TTTTTEEEEEEEEEETTTTTTTTTT...
TTTEEEEEEEEEETTTTTTTT...
TTTTTTTTTTEEEEEEEEEEEEEEEEEEETTTTTTTTTTTTTTTT...
Nada sumbang terdengar di
seantero Sekolah Dasar BHAKTIWINAYA 2, nada tak merdu yang selalu dinanti dan
kadang dibenci. Pintu-pintu mulai terbuka, bocah-bocah berlarian kesegala arah,
langit tampak ceria menyertai mereka bermain di Lapangan. Sedangkan Aku, Aku
sudah sejak sepuluh menit yang lalu keluar kelas, Bu Rita menghadiahkan kepada
kami jam istirahat lebih cepat.
“Ga ada Dwi, ga ketemu,
mungkin ga datang lagi ...”, lapor
anak laki-laki itu.
“Jangan bercanda!!, Sekarang
sudah hari sabtu, mana mungkin 5 hari tidak datang!!.”
“Aku sudah nunggu dari tadi, ga ada
... .“ raut wajahnya berubah layu.
Dia adalah anak laki-laki yang
rumahnya bersebelahan dengan rumahku, dia adalah sahaba... Eh bukan, dia adalah
bocah aneh yang selalu membuat Aku selalu tersenyum dengan tingkahnya, Iman
Syafa’at. Anak laki-laki yang hampir tiap hari aku marahi lalu diam-diam ku
rindukan.
“Kenapa ga beli batagor saja ??.”
Tiba-tiba Nisa memecahkan lamunanku dengan celetukannya, sebungkus batagor sedang
dia nikmati.
“Enek Nis makan batagor sama gorengan terus
tiap istirahat, Aku kan tidak seperti
kamu.”
“Betuuull.” Iman menyepakati.
“Ke warung Bu Haji aja beli ketan goreng, gimana??.”
“Tutup ... “ Iman menyanggah,
singkat.
“Ke kantin aja, gimana ??,” tawar Nisa.
“Tadi kita sudah kesana kan, ga
ada yang menarik.” Jawab Iman.
“Betuuull.” Giliran Aku yang
menyepakati.
“Yaa beli apa kek,
daripada membusuk di teras, bosen...
.”
“... .”
Aku tidak bisa menjawab,
kekurangan nutrisi membuat otakku sedikit lambat berpikir, apalagi bocah kelas 4
dari tadi asyik bermain lompat tali didepanku membuat aku pusing, ditambah lagi
anak kelas 3 sedang bermain kucing-kucingan mereka berlarian kesana kemari
membuat aku semakin pening. Urgh.
“Kita kedepan aja yukk, siapa tau Mang Alit datang,”
celetuk Iman.
“Yuukk!!.” Aku mengamini, senyum manisku untuk ide brilianmu itu Man.
Iman memalingkan wajah, lalu
berlari ke arah gerbang sekolah. Apa senyumanku tidak indah??.
“Tunggu Maaaannn!!!.” Aku
mengejar dia dari belakang.
“Eh Dwi, tunggu Aku ikuutt...
Dwiiiiiii !!!!.”
“Ayo cepet Nis!!.”
“Bentar... .” Nisa meraih
tanganku, kami berlari beriringan.
Dia adalah Annisa Azkiyah Nur
sahabatku dari kecil, kami sering bermain bersama sejak bayi katanya, kami
terpisah ketika keluargaku pindah rumah, namun Bhaktiwinaya mempertemukan kami kembali,
sejak itu kami selalu duduk sebangku. Tubuh kami sama-sama kurus namun badan
Nisa lebih tinggi dari Aku, kulitnya putih bersih berbeda dengan aku yang
kecoklatan gara-gara sering main layangan, rambut dia hitam panjang cantik
bagaikan model shampo di TV kontras
dengan rambutku yang bergelombang pirang tersengat matahari. Dia itu sangat
pendiam, sedikit berbicara banyak makan, hampir sempurna.
“Kita tunggu disini saja,” kata
Iman sedikit memerintah, kami ikut serta saja.
Kami bertiga duduk di pinggir
jalan tiga meter sebelah kanan dari gerbang utama sekolah, di tembok rendah
pagar sekolah yang biasa digunakan ibu-ibu murid kelas satu ngerumpi sambil menunggu anak mereka
pulang. Didepan sekolah terdapat jalan desa yang tidak terlalu ramai, jarang
terlihat mobil yang lewat, paling tukang ojek yang sering lalu lalang
mengantarkan penumpang, melaju pelan. Anak-anak bebas keluar masuk sekolah, kami
cukup beruntung sekolah memperkenankan kami jajan di luar. Biasanya sepanjang
jalan depan sekolah dipenuhi penjaja makanan dan tukang jualan mainan, kini
yang tersisa hanya Mang Dadang tukang batagor dan penjual agar-agar yang tidak
Aku kenal.
“Biasanya Mang Alit jualan
disini.” Iman membuka pembicaraan, wajahnya menoleh ke arah barat seolah
sengaja menyembunyikan matanya yang berkaca-kaca.
“Sepertinya Mang Alit Jualan ke
Kabupaten deh, kata Bapak disana sedang ada kejuaran bola voli tingkat
Kabupaten, besok finalnya.” Lanjut Iman memperpanjang pembahasan.
“... .” Nisa tidak memperhatikan,
dia sedang asyik menikmati permen kaki, batagornya sudah habis sejak tadi.
“Iya... ,” jawabku singkat, usaha
Iman tidak berhasil.
Betul, disinilah biasanya Mang
Alit jualan, di gerobak biru berbalut seng berkarat, Cilok Si Bos sebuah
tulisan warna-warni terlukis pada kaca depan gerobak. Entah apa yang membuat
cilok jualannya itu begitu enak, mungkin karena bentuknya yang bulat sempurna,
bisa jadi. Barangkali dia memasukkan ramuan rahasia pada bumbu kacangnya agar
terasa lebih lezat, mungkin. Jangan-jangan dia memasukan campuran khusus
sehingga isi cilok begitu gurih dan lumer dimulut ketika dikunyah, Aku tidak
mengerti. Atau dia menggunakan kecap spesial yang harganya mahal sehingga
ciloknya begitu menggigit di lidah, tidak, tidak mungkin, barang seperti itu
tidak mungkin bisa dia beli. Aku penasaran.
Mang Alit tidak tampan, kulitnya
legam berkeringat, baju kotak-kotak kusam dibungkus rompi hitam lusuh selalu ia
kenakan. Bos, itulah panggilan dia kepada semua pelanggan. Aku, Bos Uwi
panggilan sayangnya untukku. Nisa, biasa dipanggil Bos Ratu. Iman, Boss Kancil,
hidung Iman selalu kembang kempis kegirangan tiap kali dia dipanggil seperti
itu. Semetara dia memanggil dirinya sendiri sebagai Bos Besar padahal badannya
kerempeng.
Mang Alit sering bercerita kalau
dia ingin punya anak yang berani seperti Aku, cantik seperti Nisa, dan pintar
seperti Iman, isterinya tidak kunjung berbadan dua. Tapi sekarang jangankan
cerita, beritanya pun tidak ada, lima hari sudah Mang Alit tidak kelihatan.
Jalanan mulai sepi, suara
anak-anak yang tadi berkumpul di Gerobak Mang Dadang hilang senyap, motor roda
dua melintas dihadapan kami tanpa suara. Sinar matahari menyengat terasa dingin
di kulit, langit seakan mendung menghitam teratur. Kerikil melantunkan lagu
sunyi langutanku ke angkasa, perlahan hangat mulai terasa di ujung mataku,
pandanganku berputar.
“Dwii!!, lihat itu !!,” Aku
terperanjat, telunjuknya Nisa mengarah ke Timur sisi lain jalan. Gerobak biru?.
“... .” Iman bangkit dan berlari
seketika. Aku masih mengucek-ucek mata memastikan yang kulihat itu nyata atau
ilusi.
“Itu gerobaknya kan Wi??,” Nisa
mencoba mencari pengesahan.
“... .”
Dia semakin mendekat, Iya tidak
salah lagi itu gerobak Mang Alit, dari kejauhan Aku bisa menegaskan bahwa itu
memang gerobaknya, yakin. Penantianku terbayarkan, akan kulunasi selera makanku
yang sudah berontak dari kemarin lusa, akhirnya... .
TTTTTEEEEEEEEEETTTTTTTTTT...
TTTEEEEEEEEEETTTTTTTT...
TTTTTTTTTTEEEEEEEEEEEEEEEEEEETTTTTTTTTTTTTTTT...
Bandung, 27 Februari 2016
Saya coba mengartikan Langut lewat cerita ini,, maap kalo masih meleset ,,,
BalasHapusOkeh. Yang ini kekuatanlu mulai agak goyah. Kayaknya lu mulai pusing ketika karakternya lebih dari 2 orang ya? Suka ada dialog yang kurang jelas siapa yang mengucapkan. Tajemin itu aja kali ya. Gw rasa voice Dwi dan Iman terlalu sama karena karakter mereka hampir mirip, Nisa punya potensi voice yg berbeda tapi dia tidak diijinkan bersinar di cerita ini, sepertinya ini penyebab gw kebingungan.
BalasHapusTerus untuk beberapa saat, gw ga ngeuh ini sudut pandang siapa. Ini bisa distracting banget selama ngebaca. Kalau ceritanya panjang bisa acak2an ntar. Kurang diestablish di awal. Kalo misalnya di awal ada "aku, Iman, dan Nisa sedang duduk di bawah pohon," akan lebih jelas.
Demikian kalo dari saya. Sekian terimakasih.
okay mass :)
Hapuslumayan bingung sih buat bikin karakter 3 ,, hihihi ketauan ,,
makasih buat masukannya
Kayaknya ke depannya perlu ada pembedaan karakter Iman dan Dwi. Gawat kalo semua orang karakternya mirip.
HapusGua enjoy bacanya Man :) selamat Anda berhasil bikin tema langut yang bukan romansa :D
BalasHapus