Minggu, 28 Februari 2016

[AYAH] Bersama

Tak terasa empat tahun telah kulewati di sekolah ini. Aku tidak ingin terdengar klise, tetapi kehidupan remaja tipikal yang penuh suka dan duka banyak kualami di sini, di Alexander Hamilton Memorial High School. Layaknya kehidupan remaja, kami melakukan banyak hal untuk pertama kalinya. Berkencan, berpesta, berurusan dengan polisi, kabur dari sekolah, mabuk-mabukan.

Pembawa acara masih memanggil para wisudawan untuk naik ke panggung, menerima ijazah dari kepala sekolah. Aku menoleh ke arah ibuku. Wajahnya bersinar di bawah terpaan matahari musim panas. Dia balas menatapku dan tersenyum. Pipinya merona merah di bawah sinar matahari. Dulu pipi itu juga yang basah oleh air mata akibat ulahku di sekolah ini.

Aku masih ingat ibu menangis saat kami berada di ruang kepala sekolah 4 tahun lalu, hanya dua bulan setelah aku bersekolah di sini. Kerut-kerut di wajahnya terlihat semakin dalam. Suaranya terbata-bata menahan isak tangis. Matanya kehilangan sinar, sinar yang selalu dapat membuatku nyaman. Saat itu aku hanya bisa menunduk dan menyembunyikan kepalanku yang berlumur darah.

“Kenapa, Ben?” ibu memecah lamunanku.
“Tidak apa-apa, Ma,” jawabku. Semoga ia tak menangkap kegelisahan hatiku. Aku tak ingin merusak kebahagiaanya hari ini. Tak ingin memudarkan senyumnya yang begitu lebar penuh kebanggaan.

Aku juga ingat dulu ibu pernah tersenyum seperti itu saat ia mengenalkan Alex padaku. Ia hadir dalam kehidupan kami beberapa tahun semenjak ibu dan ayah berpisah. Aku baru berumur 11 tahun saat itu. Setelah ayah & ibu bercerai, hubunganku dengan ayah baik-baik saja walau tidak dapat dikatakan ideal. Namun aku dapat melihat bahwa ibu mulai berubah. Ia jarang bercanda denganku lagi. Ia jarang lagi membacakan cerita untukku sebelum tidur. Ia mulai jarang tersenyum, bahkan padaku. Sampai ia bertemu Alex.

Sejak kehadiran Alex, ibu menjadi seperti sedia kala. Seperti saat kami,- aku, ayah, dan ibu-, masih tinggal bersama. Aku tahu Alex membuatnya bahagia dan aku juga senang dengan kehadiran Alex di tengah-tengah kehidupan kami. Semuanya menjadi baik seperti dulu. Aku pun ikut bahagia saat ibu dan Alex akhirnya resmi menikah menjelang ulang tahunku ke 13.

Tapi sejak saat itu banyak hal mulai berubah. Bermula dari lingkungan rumah kami, dari teman-temanku sejak kecil, bersamaan dengan kami yang beranjak remaja. Awalnya hanya berupa lelucon-lelucon yang mereka lemparkan ke arahku. Tetapi seiring waktu aku dapat merasakan mereka lambat laun mengucilkanku dari pergaulan. Tanpa teman, aku hanya bisa mengunci diri di dalam kamar. Dulu aku tak mengerti kenapa, tapi lama-kelamaan aku mengerti bahwa ini ada hubungannya dengan ibu dan Alex, orang tua baruku.

Semuanya menjadi jauh lebih buruk saat aku masuk sekolah lanjutan atas. Beberapa anak di lingkungan rumahku bersekolah di tempat yang sama dan mereka mulai menyebarkan cerita tentang aku, ibuku, dan Alex. Berhari-hari mereka merisak dan menindasku. Aku tak pernah bercerita pada siapapun. Aku tak ingin ayah, ibu, atau Alex menjadi khawatir. Sehingga aku mengambil caraku sendiri.

Suatu waktu para perisak ini memojokanku di toilet sekolah. Awalnya hanya kata-kata. Aku sudah terbiasa. Lalu mereka mulai mendorongku. Aku masih tidak peduli. Lalu salah satu dari mereka, aku tak ingat yang mana, mulai menghina ibu. Dan lalu letupan itu terjadi begitu saja. Aku hantam mereka sekuat tenaga. Kiri-kanan kulayangkan pukulan. Beberapa dari mereka berusaha menahan tubuhku, tetapi kemarahan tampaknya telah menguasai tubuh dan nalar. Satu persatu mereka aku robohkan. Seolah tertutup kabut kekecawaan selama bertahun-tahun, aku tumpahkan seluruh kekesalan bertahun-tahun pada mereka saat itu juga. Saat tanganku mulai sakit, kuambil benda-benda yang terdekat dari jangkauan. Daun pintu, pensil runcing, pecahan kaca.

Entah siapa yang beruntung, aku atau mereka, tak lama setelah kegaduhan dimulai, petugas kebersihan sekolah melerai kamu. Lebih tepatnya menghalangi aku membunuh para perisak tersebut. Ibuku dipanggil ke sekolah dan aku pun diskors 3 bulan.

Sejak saat itu kehidupan sekolah menjadi bagai penjara. Guru-guru mengawasiku sangat ketat, para murid membenciku. Bahkan aku dapat melihat para tetangga mulai bersikap aneh pada keluarga kami. Aku mulai putus asa. Aku begitu marah pada dunia yang memandang kami berbeda. Begitu sedih karena tak ada yang dapat kulakukan untuk merubah semua ini. Aku merasa begitu kesepian karena tak dapat menceritakan semua ini pada siapa pun. Puncaknya adalah dua malam sebelum Natal, di tahun sophomore-ku.

Aku ingat tersadar dengan ibu dan Alex berada di sampingku, di ranjang rumah sakit. Ayah kulihat berdiri di pintu. Aku teringat menangis saat menyadari betapa memalukan apa yang baru saja aku lakukan saat itu. Betapa aku telah mengecewakan mereka, orang-orang yang mencintaiku. Ibu terlihat begitu hancur. Tangannya sedingin salju. Matanya sembab. Ayah terlihat berantakan dan kebingunan. Alex pun tampak sedih. Di sanalah, aku bersumpah untuk tidak akan pernah lagi membuat mereka sedih.

“Ben?”
“Huh..”
“Kenapa? Kamu melamun begitu lama tadi,” tanya Alex yang duduk di sebelah kiriku.
“Tidak apa-apa, Alex. Saya cuma senang engkau, ayah, dan ibu ada di sini saat ini.”
“Tentu saja, kiddo. Kami semua menyayangimu,” jawa Alex sambil tersenyum dan mengacak-acak rambutku.
“Di mana ayahmu?”
“Di sana, di sebelah panggung dengan kameranya,” aku melambaikan tangan pada ayah yang tampak begitu bersemangat. Ia ditemani Deandra adik tiriku yang cantik. Ia tampak begitu mirip dengan ayah. Ayah membalas melambaikan tangan ke arah kami.

Deandra dan keluarga baru ayah sekarang adalah bagian dari keluargaku juga. Bagian dari orang-orang yang mencintaiku. Sama seperti Alexandra,- dia lebih senang dipanggil Alex-, pasangan ibuku. Memang keluarga ini tidak lazim dan sangat berat bagiku melalui masa remaja hidup di keluarga ini. Tapi aku berhasil melewatinya. Bersama ibu dan Alex, ayah sekaligus ibu keduaku.

8 komentar:

  1. Balasan
    1. di Orange Is The New Black? asa aneh kalo di That 70's Show.. :v

      Hapus
    2. Yoi OITNB, namanya karakternya Alex

      Hapus
  2. Sedih Om ,, :'(

    penasaran sama Apa yang dilakukan Ben untuk bangkit dari keterpurukannya dan akhirnya lulus ,, :)

    BalasHapus
    Balasan
    1. panjang euy kalo diceritain full mah... :)) tapi intinya, dia gak mau ngecewain orang2 yang mencintainya. #tsaaah

      Hapus
  3. Hmm. OK. Gw rasa ini kyk sebuah rangkuman dari cerita yang lebih panjang dan emosional. Rangkuman ya om, bukan opening. Soalnya character arcnya udah selesai di satu cerita ini, pembukaan-konflik-penyelesaian sudah ada di sini, tapi ga ada detil. Jadi kalo menurut gw kurang ada emotional weight kyk cerita-cerita om sebelumnya.

    Mungkin akan lebih kuat kalo misalnya adegan-adegan masa lalu om buat bagian baru aja bener-bener full blown flashback. Jadi pembaca langsung masuk ke kejadian-kejadian di masa itu (kayak yg om iqbal lakukan di anumerta). Bolak balik latar waktu dalam sekali cerita kyknya membingungkan, apalagi emosi-emosinya beda (di masa sekarang semuanya oke, di masa lalu pedih dan sedih), jadi pembaca susah ngeset emosi mereka.

    Keknya sekian deh. Terimakasih

    BalasHapus
    Balasan
    1. Terus terang, tema yang luas seperti Ayah cukup menyulitkan saya mencari inspirasi. Cerita ini saja adalah hasil perluasan dari draft yang berbeda dari inspirasi awal. Jadi sebagai pembelaan, bisa dibilang di cerita ini gairah saya sudah terkuras oleh mencari ide.

      Nasehat mastah akan saya jadikan lecutan untuk karya-karya berikutnya.

      Sekian balasan dari saya. Salam kungfu!

      Hapus