Minggu, 31 Januari 2016

[KETUMBI] Aduh

Hari ini sesi olahraga saya kurang seru. Dua gerakan menggunakan clubbell  dan dua gerakan bodyweight yang masing-masing hanya sepuluh repetisi. Tumben ringan begini. Saya tidak merasakan lelah sama sekali. Dibanding Endira, Yori, Tito, Zaki, Wulan, Gio, dan empat peserta baru lain yang kelihatan kepayahan dan berkeringat luar biasa, saya mampu menyelesaikannya dengan mudah. Yah, memang saya paling senior sih di kelompok ini, tentu saja saya lebih kuat. Harusnya saya sudah disejajarkan dengan mereka yang sudah level atas, tapi sejauh ini saya selalu dimasukkan ke level nol dan satu. Aduh.

Saya ingin mengobrol dengan Jo, Kemal, dan Nico yang sudah level empat. Tapi mereka masih sibuk mengangkat-angkat beban sambil memperhatikan timer. Ah mungkin saya bisa menawarkan Nico jus buatan Dewi ke Nico ketika dia beristirahat di antara putaran.

“Nico. Mau coba jus buatan Dewi? Asik nih. Dia pakai pepaya, apel, dan bit,” saya menawarkan ketika Nico baru saja selesai membanting barnya.  Buat saya gerakan membanting beban itu hanya pamer maskulinitas, tidak perlu lah berlebihan begitu.

“Apa?” teriaknya di sela-sela usahanya bernafas, “Kamu sudah selesai putarannya?”

“Sudah,” jawab saya, “Ini mau jus, tidak?”

Nico terlihat bertanya-tanya, tapi mungkin dia terlihat seperti itu jika sedang kelelahan. “Nanti deh. Tunggu sebentar ya,” Nico terengah-engah lagi, “masih harus membereskan putaran ini nih.”

“Oke,”  Kemal dan Jo tidak berhenti mengangkat beban-beban mereka. Masih belum bisa diajak berbincang. Aduh.

Lebih baik saya cek ponsel saya saja. Aha, whatsapp dari Dewi. Saya bisa cerita bahwa jus buatannya enak. Saya ingin sekali bilang untuk tambah lagi gula sedikit saja, tapi dia pasti tidak mau. Dewi adalah orang yang termakan hype hidup sehat belakangan ini. Kurangi gula dan lemak, ganti nasi dengan kentang, buah sayur buah sayur. Sayapun jadi member gym ini karena dia. Tidak apa-apalah. Saya masih senang berpacaran sama dia. Masakannya enak.

Ada pesan juga dari grup teman-teman saya masa kuliah dulu. Mereka mengajak untuk minum-minum malam ini. Boleh juga. Mereka rata-rata sudah menikah, jadi akan jarang sekali kami menemukan waktu untuk berkumpul. Kalau saya menolak ajakan mereka, berharap bertemu mereka semua lagi akan memakan waktu lama.

Aduh. Anak-anak level satu masih belum selesai juga. Kenapa mereka payah sekali? Saya berjalan kembali ke arah Tito, yang punya tahi lalat tepat diantara hidung dan bibirnya. Jelek sekali.

“Kerja di mana, To?”

Tito berhenti di tengah gerakannya dan memandang saya dengan tatapan aneh sebelum akhirnya menjawab, “saya baru mengambil S2,” jawabnya, lalu melanjutkan mengayun-ayunkan clubbellnya.

“Oooo, bidang apa?” Saya meminum jus dari Dewi. Aduh, kurang manis, tapi segar sih.

Tito berhenti lagi dan kelihatan berpikir keras, “desain,” ujarnya pendek.

“Apa hubungannya latihan seperti ini dengan bidang yang kamu pelajari?”

Kali ini Tito tidak menghentikan gerakannya, tapi juga tidak langsung menjawab. Begitu saja kecapean. Payah.

“Yaaaa... biar sehat,” akhirnya dia menjawab. Kurang seru anaknya.

Sekarang kelihatannya Zaki yang beristirahat di sebelah Yori yang masih belum selesai-selesai juga melakukan gerakannya. Mimik mukanya sudah berantakan, antara ingin marah dan ingin menangis. Saya mengobrol dengan Zaki saja, deh.

“Mau jus?”

“Wah boleh!” sambut Zaki dengan suara kerasnya.

“Kok si Yori belum beres-beres sih gerakannya?”

“Memangnya kamu sudah?”

“Sudah, dong.”

“Kamu salah, mungkin," tuduhnya,"kamu kan terlambat datangnya, masa selesai lebih dulu? Ada tiga gerakan clubbell repetisi lima puluh, diseling dengan tiga gerakan bodyweight repetisi lima belas.”

“Oh?” Salah ternyata. Aduh. Pantas saja saya selesai lebih cepat. Tapi saya sudah terlalu malas untuk menyelesaikan semuanya. Kalau sudah begini, lebih baik saya berkemas sekarang dan bertemu teman-teman kuliah saya sekarang saja. Tidak usah pendinginan. “Benar kok saya tadi. Kalian yang terlalu lambat, terlalu santai-santai.”

Yori dan Gio membanting clubbell mereka sambil berseru. Mereka beres bersamaan. Keduanya langsung jatuh terduduk sambil terengah-engah.

“Jangan terlalu senang begitu,” saya menegur mereka, “kalian lambat dan lemah, dan saya harus menunggu lama sampai kalian selesai.” Mereka kelihatannya terlalu lelah untuk menjawab, hanya memandang ke arah saya dengan mimik yang tidak bisa saya jelaskan. Saya lebih baik pamit sekarang, sebelum kenyataan bahwa saya mengkorupsi gerakan ketahuan. Atau mungkin mereka sudah bisa menebak?


“Sudah, ah. Saya mandi dulu. Sampai Selasa,” saya bergegas ke kamar mandi mengganti baju. Aduh.

6 komentar:

  1. Btw gua boleh komentar ya Yor... IMHO, cerita2lo sejauh ini enak dibaca, secara alur juga oke, tapi kok berasa "aman" banget ya. Mungkin ke depannya bisa yang agak lebih eksperimentil begitu? :D

    BalasHapus
  2. Komentar ini telah dihapus oleh administrator blog.

    BalasHapus