Dalam lorong
gelap yang sempit dua insan manusia menekuk kaki. Dalam sunyi hanya deru nafas
saling memburu waktu. Kala itu senja kelam mencekam...
Bibir bergetar
suara mungil bertanya, "kapan malam tiba...?"
Sang ayah
menatap wajah ketakutan gadis kecilnya. Rambut pirang yang kian hilang daya
tariknya itu dibelai olehnya perlahan.
"Tidak
akan lama, Ayah janji," jawabnya
separuh berbisik. Ia hanya memiliki setitik harapan untuk bisa merangkul nafas
lega.
Benar saja,
manusia gagal menghalau hujan yang tak kunjung reda selama 5 tahun hingga
berujung bencana.
Kata mereka
yang berilmu, kita tidak dapat menahan kemurkaan sang alam. Puluhan tahun
penelitian pun lenyap dalam bisu bimasakti. Cerita hidup di gugusan bintang
yang lain kini tinggal dongeng belaka... Langkah besar manusia terhenti di masa
ini. Akhir itu memang nyata.
Era dimana
segala akibat tertelan pahit pada generasinya. Dari sekumpulan pelita hidup
yang mencoba bertahan, kini yang tersisa hanya seorang ayah dan anaknya yang
berlindung dalam gelap. Setidaknya hanya itu yang mereka lihat dalam
keterbatasan.
"Hanya
tinggal kami berdua," yakin mereka, entah dibelahan dunia yang lain.
Yang mereka
fikirkan saat ini sekedar melarikan diri dari sebuah siluet hitam menyerupai
tangan raksasa yang terus meregut orang-orang yang dikasihinya. Figur asing itu
muncul dikala terang benderang. Bagai tangan monster bayangan yang terus
mengikuti mereka jika fajar berjalan beriring waktu.
Namun anehnya
tangan tersebut bersembunyi disaat dunia terlelap. Hal yang tidak masuk akal
itu hanya dianggap bagian dari dunia yang terus terdistorsi menuju akhir
usianya.
Sebelum dunia
dilahap kegelapan, dengan menarik nafas panjang sang Ayah mendekap anaknya
erat.
"Akhirnya
Ayah tahu kenapa tangan itu terus mengejar kita..." Ia mengecup kening
buah hatinya perlahan. "Ia hanya ingin menolong kita," ungkapnya
lirih serya menyerahkan anak gadisnya yang telah tertidur kepada tangan raksasa
hitam.
"Saat
dimana gelap hadir untuk mu dan menarik mu dari cahaya hidup yang kian
terkikis..."
Dalam dingin
hujan dan petir menggelegar, tangisnya pun tak terdengar. Deras air mata langit
meredamkan letupan pistol yang menempel hangat di pelipisnya. Menyambut sang
siluet hitam.
Dalam gelap
malam, daratan terakhir mulai tenggelam... bersama tubuhnya yang tak lagi
terisi.
***
***
Kalo menurut gw, semuanya cukup jelas sih: si universe, karakter-karakternya, dan konfliknya. Yang mungkin bisa dipoles adalah cara elu menjalin aksi (yang terjadi di masa kini) dan eksposisi (info mengenai universenya). Yang lu lakukan sekarang adalah meletakkan eksposisi di 5 paragraf pertama, baru masuk aksi. Saran gw coba lu balik, atau eksposisi dan aksi lu selang seling. Dahulukan karakter dan perjuangan mereka, baru ketika konteksnya sesuai, lu laburkan eksposisinya. Pembaca akan lebih tertarik jika karakter dulu diperkenalkan di tengah-tengah konflik. Ini sangat penting buat pembuka cerita dan sebagai hook pembaca karena kita akan mudah bersimpati sama manusia.
BalasHapusKalo mau dipublish, editor yang pro banget biasanya hanya mengecek 1-2 paragraf pertama untuk bener-bener mastiin ceritanya akan menarik apa ngga. Kalau mereka ga tertarik, bhay, dan naro eksposisi di paragraf-paragraf awal ga akan membantu.
Gitu aja sih paling. Semoga bergunaaa
Gue sempet kalap juga sih, ampe pas di word, di highlight, mana eksposisi dan mana aksi (gw baru ngeuh artinya setelah mas yori jelasin diatas, iya dulu diajarin, tapi nilai bahasa indo ga lebih dari 7 *digampar).
HapusKalo tau tekniknya, kayaknya menulis bisa menyenangkan ya...