Minggu, 28 Februari 2016

[AYAH] Ayah



"Pada awalnya adalah Kehendak."



Ia ada di sana ketika Waktu bermula. Ketika Ayah memisahkan atom-atom. Ketika elemen-elemen saling bereaksi untuk pertama kalinya, ketika hukum-hukum alam ditetapkan. Ia menyaksikan saudara-saudaranya diciptakan untuk mengabdi, tanpa kehendak. Ketika Ayah memberinya sebagian kecil kehendakNya kepadanya dan bukan yang lain, ia tahu: ia istimewa.

Selama waktu yang tak terkira panjangnya hanya ada gelap. Hanya kehendak, bisikan-bisikan Ayah dan proses penciptaan. Proses patuhnya elemen-elemen kepada hukum tertinggi yang Ayah ciptakan untuk mereka. Kemudian mereka berputar, mendekat, mengelompok, menggumpal, bercahaya. Bintang-bintang lahir satu-persatu, dan dari rahim mereka planet-planet.

Ia mencermati bagaimana kehidupan lahir.. ketika beberapa dari elemen tersebut bereaksi membentuk protein-protein, kemudian menjelma menjadi sel. Bagaimana sel-sel tersebut saling bekerjasama, dan makin khusus dalam berfungsi. Ia juga menyaksikan bagaimana kehidupan mengalami pasang surut, bagaimana pada suatu titik kehidupan meledak dalam jenis dan jumlahnya, dan bagaimana ia hampir lenyap punah dihempas berbagai macam ujian dan bencana.

Dalam waktu yang tak terperi ujung-ujungnya, satu pertanyaan terus bergaung di benaknya, "untuk apa aku ada?"

Satu kehidupan yang menarik perhatiannya lebih dari yang lainnya. Salah satu kehidupan yang muncul di sebongkah planet yang kemudian mereka sebut Bumi. Dan ia tahu, bukan hanya ia yang tertarik atas mereka. Ia tahu Ayah juga menaruh perhatianNya atas mereka. Pada suatu ketika, ia merasakan sesuatu yang berbeda dari mereka, dari tindak-tanduk mereka. Setitik kesadaran timbul padanya: Ayah memberikan kehendak kepada mereka, Ia meniupkan sebagian diriNya ke dalam mereka.

Ia tidak lagi istimewa.

Ketika itu, -- yang seperti kemarin baginya-- lahir sebuah perasaan padanya yang baru ia pahami lama setelahnya. Ia cemburu.

Makhluk-makhluk itu menarik seluruh perhatiannya. "Apa yang istimewa dari mereka? Mengapa Ayah memberikan kehendak kepada mereka?" Ia menyaksikan pembunuhan pertama yang mereka lakukan atas sesamanya, dan sebuah niat terlahir di tepi-tepi pikirannya, "Aku yang akan melakukan pembunuhan terakhir atas mereka."

Ia memerhatikan bagaimana mereka menemukan api dan menggunakannya sebagai penyangga kehidupan dan sebagai penghancurnya. Bagaimana mereka merumuskan bahasa. Bagaimana sebagian dari mereka berjalan menjauh dari tempat kelahirannya. Berkelana, berpetualang, menaklukkan. Bagaimana mereka menciptakan alat-alat untuk membantu lengan-lengan dan kaki-kaki mereka yang lemah. Bagaimana mereka menjahit pakaian-pakaian untuk membalut tubuh-tubuh ringkih mereka.
Ia menyaksikan mereka berkelompok, berbagi beban. Ia menyaksikan mereka mendirikan rumah-rumah. Menyaksikan bertahannya desa-desa dan berkembangnya kota - kota. Ia menyaksikan bangkit dan runtuhnya kerajaan dan peradaban. Ia menjadi saksi bagaimana mereka berperang, bercinta, mengabdi, berkhianat. "Aku akan buat mereka menderita."


Semakin lama ia melihat mereka, makhluk-makhluk lemah itu, semakin besar kecemburuannya. Seperti biji yang ditanam dan terus dipupuk, kecemburuan itu tumbuh menjadi tunas yang beracun. "Bangkai-bangkai mereka akan menjadi singgasanaku."

Ia menunggu, menimbang waktu yang tepat, menyusun rencana. Pohon cemburu yang tertanam sekian lama tumbuh dan berbuah kebencian. Kebencian yang akan ia petik pada saat yang tepat. Tanpa ia sadari, di dalam buah-buah itu, amarahnya menyublim. Perasaannya yang abstrak tanpa bentuk, dalam miliaran tahun perlahan mengambil ujud. Menjadi abdi-abdi yang setia pada setiap kehendaknya.

Ia tahu, sebelum ia bisa membinasakan makhluk-makhluk hina itu, ia harus mencari cara untuk merobek tabir yang dihijabkan Ayah yang memisahkan dia dan mereka.

***

Di awal tahun 2016 Sekelompok ilmuwan dari LIGO (Laser Interferometer Gravitational-Wave Observatory), Caltech, menemukan bukti-bukti adanya gelombang-gelombang gravitasi. Sebuah "ramalan" Einstein yang dicetuskan sekitar seratus tahun sebelumnya. Model matematika Einstein menyatakan bahwa ruang-waktu bergelombang mengikuti pergerakan massa di dalamnya, massa itu menarik dan mendorong ruang-waktu serupa katak yang berenang di kolam, atau batu yang dilempar ke permukaan air. Ruang-waktu mengalami muai-susut, dan riak-riak ruang-waktu dapat terjadi. Pertanyaannya yang muncul kemudian adalah: lalu berikutnya apa?

Prof. Charles McKeever dan timnya adalah sekelompok ilmuwan yang memulai riset untuk menjawab pertanyaan itu. Mereka berniat menggunakan fakta-fakta dan data-data yang baru untuk mendorong batas-batas ilmu pengetahuan. Kalau ia bisa memiliki riak seperti air ketika sebuah benda dilempar ke dalamnya, apa yang terjadi pada jalinan ruang-waktu apabila benda tersebut memiliki massa yang cukup besar sehingga bukan hanya riak yang terbentuk, tapi juga cipratan? Apakah jalinan ruang-waktu dapat dirobek? Riset yang sudah berjalan beberapa tahun ini mulai menunjukkan titik-titik terang.

Teleponnya berdering saat ia sedang menikmati makan malam bersama keluarganya untuk merayakan ulang tahun pernikahannya. "Charlie, kau di mana? Bisa datang ke lab? Ada yang harus kau lihat. Seluruh tim sudah dihubungi, Mina, Mike, Andy dan aku sudah di sini," suara Linda Esposito, professor astrofisika, salah satu anggota timnya terdengar di ujung sana.
"Ada apa? Aku sedang makan malam bersama Rita dan anak-anak. Apa tidak bisa tunggu sampai besok?"

"Sayangnya aku tidak bisa menjelaskannya padamu lewat ponsel, Kapten, kau harus datang sendiri ke sini kalau kau mau melihatnya," suara Linda terdengar mulai tak sabar, sedikit sarkastis. Beberapa tahun bekerja bersama Linda, Charlie tahu ia harus ke sana sekarang.

Yasmina al-Soubary -- ahli matematika lanjut -- menemuinya di lobby, mengulurkan tangan, "Charles, maaf harus mengganggu waktu pribadimu." Mereka berjalan memasuki elevator. Gedung penelitian mereka terletak di pinggiran kota Boston, sekitar 1 jam lewat rute 90, melewati danau Cochituate. Di atas tanah bangunan tersebut terlihat seperti bangunan tiga lantai biasa. Keistimewaan bangunan tersebut beru terlihat setelah mereka keluar dari elevator (atau tangga, bila Charlie sedang ingin berolahraga) beberapa puluh meter di bawah tanah. Timnya sudah lengkap ketika ia tiba. Sekitar tiga puluh pasang mata memandanginya dan Yasmina saat mereka memasuki ruangan.

"Oke, aku di sini sekarang, ada apa sebenarnya?" kata Charlie ke arah Linda.

Linda mengambil sebuah map berisi berlembar-lembar laporan, memberikannya ke Charlie tanpa bersuara. Ia membuka lembar demi lembar, keningnya berkerut. Di sebuah lembar matanya memicing, lalu membelalak. "Ya Tuhan... data ini valid?" katanya, tanpa mengalihkan pandangan.
"Mina dan Andy sudah melakukan beberapa tes, data itu valid'" kata Linda.

Untuk mempelajari gelombang gravitasi, timnya memerlukan sebuah benda dengan massa yang cukup besar, dan untuk mendapatkannya mereka mempercepat laju sebuah partikel mendekati kecepatan cahaya. Beberapa jam yang lalu, timnya melakukan beberapa tes rutin yang hasilnya akan dijadikan basis kontrol penelitian mereka. Denyutan elektromagnetis mulai memancar dari akselarator partikel, dan tercatat pada data tersebut ketika partikel mencapai kecepatan sekitar 0,7 kecepatan cahaya, dan makin kuat seiring meningkatnya kecepatan partikel tersebut.

"Kalian yakin ini bukan kesalahan instrumen? Kebocoran medan magnet? Human error?"

"Charlie, data itu valid.." Linda menjawab dengan nada serupa orang yang menyatakan besok pagi matahari akan terbit: tegas, pasti.

"Sesuatu dari sisi sebelah sana berusaha menghubungi kita,.." ia melanjutkan. ".. pertanyaannya yang harus kita jawab adalah, apa 'sisi sebelah sana' itu? Dan apakah kita benar-benar ingin tahu siapa yang mengirimkan pesan ini?"

"Aku rasa aku bicara mewakili semua rekan di tim ini.." Andrew Muir -- direktur tim insinyur -- angkat bicara, ".. kita sudah sejauh ini melangkah, kenapa berhenti sekarang? Aku tahu langkah tersebut membawa kita ke arah yang tidak terduga, tapi bukankah sejak awal kita sudah paham bahwa eksplorasi akan membawa kita ke batas-batas baru yang mungkin tidak kita perkirakan sebelumnya?" Ia memandang sejenak ke sekitarnya, menunggu persetujuan. "Tim kami sudah menyiapkan semua instrumen untuk siap membawa riset ini ke langkah berikutnya."

Charlie melihat Mina dan sebagian anggota timnya mengangguk kecil tanda setuju. Suara Linda kembali terdengar, "Keputusanmu kapten.. kita melihat benua baru, apa kita akan berlabuh di sana dan berkenalan dengan para penduduk asli?" katanya setengah bercanda. Antusiasme yang disamarkan.

Charlie melihat data itu sekali lagi, tersenyum, menghembuskan napas dan berkata, "Pekerjaan administrasinya akan makan waktu berabad-abad, dan akan ada berton-ton formulir yang harus diisi.." ia terdiam sejenak. "Ah persetan.. arahkan kemudi dan siapkan kemampuan komunikasi kalian, kita akan mendarat."



8 komentar:

  1. Yasmina... ini kan nama tokoh utama di novel yg lagi gw tulis.. :))

    BalasHapus
  2. seorang saintis astrofisika (I assumed) mengucap "Ya Tuhan" itu cukup unik btw.. :D and cool opening part. terasa seperti saat Altair bertemu para pencipta Pieces of Eden.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Hahaha.. Sebenernya pake kata itu biar berasa magnitude fakta yang ada di mukanya. Btw, saintis udah baku bahasa Indonesia kah?

      Hapus
  3. Hahahah, pake ilmuwan aja kali ga?

    BalasHapus
  4. Kritik kecil deh. Kalo gw perhatiin, di bagian pertama mas pake POV Mahatahu ya? Cocok sih buat pembukaan seperti ini, tapi kyknya voicenya mesti diasah lagi. POV Mahatahu emang enak, tapi kalo narasinya kurang personality, takutnya jadi boring.

    Gw sendiri belom tahu sejujurnya gimana cara bikin voice Mahatahu menarik (krn gw sendiri masih belajar nulis dalam orang-ketiga-perspektif-dekat-terbatas), tapi kyknya mungkin bisa mas engaging pembaca dengan pertanyaan-pertanyaan retorik, atau komentar-komentar yang terasa kyk personal ("Bintang-bintang lahir satu-persatu, dan dari rahim mereka planet-planet. Bayangkan betapa luar biasanya!"). Jadi kayak pendongeng gitu. Mungkin gitu aja dari gw, sekian terimakasih.

    BalasHapus
    Balasan
    1. ahahaha.. iya, emang gua kebingungan bagian itu, kalo gua pake kata 'Bayangkan betapa luarbiasanya!' bukankah jadinya gua jadi ambil sudut pandang orang kedua?

      Kebingungan gua adalah menghindari kata-kata yang spesifik manusiawi, misal: unit ukuran, sulit banget ternyata nulisin panjangnya waktu kalau kita gak bisa pakai kata tahun, abad, atau millenia. Ini merembet juga ke emosi. Makhluk abstrak seperti itu, gimana ya cara menggambarkan emosinya... lumayan tekuk-tekuk otak juga untuk ngegambarinnya.. Tadinya gua pengen menghindari bahasa-bahasa kiasan, tapi karena gua udah menghindari istilah-istilah yang manusiawi, jadinya tak terhindarkan juga pake bahasa kiasan.

      Hapus
    2. Nah itu dia sih mas. Gw blom terlalu ngerti juga Mahatahu. Nanti cari2 artikelnya sih. Kata gw sih gapapa kalo si narator punya sedikit personality, tapi ga tau yg benernya gimana

      Hapus