lalu ngapain aku berlindung di kamar ini, harusnya aku hujan-hujanan, menyambut dan menikmati  rahmat dan rizki Tuhan". Aku merasa jadi orang yang kufur nikmat, mengkonsensus rahmat-Nya bersekongkol dengan pikiran.

Saat ini, bukan setengah jam yang lalu inilah aku Erika, Dialah manusia yang sekarang senyum-senyum sendiri, menyenyumi prihal dirinya sendiri, karena beberapa waktu yang lalu telah tenggelam dalam pemikiran konyol tentang hujan, rahmat Tuhan, dan keterbatasannya (keliru) menafsirkan ayat.

Tamat

7 komentar:

  1. Wo wow!

    Yoga, gw nyerahin ke yang lain buat komentar soal tulisan deh wkwkw, menurut gw bahasan lu dalemm-curhat *batuk

    Gw cuman keganggu ama typo dan huruf besar kecil (punten, edit gih...)

    BalasHapus
  2. gua proofreading aja deh, ga berani kritik, bawa2 ayat soalnya :))
    beberapa yang (kayanya) salah eja:
    - manmpikan -> menafikan(?)
    - Menapikan -> menafikan
    - grahamku -> gerahamku
    - endrofin -> endorfin
    - di ingin -> diinginkan
    - aku -> Aku (di depan kalimat)
    - dan -> Dan (di depan kalimat)
    - ketidaksingkronan -> ketidaksinkronan
    - menysnyumi -> mensenyumi (?)

    BalasHapus
  3. ya Alloh.. :((. siap tar saya inject in deh

    BalasHapus
  4. kelupaan, judulnya kayanya mustinya Perspektif deh Ga

    BalasHapus
  5. OK. Pertama kayaknya kita harus nentuin dulu di awal jenis tulisan kita ini apa: prosa atau puisi, karena terasa lu berjuang untuk berjalan di tengah batas antara prosa dan puisi, tapi akhirnya tidak sukses di keduanya karena setengah-setengah. Gw ga terlalu paham cara mengeditorial puisi, jadi gw komengnya dari sisi prosa aja yaw.

    Bersiaplah.

    Berilah plot, kasih alur. Ada kejadian-kejadian yang mengisyaratkan awal - tengah - akhir. Ada aksi. Erika pasti punya motivasi kenapa dia mulai merenung seperti ini. Apakah ada kejadian yang memicu? Kalau dia merasa kurang bersyukur, ada kejadian apa yang membuat dia berpikir seperti itu? Erika adalah orang yang relijius dan selalu merefleksi hal-hal dalam hidupnya dalam sudut pandang Islam. Akan lebih menarik menurut gw kalo lu kasih kejadian yang 'mengancam' posisi dia. Membuat dia ragu, sesuatu yang dilematis. Apa dia satu-satunya yang relijius di keluarganya? Apakah pacarnya berbeda agama? Gw selalu menekankan pendekatan cerita dari karakter, karena menurut gw itu adalah hal yang bisa menarik pembaca, yang akan pembaca jadikan avatar dalam dunia cerita itu. Jadi karakter matangkan dulu. Gw merasa lu masih ga tau Erika ini orangnya kayak apa (dia relijius, tapi dia masih ngatain acara tv 'sampah' atau bilang 'sial!').

    Setelah itu, mulai dari hal-hal yang familiar dulu untuk pembaca (kejadian-kejadian di dunia nyata si karakternya), baru masuk ke dalam. Karena pembaca akan bosan jika tidak ada progresi plot, tidak ada resiko yang sedang dihadapi karakter, ga ada alasan pembaca untuk peduli sama Erika.

    Terus, kyknya ga ada orang di dunia ini yang kalau lagi merenung, ngomong dalam hati "Namaku Yori". Kecuali kalau misalnya dari plot dan development, terlihat bahwa ceritanya adalah tentang keraguan eksistensialisme, di mana si karakter merasa perlu menyebut namanya sendiri dalam pikirannya. Tapi kalo dari cerita ini, gw ga tahu Erika teh kunaon, apa yang membuat dia berpikir seperti ini, apa yang dia harapkan, dan bagaimana hasilnya.

    Gitu aja kalo dari akuuuu. Cup waw <3

    BalasHapus