“Maya!” Aku berteriak memanggil namamu. Kau menoleh.
Kau tersenyum saat membalas panggilanku. “Danan…,” ujarmu pelan.
Aku kini berdiri tepat di depanmu. Kuraih dan kugenggam tangan-tangan halus itu.
“Maya, jangan pergi.”
“Danan,…”
“Maafkan aku, Maya. Maafkan aku yang begitu bodoh selama ini, tak menyadari bahwa kamulah yang paling berharga dalam hidupku.”
“Sayangku, Danan. Apakah kamu yakin, aku yang kamu inginkan?”
“Ya, Maya. Tentu!” Aku setengah memekik, berusaha agar suaraku tak tertelan tiupan angin laut dan deru mesin kapal.
Dapat kurasakan bulir-bulir air mata menetes. Mengingat satu-satunya hal terbaik dalam hidupku yang tak berarti ini adalah dirimu. Mengingat bahwa aku sempat berpikir untuk melepaskanmu. Kau adalah bagian terbesar jiwa ini, Maya.
“Tapi kamu akan meninggalkan semua yang kamu miliki. Aku tak mau merenggut semua itu darimu, Danan,” kau meremas tanganku, seolah tak ingin pernah kulepas lagi.
“Semua yang kumiliki saat ini tiada artinya. Aku mengerti itu sekarang. Hidupku, duniaku, semuanya. Tiada artinya tanpamu, May.”
Aku berlutut di depanmu. Kukeluarkan sebuah kotak kecil dari balik jaket. Kau tutup wajahmu dengan tangan. Air matamu mulai menetes. Lalu kuucapkan kalimat yang seharusnya kuucapkan bertahun-tahun lalu.
“Maya, aku tak ingin menghabiskan hari-hari tanpa dirimu di dalamnya. Saat aku tua nanti, aku hanya ingin kamu yang menemaniku. Maya, jadikanlah aku suamimu.”
Kabut malam semakin tebal. Udara tiba-tiba menjadi begitu dingin. Aku merasakan tanganmu perlahan terlepas. Sosokmu menghilang di balik kabut. Lampu-lampu dermaga satu-persatu mati.
“Maya!” aku berteriak-teriak dalam kegelapan. “Maya! Jangan pergi!”
Aku bersimpuh di pelataran yang mulai basah oleh gerimis. Kegelapan dan dingin menyelimuti. Aku tak dapat melihatmu, aku tak mendengar suaramu, aku tiada lagi mencium aroma tubuhmu.
“Maya!” Aku berteriak berkali-kali hingga kerongkonganku pedih. Nafasku sesak. Lalu semua kelam.
“AAAAH!” Aku terbangun tiba-tiba, terduduk. Selang infus di tangan sampai tercabut dari jarumnya. Udara ruangan ini begitu dingin tetapi tak menghalangi peluh membasahi sekujur tubuhku.
“Hey, bung! Apa yang kau lakukan? Kenapa kau mencoba mengubah alur? Kau bisa gila!” seorang pria menghardik sembari melepas alat di kepalaku.
Aku berusaha mengatur nafas. Jantungku masih berdebar. Aku melihat sekeliling. Ini bukan dermaga. Sebuah ruangan gelap yang penuh sesak oleh monitor digital. Peralatan medis bekas tergeletak di mana-mana.
Maya... hatiku begitu perih.
“Nyalakan lagi! Aku belum selesai!” Aku membentak.
“Bung, prosedur pembangkitan memori ini tidak boleh dilakukan lebih dari satu kali per 48 jam. Kau juga sudah tahu itu,” ia terus membereskan peralatannya. “Kurasa kau terlalu sering mengunjungi masa lalu, otakmu jadi tidak beres.”
Tidak. Aku harus kembali. Ingatan itu semakin memudar. Aku dapat merasakannya. Aku harus memutar baliknya sekarang juga.
“Nyalakan lagi kataku!” Aku mencoba merebut alat itu dari genggamannya.
“Tidak! Kau masih berhutang untuk lima sesi terakhir! Bayar dulu baru kau bisa mengunjungi pelacurmu itu lagi.”
Aku terbelalak. Aku dapat melihat senyum mengejek di wajahnya. Bajingan itu meretas otakku. Membongkar isi kepalaku. Membajak kenanganku.
Aku mengambil pena di atas meja. Serta merta kutancapkan di tengkuknya. Ia roboh seketika.
Kutarik alat itu dari tangannya yang menggelepar dan kupasang kembali di kepala. Kutanamkan infus. Sekaligus kumasukkan lima buah ampul ke dalam alat pengatur pelepasan. Tak kuhiraukan dering peringatan. Tak kuhiraukan pria itu meregang nyawa di lantai. Aku merebahkan diri di dipan dan kutekan saklar.
Maya. Tunggu aku. Kali ini aku tak akan melepaskanmu.
hmmm
BalasHapusJadi memperbaiki masa lalu hanya dalam memori saja??? THATS UTTERLY SAD :( Dari segi bercerita tidak ada masalah, semuanya cakep. Sentuhan overmelodramatiknya juga gw suka, menekankan ketidaknyataannya. Sebenernya gw pengen bikin dialog kayak gitu. Huh keduluan.
BalasHapusKalau saya sih yes ya.
iya.. over banget ya dialog awal.. :)) gw pengen bikin kayak adegan perpisahan Humphrey Bogart di bandara di pelem Casablanca.
HapusNuhun sudah meluangkan waktu membacanya, mastah... *menjura*