Minggu, 21 Februari 2016

[GAGANG PINTU] Si Ucok

Si Ucok



“Ucok! Sini kau cepat!”, Si Ucok pun lari-lari kecil menghampiri ayahnya.
“Ada apa yah?”, tanya Ucok ke ayahnya.
“Rumah kontrakkan kita yang nomor 2 bocor pula lah gentengnya, pigi lah kau betulin dulu, sibuk kali orang yang nyewa itu nelponin aja, pening pula kepalaku jadinya”, ayahnya ngomong setengah mengomel.
“Tapi Ucok lagi bantuin mamak marut kelapa yah”,jawab Ucok.
“Ah nanti aja itu, sekarang kau pigi dulu betulin gentengnya itu”.
                Begitu lah keseharian Ucok. Masih menjadi suruhan ayah dan ibunya di rumah padahal sudah sarjana. Kadang di suruh marut kelapa, kadang disuruh menukangi peralatan atau bagian-bagian rumah yang rusak. Ucok lulusan perguruan tinggi negeri di kota Medan. Sudah wisuda setahun lalu tapi belum juga diterima kerja. Ayahnya sudah mencarikan lowongan dari kenalan-kenalan tapi Ucok menolak. Berusaha mencari sana-sini tapi pekerjaan yang diinginkan standarnya terlalu tinggi sedang Ucok sendiri lulus dengan IP yang pas-pasan. Ucok memang banyak maunya.
 Ucok anak laki-laki sulung. Adiknya, Butet, sudah menikah 6 bulan yang lalu. Semenjak di tinggal adiknya yang merantau ikut suami ke Jakarta, Ucok lah yang membantu membuat kue lepat jualan ibunya. Ayahnya ucok adalah juragan kontrakan. Ada sekitar 7 rumah yang disewakan didekat tempat tinggal mereka juga. Kalau dilihat-lihat, keluarga Ucok memang bukan keluarga tidak mampu, orang lumayan juga. Tapi kalau dilihat nasib si Ucok kadang banyak orang yang menyayangkan.
“Bang Ucok kenapa tidak coba merantau saja?”, tanya si ibu yang atap rumahnya sedang diperbaiki oleh Ucok.
“Saya belum dikasih ayah kalau pergi jauh-jauh bu, biasalah anak kesayangan hehehe”, ujar Ucok sambil senyum-senyum malu ke si ibu.
“Bang Ucok kan sudah besar, anak laki-laki lagi hahaha”, canda si ibu sambil tertawa.
Bagi orang batak, anak laki-laki adalah hal penting. Memiliki anak adalah sebuah kekayaan yang tidak ternilai bagi keluarga batak. Anak itu akan bernilai lebih lagi jika dia adalah seorang laki-laki apalagi jika itu adalah anak sulung, ini ibarat sebuah berkat yang sangat besar bagi keluarga. Anak laki-laki nantinya akan menjadi pewaris marga dari orang tua laki-laki. Kebiasaan unik juga sering terjadi di keluarga Batak yang tidak memiliki anak laki-laki. Jadi, misalnya anak ke 1 sampai ke 4 masih perempuan, orang tuanya akan tetap berusaha memiliki anak laki-laki sehingga akan terus melahirkan bahkan sampai anak ke tujuh atau ke sembilan dan seterusnya. Syukurlah ibu ucok melahirkan Ucok sebagai anak pertama. Itu jugalah yang mungkin menyebabkan kenapa orang tuanya sangat menyayangi Ucok. Ayahnya sendiri sangat tegas terhadapnya. Tidak segan-segan memarahi tapi itu juga karena sayang. Berbeda dengan kebiasaan orang batak lainnya yang membiarkan anak laki-laki mereka merantau hingga sukses, ayah Ucok justru tidak membiarkannya terlalu jauh dari pengawasan kedua orang tuanya.
                “Bu,  atapnya udah saya betulin, nanti kalau masih bocor juga, kasih tau aja lagi ya”, kata Ucok.
                “Iya, makasih ya bang Ucok. Minum dulu bang Ucok?”, kata si ibu sambil menawarkan air minum. Selesai memperbaiki atap rumah itu, Ucok pun pulang ke rumah.

***

“Cemana udah dibetulin?”, tanya ayahnya.
“Udah yah, cuma dikit kok, ibu itu aja yang lebai” kata ucok.
“Kau gak boleh gitu, kita harus kasih serpis biar orang itu senang, cemananya kau” omel ayahnya.
“Yah, boleh ga aku merantau. Bosen juga aku di sini. Ga ada kerjaan”, kata Ucok.
“Mau ke mana? Kau pikir gampang merantau itu?”, kata ayahnya.
“Tapi kan aku malu juga yah, nganggur terus kayak gini”, Keluh Ucok.
“Si Butet udah pigi, masa kau mau pigi juga, ga kasian kau sama ayah sama mamak?”, tanya ayahnya. Begitulah kata-kata yang terucap dari mulut ayahnya kalau Ucok minta izin merantau.
“Udah lah, ayah sama mamak udh pasrahnya. Kalau memang kau ga dapat-dapat kerjaan ga apa-apa. Toh kontrakan itu semua nanti bakal jadi punyamu. Kami ini apalah, kau lah harapan kami, kami udah tua, sebentar lagi pun mati”, Curhat ayahnya.
“Kalau kau rasa kau perlu buka usaha, kau bisa minta dana dari ayah. Kalau suatu hari mau nikah, ayah bisa carikan boru*, yang penting kalau bisa kau jangan pigi”, tawar ayahnya.
Kalau sudah begini Ucok pun jadi melankolis. Biar lah dia jadi babu untuk ayah dan ibunya, pikirnya pasrah. Dia rela dijadikan tukang di rumahnya, membantu orang tuanya asal bisa selalu berada di dekat mereka. Untuk pekerjaan dia masih bisa pilah-pilih lagi. Bisa menjaga dan merawat mereka kalau mereka sudah semakin tua nanti itu lah keinginan Ucok. Kegalauan yang terus datang jika ayahnya yang keras itu mulai berbicara tentang usia dia dan istrinya yang sudah tua. “Mereka sudah lelah mengurusku, aku tau mereka ingin aku bahagia”, pikir Ucok. Air mata Ucok hampir jatuh. Ucok dan ayahnya memang saling peduli tapi gengsi untuk menunjukkan rasa sayang satu sama lain. Dia pun membuang muka karena malu dan ujuk-ujuk pergi.
“Eh mau ke mana kau?”, tanya ayahnya.
“Anu..aku mau betulin gagang pintu dulu yah”, sambil berjalan kabur menahan air mata harunya.



*Boru = Anak perempuan












4 komentar:

  1. Menurut sayah sih, cara nulis Citra jadi makin bagus, yang ini seru :)

    Bagian footnote,, entahlah,, menurut sayah sih mending ga peke footnote, jelasin di dalam cerita ajah (kalo bisa sh) :D

    Bagian ending ,,"Aku mau betulin gagang pintu dulu yah",, emang sih itu alasan yang cuman dibuat2, tp jd kurang masuk akal karena sepanjang cerita sayah nyari2 dimana itu si gagang pintu :p
    Si gagang pintu jd kerasa cuman tempelan kecil yang dipaksakan ada dalam cerita biar masuk Tema ,,
    Kenapa ga dibikin kalo yg rusak d kontrakan itu adalah si gagang pintu, lalu bagian akhir alasannya pergi mandi ,, Saran doank sh :)

    BTW,, butet nya itu elu yaa cit?? :D

    BalasHapus
    Balasan
    1. Makasih om jei hehehe
      Iya kalo boleh jujur sebenernya aku emang bingung dgn tema gagang pintu ini huhu jadi terasa agak asal masuk-masukin aja ya
      Ahaha bukaan om jei bukan akuu!
      Thanks sarannyaa

      Hapus
  2. Hoookeee.

    Pertama, cara menulis dulu ya. Lu masih banyak salah meletakkan tanda baca dan spasi. Perhatikan baik-baik:

    Kalau mau memberi kalimat setelah dialog, koma masuk ke dalam tanda kutipnya. Setelah itu kasih spasi. Contoh: '"Aku adalah putri bulan," ujar Yori.' Lihat komanya di mana.

    Kalau dalam kutip sudah ada tanda baca, ga perlu pake koma lagi setelah kutip. Contoh: '"Aku adalah putri bulan!" teriak Yori.' Tidak perlu pake koma lagi.

    Kalau dialog mengikuti kalimat, dialog dimulai dengan huruf kecil, kecuali untuk nama. Contoh: 'Yori menggenggam tongkat bulannya dan berteriak, "aku adalah putri bulan!"' Lihat komanya di mana, kasih spasi.

    Coba pakai huruf miring untuk kata-kata yang bukan bahasa Indonesia baku.

    Sekarang ke keseluruhannya. Cerita ini berantakan banget POV nya. Sesekali orang ketiga mahatahu, sesekali orang ketiga terbatas. Tentukan POV yang lu mau pakai dan konsistenlah. Lalu, ini masih terlalu banyak eksposisi bo. Masih banyak 'telling' bukan 'showing'. Lihat khasanah deh untuk mempelajari sedikit perbedaannya. Kayak kalimat 'Ucok memang banyak maunya,' sebenarnya tidak penting lagi, karena lu sudah menunjukkan di kalimat-kalimat sebelumnya bahwa Ucok banyak maunya. Menekankan lagi hal yang sudah lu tunjukkan malah bikin kalimatnya jadi hambar, efeknya malah berkurang (lihat komentar gw di cerita Yoga).

    Terus menurut gw bagian di mana lu menjembrengkan pentingnya anak laki-laki di keluarga Batak menurut gw masih bisa dipangkas lagi. Lu berulang-ulang 'anak laki-laki harus A, anak laki-laki harus B' dst. Buat kalimatnya lebih efektif lagi. Pilih mana yang perlu disampaikan dulu untuk kepentingan ceritanya, ga usah lu jembrengkan semuanya kalau kira-kira deskripsi itu belum penting. Deskripsi panjang tidak akan terlalu membantu kalau pembaca belum merasa 'dekat' dengan karakternya. Mereka akan membaca cepet-cepet paragraf itu karena mereka ga peduli.

    Trus paragraf ini: "Kalau sudah begini Ucok pun jadi melankolis...dst". Paragraf ini jelek banget Cit. Semuanya adalah telling. Sisipkan perasaan-perasaan Ucok dari apa yang dia pikirkan, sama cara dia berperilaku, dst. Hindari kata2 penjelasan, dan cari kata-kata yang lebih efektif. Hindari juga telling dalam dialog, kayak kalimat ini, '“Udah lah, ayah sama mamak udh pasrahnya. Kalau memang kau ga dapat-dapat kerjaan ga apa-apa. Toh kontrakan itu semua nanti bakal jadi punyamu. Kami ini apalah, kau lah harapan kami, kami udah tua, sebentar lagi pun mati”, Curhat ayahnya.' Lu berusaha memasukkan info dan memaksakan emosi tertentu dengan terburu-buru. Kalau lu berharap pembaca bersimpati dengan ayah Ucok, ini akan gagal. Ayahnya akan terkesan menye-menye dan manipulatif, kecuali kalo memang itu yang lu maksud. Coba kalau lu tunjukkan ayahnya gemetar kalau melakukan hal yang dulu dia biasa lakukan, atau dia suka tiba-tiba tertidur, atau dia harus membaca dengan mendekatkan mukanya ke tulisannya sambil memicingkan mata, atau dia suka batuk berkepanjangan, pembaca akan melihat bahwa 'oh iya, bapak ini sudah sangat tua'.

    Gitu dulu Cit. Harus dipoles banget nget. Jangan terburu-buru nulisnya. Tentukan apa yang pengen lu sampaikan, lalu coba masuk dalam kepala karakterlu. Kalau lu jadi Ucok, bagaimana cara lu melihat sekelilingnya.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Makasih banyak mas yori,
      pelajaran banget buat aku nih semua yg mas yori bilang.
      Aku memang harus belajar banyaaak banyak lagi. Thank youu

      Hapus