Sabtu, 23 Januari 2016

Siluet

Dalam lorong gelap yang sempit dua insan manusia menekuk kaki. Dalam sunyi hanya deru nafas saling memburu waktu. Kala itu senja kelam mencekam...

Bibir bergetar suara mungil bertanya, "kapan malam tiba...?"
Sang ayah menatap wajah ketakutan gadis kecilnya. Rambut pirang yang kian hilang daya tariknya itu dibelai olehnya perlahan.
"Tidak akan lama, Ayah janji,"  jawabnya separuh berbisik. Ia hanya memiliki setitik harapan untuk bisa merangkul nafas lega.

Benar saja, manusia gagal menghalau hujan yang tak kunjung reda selama 5 tahun hingga berujung bencana.
Kata mereka yang berilmu, kita tidak dapat menahan kemurkaan sang alam. Puluhan tahun penelitian pun lenyap dalam bisu bimasakti. Cerita hidup di gugusan bintang yang lain kini tinggal dongeng belaka... Langkah besar manusia terhenti di masa ini. Akhir itu memang nyata.

Era dimana segala akibat tertelan pahit pada generasinya. Dari sekumpulan pelita hidup yang mencoba bertahan, kini yang tersisa hanya seorang ayah dan anaknya yang berlindung dalam gelap. Setidaknya hanya itu yang mereka lihat dalam keterbatasan.

"Hanya tinggal kami berdua," yakin mereka, entah dibelahan dunia yang lain.

Yang mereka fikirkan saat ini sekedar melarikan diri dari sebuah siluet hitam menyerupai tangan raksasa yang terus meregut orang-orang yang dikasihinya. Figur asing itu muncul dikala terang benderang. Bagai tangan monster bayangan yang terus mengikuti mereka jika fajar berjalan beriring waktu.
Namun anehnya tangan tersebut bersembunyi disaat dunia terlelap. Hal yang tidak masuk akal itu hanya dianggap bagian dari dunia yang terus terdistorsi menuju akhir usianya.

Sebelum dunia dilahap kegelapan, dengan menarik nafas panjang sang Ayah mendekap anaknya erat.
"Akhirnya Ayah tahu kenapa tangan itu terus mengejar kita..." Ia mengecup kening buah hatinya perlahan. "Ia hanya ingin menolong kita," ungkapnya lirih serya menyerahkan anak gadisnya yang telah tertidur kepada tangan raksasa hitam.

"Saat dimana gelap hadir untuk mu dan menarik mu dari cahaya hidup yang kian terkikis..."

Dalam dingin hujan dan petir menggelegar, tangisnya pun tak terdengar. Deras air mata langit meredamkan letupan pistol yang menempel hangat di pelipisnya. Menyambut sang siluet hitam.

Dalam gelap malam, daratan terakhir mulai tenggelam... bersama tubuhnya yang tak lagi terisi.

***

2 komentar:

  1. Kalo menurut gw, semuanya cukup jelas sih: si universe, karakter-karakternya, dan konfliknya. Yang mungkin bisa dipoles adalah cara elu menjalin aksi (yang terjadi di masa kini) dan eksposisi (info mengenai universenya). Yang lu lakukan sekarang adalah meletakkan eksposisi di 5 paragraf pertama, baru masuk aksi. Saran gw coba lu balik, atau eksposisi dan aksi lu selang seling. Dahulukan karakter dan perjuangan mereka, baru ketika konteksnya sesuai, lu laburkan eksposisinya. Pembaca akan lebih tertarik jika karakter dulu diperkenalkan di tengah-tengah konflik. Ini sangat penting buat pembuka cerita dan sebagai hook pembaca karena kita akan mudah bersimpati sama manusia.

    Kalo mau dipublish, editor yang pro banget biasanya hanya mengecek 1-2 paragraf pertama untuk bener-bener mastiin ceritanya akan menarik apa ngga. Kalau mereka ga tertarik, bhay, dan naro eksposisi di paragraf-paragraf awal ga akan membantu.

    Gitu aja sih paling. Semoga bergunaaa

    BalasHapus
    Balasan
    1. Gue sempet kalap juga sih, ampe pas di word, di highlight, mana eksposisi dan mana aksi (gw baru ngeuh artinya setelah mas yori jelasin diatas, iya dulu diajarin, tapi nilai bahasa indo ga lebih dari 7 *digampar).

      Kalo tau tekniknya, kayaknya menulis bisa menyenangkan ya...

      Hapus