Di seberang meja duduk lawan bicaranya. Berpakaian santai, kemeja lengan pendek berwarna biru pastel, celana khaki, dan sendal kulit buatan Jerman. Rambutnya tersisir ke belakang, klimis oleh pomade. Ia duduk bersandar sambil menyilangkan kaki. Kacamata hitam tak lepas dari wajah, padahal sinar matahari terhalangi oleh gedung-gedung di seberang jalan.
“Saya dengar keputusan Kejaksaan untuk membuka kasus anda sudah final?”
“Ya.”
“Anda tidak khawatir, Bos?”
“Kalau mereka berhasil mendakwaku, setidaknya terancam 15 tahun penjara. Tentu saja aku khawatir.”
“Wah… menyebalkan sekali ya.” Pria setengah baya itu berhenti membaca dan menengadah ke arah lawan bicaranya. Ia berdeham dan matanya menatap sinis.
“Jadi bagaimana? Anda berminat dengan proposal yang saya tawarkan?
“Saya masih belum sreg dengan syarat dan ketentuannya.”
“Ada pasal yang meragukan?”
“Tidak juga. Saya hanya merasa perlu membaca setidaknya satu kali lagi, agar tak ada pasal atau klausul yang luput dari pengamatan.”
“Sepertinya anda termakan rumor yang beredar, Bos. Anda kan tahu, di zaman media sosial seperti sekarang, berita tidak jelas pun menjadi viral. Asal pas bumbunya.” Si pria setengah baya mengacuhkannya. Sebagai seorang politisi senior, ia sudah biasa dengan rumor.
“Saya sudah melakukan bisnis ini lama sekali. Inti dari penawaran saya sederhana saja. Saya punya aset yang saya tahu Bos inginkan. Sementara, Bos memiliki persis apa yang saya butuhkan. Pasal-pasal di sana hanya tetek bengek yang memastikan bahwa lingkup perjanjian kita tidak menjalar kemana-mana,” pria itu memperbaiki posisi kacamata hitamnya. “Sungguh, pasal-pasal itu lebih banyak berisi tentang perlindungan klien. Bisnis kami berbasis kepuasan klien, Bos,” sambungnya, mengongkang-onkang kaki.
“Ya, anda boleh berkata seperti itu. Tetapi anda juga tentu sudah tahu reputasi anda di masyarakat. Saya akan bodoh sekali bila tidak berhati-hati,” jawab si politisi sambil terus meramban baris demi baris kata-kata di kertas.
“Begini, Bos. Saya rasa kita tak perlu terlalu lama bertele-tele,” pria itu membuka kacamatanya. Matanya yang sayu menatap lurus ke mata si politisi. “Anda punya keinginan. Sama juga seperti saya. Saya yakin anda tahu persis isi perjanjian ini,” ujarnya sambil menekankan jarinya ke kertas. “Saya bahkan telah menjabarkan bonusnya. Bonus yang hanya ditawarkan ke orang-orang seperti anda.” Ia lalu mencondongkan badannya ke depan, “jadi saya akan tanya sekali lagi: are you in, or are you out?”
Si politisi menutup map yang mengamplopi kertas-kertas tadi. Ia memandang langit kota yang memerah oleh senja yang merekah. Entah apa yang dicarinya di sana. Bila akan jaminan keabsahan niat si pria berkacamata, jelas dia salah alamat. Tatapannya bergerak ke sana ke mari. Wajahnya berlipat, sesekali tangannya mengusap dagu, sesekali merubah posisi duduk.
Beberapa saat kemudian ia mendapatkan keputusan. Diulurkannya tangan ke depan, yang dengan segera disambut oleh jabatan erat pria di depannya. Satu lagi perjanjian bisnis yang sukses berhasil dikantongi.
Pria berkacamata itu tersenyum lebar sambil meneguk secangkir triple espresso. Aku yakin si politisi mengerti sepenuhnya masalah yang ia telah undang. Tetapi dalam kondisi buah simalakama, keuntungan seperti apa pun tidak boleh dilewatkan.
Lima tahun kemudian.
Si politisi tengah bersantai di vila pribadinya. Hari itu udara pegunungan sangat sejuk, nisbiah untuk daerah tropis seperti ini. Aroma yang menyebar dari pepohonan pinus menggelitik hidung. Rumput masih basah oleh kabut yang perlahan menguap diusir mentari tengah hari. Suara burung-burung di pucuk pepohonan bersaing dengan suara musik dari pemutar piringan hitam dan dengan cekikikan gadis-gadis berpakaian minim yang lalu lalang di sisi kolam renang. Vila ini dibangun seorang gubernur jenderal di masa kolonial. Aslinya tidak memiliki kolam renang, tetapi atas permintaan si politisi sebuah kolam dibangun tiga tahun lalu. Agar lebih meriah, ungkapnya. Ya, tentu. Yang jelas sejak kolam ini selesai, aku tak pernah lagi melihat keluarga si politisi berkunjung ke vila.
Seorang gadis berkulit putih bagai pualam yang tubuhnya hanya ditutupi dua lembar kain tipis mendekatinya sambil membawa telepon genggam. Dengan senyuman dan kerlingan ia menyerahkannya pada si politisi. Bak penari ia membalikkan badan dan melenggak-lenggok ke arah kolam. Tempat ini memang penuh dengan keindahan. Pantas saja bisnis temanku tidak pernah seret.
“Halo, Karina.”
“Ya, Pak. Saya masih baru saja turun dari heli, Pak. Sekarang sedang di mobil menuju ke vila.”
“Oke, bagus. Untunglah kamu bisa menyempatkan datang. Saya tahu kamu baru mengambil cuti liburan tiga hari lalu.”
“Tidak masalah, Pak. Bapak kan mengerti saya, tidak bisa tenang selama liburan. Terus menerus memikirkan masa kampanye yang tinggal dua minggu lagi,” jawabnya penuh semangat. Tulus atau tidak, aku tak mampu memastikan.
“Baiklah, saya tunggu di vila.”
Ia merebahkan badan dan memejamkan matanya. Dengan jentikan jari, dua orang gadis yang sedang duduk-duduk di tepi kolam mendekat. Aku bagai menyaksikan penampilan virtuoso kala jari-jari mereka yang lihai mengoleskan losyen, mengusap, membelai, dan melemaskan otot dan urat yang tegang pada tubuh pria tua itu.
Deru mesin dan suara ban mobil yang melindas kerikil membuyarkan lamunannya. Ia meraih kimono putih tebal yang ada di meja dan berjalan masuk ke dalam ruang kerja. Di sana direktur kampanye sudah berdiri menunggu. Nafasnya sedikit terengah-engah tetapi wajahnya sumringah. Sebuah koper besar teronggok di dekat pintu.
“Bagaimana liburannya, Pak?” ujarnya membuka percakapan.
“Lumayan. Bagaimana Rio?”
“Wah ramai sekali, Pak. Penuh dengan turis. Saya lebih banyak menghabiskan waktu di kamar, merancang strategi kampanye dan berkoordinasi dengan pasukan media sosial kita.”
“Bagus, bagus. Bagaimana dengan nyonya besar?”
“Tim saya sudah menanganinya sesuai dengan pesan Bapak. Ibu dan anak-anak baru tiba di St. Moritz. Kami sudah berkoordinasi dengan polisi setempat agar menjauhkan pers dari keluarga Bapak.”
“Oke. Penting sekali bagi saya untuk berkonsentrasi pada kampanye tanpa gangguan nyonya besar,” matanya melirik ke arah kolam renang.
“Tentu saja, Pak. Tentu saja.”
Politisi senior itu menduduki kursi di belakang meja kerjanya yang sangat besar. Pada dinding di belakangnya tergantung sebuah lukisan portret setinggi tiga meter. Di sana tampak ia berdiri menggunakan seragam kebesaran, lengkap dengan segala regalia, dengan latar belakang keindahan alam negaranya.
“Karina, silakan duduk.” Perempuan itu tergopoh-gopoh mendekati kursi di hadapan si politisi. Sedikit terhuyung-hutung. Masih jetlag sepertinya. “Ada sesuatu yang sangat penting yang hendak saya bicarakan.”
“Masalah elektabilitas, Pak?” air mukanya cemas.
“Ya, salah satunya. Saya benar-benar khawatir mengenai hal ini. Dalam tiga bulan terakhir, elektabilitas saya selalu kalah jauh dari si keparat. Rata-rata tertinggal 25%.” Mendengar hal itu Karina semakin gelisah.
“Pasukan media massa dan media sosial kita sudah dikerahkan untuk menyebar propaganda, Pak.”
“Saya tahu. Tetapi sejak si Jaksa Agung Muda idealis itu berkoar di media bahwa dia akan membuka kasusku dari lima tahun lalu, semua tindakan kita bagaikan tong kosong. Apalagi tadi pagi ia baru saja sesumbar di akun media sosialnya bahwa besok akan membawa bukti-bukti baru ke Kejaksaan.” Sang direktur kampanye menunduk semakin dalam. “Kamu tahu artinya bila kita kalah?”
Karina, sang direktur kampanye, adalah mantan sukarelawan yang paling vokal saat si politisi mencalonkan diri lima tahun lalu. Imbas dari kemenangan jagoan yang dielu-elukannya, konglomerasi keluarganya mendapat durian runtuh. Berbagai kontrak pemerintah dilimpahkan ke mereka. Mulai dari pembangunan jalan tol, pengadaan kapal-kapal berat, hingga impor vaksin bagi seluruh rumah sakit di pelosok negeri. Dengan perpanjangan tangan-tangan kekuasaan si politisi dan mesin propaganda raksasa Karina di belakang mereka, sama sekali bukan hal yang sulit untuk menggiring opini masyarakat. Mengalihkan tatapan mata publik ke arah lain sudah bagai permainan anak-anak.
Ancaman kekalahan di pemilihan berikutnya berpotensi menjungkirbalikkan fondasi kekuasaan dan menghentikan perputaran roda propaganda yang telah mapan. Dan Karina memiliki banyak rahasia yang harus tetap terkubur. Jauh di dalam tanah, jauh dari endusan publik.
“Apa yang harus saya dan tim lakukan, Pak?”
“Begini. Saya telah memikirkan hal ini selama beberapa hari terakhir. Saya rasa saya tahu orang yang dapat membantu kita keluar dari masalah,” jawab si politisi. Matanya menatap tajam ke arah Karina.
“Siapa, Pak? Biar saya hubungi sekarang juga.”
“Kamu tidak mengenalnya,” Karina sedikit terkejut. “Saya akan pertemukan kamu dengannya nanti. Tetapi sebelum itu, saya ingin kamu melakukan sesuatu untuk saya. Sebuah permintaan pribadi.”
“Tentu saja, Pak. Apa saja, Bapak tinggal sebutkan,” jawabnya tergesa-gesa.
“Orang yang saya ceritakan ini, dia memiliki pengaruh yang luar biasa. Saya sangat yakin, dengan bantuannya kita mampu lolos dari masalah elektabilitas yang sedang kita hadapi.” Karina memperbaiki posisi duduknya dan memperhatikan dengan seksama. “Pria ini membantu saya keluar dari masalah tuntutan hukum lima tahun lalu.” Si politisi mengeluarkan sebatang cerutu dari dalam laci. “Namun sebagai akibatnya, saya berhutang banyak. Sementara itu,” ia menyalakan cerutunya, “kamu tahu sendiri bahwa arus keluar-masuk asetku saat ini sedang diawasi secara ketat. Saya tidak dapat meminta bantuannya lagi sebelum…”
“Maaf bila saya lancang memotong, Pak. Saya rasa saya tahu arah pembicaraan ini. Tentu saja saya siap, Pak. Berapa pun besarnya hutang tersebut, saya yang akan menanganinya,” ujarnya berapi-api.
“Kamu yakin? Hutang ini sangat besar. Memang, bantuan darinya akan sangat sepadan. Sangat, sangat sepadan.”
“Bapak tidak perlu meyakinkan saya lagi. Bapak berikan saja nomer kontaknya, saya yang akan menangani selanjutnya,” jawab Karina mantap.
Konglomerasi keluarganya tiga tahun berturut-turut berada di Forbes 500, rekening pribadinya tersebar dari Geneva hingga Pulau Cayman, tentu Karina dapat menjawab permintaan si politisi dengan percaya diri. Lagi pula apa gunanya semua aset tersebut bila nanti dibekukan oleh rezim pengganti. Lebih baik berkorban sekarang untuk mendapatkan untung yang lebih besar di kemudian hari, mungkin begitu pikirnya. “Berapapun biayanya akan saya sediakan. Kelanggengan kepemimpinan Bapak adalah tujuan hidup saya,” tambah Karina. Dalam benak ia mengira-ngira besar hutang si politisi serta mengalkulasi aset-aset apa saja yang harus ia korbankan. Lamunannya dibuyarkan oleh suara ketukan di pintu. Saat pintu terbuka, seorang pria dengan kemeja merah muda dan celana kargo selutut sudah berdiri di sana.
“Halo, Bos!”
“Halo. Silakan masuk.”
“Halo, sepertinya kita belum berkenalan,” ujar pria itu sambil mengulurkan tangan ke arah Karina.
“Karina, direktur kampanye Pak…”
“Ah, tentu saja,” pria itu menyambut tangan Karina dan mencium punggun tangannya dengan lembut.
“Ini, Karina. Calon duta besar saya di periode berikutnya,” sambung si politisi sambil sedikit menyunggingkan senyum, berusaha mencairkan suasana. Ia berjalan mendekati kabinet yang berisi beberapa botol minuman. “Saya tadi baru saja berdiskusi dengan Karina. Dia setuju untuk mempergunakan asetnya untuk membayar hutang saya kepadamu.”
Dari perubahan mimik wajahnya, pria itu terlihat agak kaget. Ia masih memegang tangan Karina saat menoleh ke arah si politisi. “Begitu?” ujarnya.
“Ya, saya setuju untuk menggantikan beliau melunasi hutangnya pada anda,” ucap Karina tegas. “Sebagai pendukungnya yang paling setia, saya seratus persen berkomitmen pada keputusan ini. Secepatnya tim pengacara dan akuntan saya akan segera menghubungi anda, memformalkan perubahan kontrak.”
“Tidak perlu, nona. Saya melihat mata anda yang begitu indah, saya tahu anda orang yang dapat dipercaya. Yang saya butuhkan hanya persetujuan verbal dan jabatan tangan anda,” ujar pria itu, senyum masih tersungging di bibir.
Karina mengulurkan tangannya dengan sigap. Pria itu melirik pada si politisi yang hanya menatap dari jauh dengan raut wajah dingin. Si politisi meneguk sekaligus minuman di gelasnya. Saat ia menggengam erat tangan Karina, matanya sekilas tampak bersinar. Tapi kurasa cuma aku yang bisa melihat itu. Karina sendiri sedikit terkejut oleh betapa dingin tangan yang ia genggam. Pikiran yang masih diselimuti oleh berbagai masalah kampanye membuatnya segera menepis keanehan tersebut.
“Nona cantik, anda tidak perlu lagi pusing memikirkan masalah kampanye,” ujar pria itu.
“Baiklah. Terima kasih, Karina. Sekarang ada yang hendak saya bahas dengan teman saya ini,” ujar si politisi.
“Tentu saja, Pak,” jawab Karina. Seiring kakinya melangkah menuju pintu, Karina merasakan suhu ruangan drastis berubah menjadi sangat dingin. Ia menatap ke luar, mentari masih bersinar cerah. Mungkin cuma thermostat yang bermasalah, gumamnya dalam hati.
“Saya tahu kamu seorang politisi yang licin. Tetapi mengkhianatinya seperti itu… Wow, saya terkesima, Bos,” ujar si pria sesaat setelah pintu kembali tertutup.
“Kamu sendiri yang menulisnya di kontrak yang kamu sodorkan lima tahun lalu,” jawab si politisi singkat.
“Dari awal saya sudah merasakan bahwa anda adalah pelanggan yang spesial. Jarang sekali ada yang membaca tumpukan pasal-pasal itu,” sang pria tertawa kecil. Sang politisi kembali duduk di kursinya.
“Lalu, mengenai bonus yang kamu tawarkan?”
“Kita baru saja menutup satu bisnis dan anda sudah hendak membahas bisnis baru. Santai sedikit lah,” pria itu menjatuhkan badannya ke sofa besar di sudut ruangan. “Tentu. Seperti ucapan saya dulu, bisnis ini mementingkan kepuasan klien. Saya tidak pernah mengingkari janji. Tidak pernah. Anda akan segera mendapat tambahan keuntungan pasca perjanjian yang baru kita tutup tadi.”
“Baiklah. Lalu, mengenai atasan anda?” tanyanya hati-hati.
Pria itu tertawa lantang, bagai telah menunggu-nunggu pertanyaan tadi. “Jawaban saya masih sama. Beliau tidak suka kepadamu, Bos. Nilai merahmu terlalu banyak. Tidak ada peluang sama sekali ia akan meloloskanmu. Tapi,” pria itu mengambil jeda sejenak, “mungkin saya bisa menawarkan bisnis baru lainnya.”
“Maksudmu?”
“Saya tetap memberikan bonus sesuai yang telah dijabarkan di perjanjian awal kita dulu, efektif mulai detik ini: anda akan terpilih untuk periode kedua,” gelegar guntur terdengar dari balik jendela tepat di akhir kalimat pria itu. Ya, petir di siang bolong. Temanku itu memang teatrikal.
“Mengenai bisnis baru yang kau sebutkan barusan?”
“Bila anda bisa membawa lebih banyak orang lagi untuk menyerahkan jiwanya padaku, seperti yang baru saja anda lakukan pada gadis malang tadi…”
Di sini pria itu tiba-tiba menghentikan kalimatnya. Ia mengeluarkan arloji bandul dari dalam saku celananya. Sambil menatap arloji, ia mengangkat tangannya. Tak lama kemudian, ia mulai menghitung mundur menggunakan jari-jarinya.
“Lima, empat, tiga, dua, satu.” Berselang sekitar satu detik dari kata terakhir tadi, sayup-sayup terdengar suara menggelegar dari kejauhan. Kali ini bukan petir. “Helikopter yang ditumpangi Karina baru saja menabrak tebing,” pria itu menekuk wajahnya, membuat mimik sedih. Ia memasukkan arloji ke dalam saku. Si politisi hanya duduk membisu. Wajahnya pucat, cerutu di tangannya hampir saja jatuh.
“Sampai di mana tadi? Oh ya, bila anda dapat terus menyuplai saya dengan jiwa-jiwa malang, maka tim kami, yang tersebar di seluruh benua dan samudera, akan menjamin bahwasanya semua kemewahan, semua kesenangan, semua gadis-gadis muda, semua Chardonnay, Merlot, dan Chianti yang anda cintai, vila-vila besar di kaki gunung seperti ini, mulai dari Patagonia hingga Carpathia, akan selalu tersedia bagi anda. Kamu memang tidak akan menuju ke atas,” tangannya menunjuk ke langit-langit, “tetapi setidaknya Bos bisa menikmati tempat ini sembari menunggu tujuan akhir.” Ia membalikkan tangannya, telunjuknya mengarah ke lantai. “Jadi, sekali lagi, are you in or are you out?”
Politisi setengah baya itu bangkit dari kursinya. Ia menghisap cerutu dalam-dalam, lalu mematikannya di asbak bersalut emas. Ia berjalan menghampiri si pria, “bila itu tujuan akhir saya, tentunya akan lebih baik bila saya membawa banyak teman.” Dan ia pun mengulurkan tangannya.
“Haha, saya tahu anda memang pelanggan yang cerdas,” pria itu bangkit dari sofa, menyambut tangan si politisi dan menjabatnya erat. Ia lalu melangkah ke arah pintu keluar.
“Bos, selera anda bagus. Saya sangat menyukai vila ini. Dulu saya pernah mengunjungi sang gubernur jenderal yang membangunnya. Tak terkira berapa ribu jiwa-jiwa malang yang ia kirimkan kepadaku. Nanti saya akan kenalkan anda padanya. Kalian berdua pasti cocok. Sampai bertemu lagi!”
Si pria misterius itu menutup pintu. Suara menggelegar dari luar jendela mengiringi tawanya yang masih terdengar dari balik dinding. Sebuah petir menghujam bumi tidak jauh dari komplek vila mewah sang politisi. Awan mendung besar bergulung-gulung menyusuri punggung pegunungan. Gadis-gadis muda dari kolam renang tertawa-tawa kecil, berlarian masuk ke dalam ruangan kerja si politisi untuk menghindari gerimis.
Tak berselang lama hujan berubah deras. Sederas keuntungan bisnis temanku selama beberapa ribu tahun terakhir. Bangsa manusia, kalian memang selalu jatuh pada lubang-lubang yang sama.
Ini well done banget om. Captivating banget, dan twistnya lembut sekali. Enak banget. Tadinya gw sempet bingung kenapa naratornya bersikap seakan POVnya orang pertama, tapi tapi memiliki kemahatahuan. Tapi, dari ceritanya, it doesn't matter anymore. Gw ga perlu tahu dulu 'aku' di sini perannya siapa dan bagaimana dia ada dalam scenenya. Cakep om. Sungguh terampil. 5 bintang!
BalasHapusaak... ternyata sudah judgement day!
BalasHapusterima kasih, mastah! semua ini berkat bimbingan mastah semata. *bow* *salam kungfu*
Setuju sama Yori, well crafted. Ada satu bagian yang bikin kepikiran agak lama: "Jawaban saya masih sama. Beliau tidak suka kepadamu, Bos. Nilai merahmu terlalu banyak." siapa yang lagi diomongin sang Makelar ini? Atasan yang mana? Meloloskan untuk apa? But as Yori said, in the end it doesn't really matter.
BalasHapus