Selasa, 02 Februari 2016

[KETUMBI] Ketumbi

Lapas Kembang Kuning, Pulau Nusa Kambangan, pukul 10 pagi lewat 4 menit. Iringan 3 mobil dengan stiker Kejaksaan Agung memasuki pelataran. Aspal masih basah oleh hujan gerimis yang mengguyur pulau semenjak fajar. Di kejauhan terdengar lolongan lutung Jawa, mewartakan bahaya yang mengintai.

Tak lama setelah iringan berhenti, dua orang nampak turun dari kendaraan yang paling depan. Gerakan mereka cepat dan terukur, layaknya anggota pasukan khusus. Salah satu mengambil posisi di kanan iringan. Pandangannya menyapu, mengawasi perimeter. Rekannya membukakan pintu penumpang sedan hitam yang ada di tengah. Seorang pria berusia sekitar empat puluhan, dengan kemeja putih bergegas turun.

Pria tersebut berjalan cepat. Orang-orang Lapas yang menyambut tak digubris. Ada kegelisahan pada raut wajahnya. Ia terus saja berjalan masuk. Para petugas Lapas berlari kecil berupaya mengikuti.

Ia tiba di sebuah ruang yang tak terlalu luas dengan langit-langit yang cukup tinggi. Satu-satunya sumber cahaya adalah sebuah jendela berjeruji setinggi dua setengah meter dari lantai. Sinar matahari menyelinap masuk. Sebuah meja dan kursi berada di tengah ruangan. Pria tersebut duduk menghadap pintu. Pintu itu terbuat dari baja dengan jendela kecil yang hanya dapat dibuka dari luar.

Belum lama ia menunggu saat pintu itu terbuka. Seorang petugas membuka pintu saat rekannya mendorong sebuah kursi roda kayu masuk. Seorang pria dengan pakaian narapidana duduk terikat di sana. Ada senyum di wajahnya.

Setiawan Waluya, memberi isyarat tangan. Ia memerintahkan para petugas untuk meninggalkan ruangan. Kedua petugas tadi berpandangan, ada keengganan pada reaksinya. Tetapi mereka urung mengutarakan niat. Tanpa mengucapkan sepatah kata, mereka mengangguk dan segera keluar dari ruangan.

Narapidana tadi masih menatap orang di seberangnya sambil tersenyum. Seolah bertemu sahabat yang lama. Seolah ia telah menunggu berbulan-bulan untuk pertemuan ini.

Setiawan mengeluarkan sebuah koran dari dalam map dan membantingnya di meja. Tepat di hadapan sang narapidana. Koran hari ini. Tercetak jelas di halaman depan: “Korban Ke-15 Sang Penjagal Ditemukan”.

Narapidana itu membuka suara, memecah keheningan.

“‘Sang Penjagal’, jadi itu panggilan mereka untukku,” ucapnya, masih dengan senyum tersungging di bibirnya. Tak terganggu dengan fakta bahwa ia duduk terikat pada sebuah kursi kayu.

Saka Wirya, sang penjagal. Sebenarnya ada banyak panggilan yang diberikan oleh media padanya. Doktor Durjana, Manusia Setan dari Selatan, Profesor Pencabut Nyawa, dan beberapa panggilan bombastis lainnya. Kisahnya menjadi pusat perhatian seluruh negara selama hampir satu tahun terakhir. Semenjak para korban mulai ditemukan, saat ia menyerahkan diri pada polisi, dan hingga saat ini, di hari-hari menjelang hukuman matinya.

Masyarakat gempar saat korban-korban pembunuhan dengan ciri yang sama bermunculan. Di setiap kasus selalu ditemukan pesan “C.O.P.”. Mulai dari sapuan kuas dengan darah korban di tembok, hingga yang ditorehkan dengan pisau di dahi. Setelah korban ke-14, seorang laki-laki bernama Saka Wirya menyerahkan diri pada polisi. Di dalam rumahnya, polisi menemukan 14 potongan-potongan tubuh. Tersimpan rapi di dalam 14 vial, di antara ratusan buku-buku. Pemeriksaan DNA mengonfirmasi pengakuannya, dia lah pembunuh berantai tersebut. Negara guncang. Media massa berpesta pora.

Pengadilannya menjadi tontonan abad ini. Semua orang ingin mengetahui segala sesuatunya tentang si pembunuh sadis tersebut. Para analis didatangkan ke stasiun TV. Psikolog menjadi bintang tamu di berbagai acara wawancara. Masyarakat yang tak habis pikir mencoba memahami isi pikiran sang sosiopat.

“Jujur saja, saya tak menduga anda akan datang secepat ini, yang mulia Jaksa Agung Muda.”

Pria yang ia ajak bicara, sang Jaksa Agung Muda Setiawan Waluya, masih enggan membuka mulut.

“Kalau saja tim Polisi bekerja dengan semangat yang anda miliki pagi ini, mungkin korban ini masih bisa diselamatkan,” tambahnya.

Korban ke-15 ditemukan di sebuah gedung tua tak terurus, bekas sebuah pabrik tekstil. Mayat korban berada di dalam sebuah ruangan kecil dan gelap. Terikat pada tempat tidurnya. Di lengannya masih tertancap dua buah jarum infus. Penyebab kematian, keracunan gas amonia.

“Jangan-jangan bila aku tidak menggunakan amonia, kalian tidak akan pernah menemukan dia,” Saka berujar sambil tertawa kecil. Seolah ia memenangkan sebuah permainan.

“Aku harus membuat sampah itu tetap hidup dan setengah sadar selama 1 bulan. Dan kamu tahu, reaksi Haber tidak dirancang untuk produksi amonia secara lambat?” sambungnya lagi.

“Ah sudahlah, aku tahu kamu tidak tertarik dengan detil. Utarakan saja alasanmu berkunjung ke pintu neraka ini, yang mulia.”

Sang jaksa mengambil sebuah amplop bertuliskan “RAHASIA” dari balik map. Ia mengeluarkan selembar foto dan meletakkannya di tengah meja.

“Apa maksud semua ini?” sang jaksa akhirnya buka suara.

Foto tersebut memerlihatkan ranjang tempat korban ke-15 berbaring. Korban tampak seperti tengkorak bersalut kulit. Seprei putih alas tidurnya begitu lusuh dan kotor, dengan noda-noda berwarna merah dan coklat. Hanya putih di matanya yang terlihat.

Tetapi yang menjadi fokus perhatian sang jaksa adalah tembok di samping ranjang korban. Sebuah lukisan besar wajah sang Jaksa Agung Muda dengan tulisan “C.O.P.” melintang di dahi.

“Kamu tahu berapa banyak polisi yang harus aku bayar untuk tutup mulut mengenai foto ini?” ujar sang jaksa dengan suara pelan dan dingin.

“Ayolah, yang mulia. Ini bukan pertama kali engkau membayar polisi, iya kan?” jawab Saka.

Saka meneruskan dengan sebuah kalimat yang mengejutkan Setiawan.

“Apa kabar Lydia dan boneka kesayangannya Misha?”

Wajah sang jaksa menegang. Tangannya mengepal. Jantungnya berpacu. Ia berusaha mengendalikan diri. Niatnya untuk mencengkeram leher Saka dan mematahkannya saat itu juga harus ia redam. Pengalaman mengatakan bahwa lebih baik untuk tetap duduk di kursinya dan mengorek lebih banyak informasi. Ia berpikir keras, apa yang Saka rencanakan untuk ia dan keluarganya. Lebih buruk lagi, apa yang telah ia lakukan.

“Apa yang telah kamu lakukan pada keluargaku?” tanya Setiawan dingin.

“Jaksa Agung Muda Setiawan Waluya, anda akan menjadi penutup karya besarku,” jawab Saka. Kali ini tanpa senyum di wajahnya. “Jangan khawatir, anda dan keluarga anda tidak akan mati seperti yang lainnya…” ia berhenti sejenak. “Tapi bukan berarti anda tak akan menderita. Dan seperti yang lainnya, semua orang akan membacanya di media.”

Sang jaksa menatap tajam ke arah Saka. Ia berpikir keras.

“Senyumlah, yang mulia. Anda akan lebih terkenal daripada sekarang,” sambung Saka dengan nada mengejek. “Anda adalah penutup yang sempurna. Saya sudah menyiapkan segalanya.”

Ruangan hening. Setiawan masih berpikir keras. Lalu Saka kembali membuka suara.

“Aku turut sedih atas apa yang menimpa Michael. Aku tak menyangka dia sampai loncat dari gedung kantornya. Padahal ia begitu ceria dan bersemangat di ranjang.”

Raut wajah Setiawan seketika berubah.

“Jadi begitu caramu,” ucap Setiawan.

Michael Wijaya, manajer di sebuah firma investasi besar di Jakarta. Ia yang mengelola semua investasi Setiawan. Dan juga selingkuhannya selama 2 tahun terakhir.

“Kamu tahu betapa cerewetnya Michael bila ia mabuk? Ia selalu merasa gelisah dalam hubungan kalian. Sangat bisa dipahami. Seorang Jaksa Agung Muda yang karirnya menanjak. Menikah bahagia dengan seorang perempuan dari istana. Telah dikaruniai 2 orang anak, cucu-cucu sang Presiden.”

Setiawan tak mampu berkata-kata. Ruangan seakan mulai berputar.

“Apakah kamu tahu betapa rapuh emosinya? Ah, aku rasa dia cuma pelampiasan nafsumu. Sama seperti gadis muda dari Semarang itu, asistenmu yang kau perkosa 6 tahun lalu. Lalu kau ancam akan membunuh keluarganya bila ia buka mulut, ingat?”

“Atau seperti bekas simpananmu di Surabaya? Tahukah kamu dia harus kembali menjadi pelacur demi menghidupi anak haram kalian yang menderita cerebral palsy?”

Setiawan menatap tajam pada Saka, “mengapa aku kau jadikan target?”

“Kau adalah target yang tepat, yang mulia. Engkau pria yang cerdas. Aku yakin kau telah melihat pola yang sama, antara kau dan sampah-sampah masayarakat yang telah aku kirim ke neraka.”

Sebutir keringat menetes di pelipis Setiawan. Ia merasa bagaikan jatuh ke lumpur hisap.

“Siswa-siswa brilian, dengan karir yang melesat di usia muda. Masuk ke dalam sistem yang korup dan rusak, kalian tak dapat mengendalikan diri. Alih-alih mengubah, kalian menjadi komponen-komponen baru dalam mesin raksasa yang semakin efektif merusak masyarakat,” Saka berhenti sejenak. “Mesin raksasa yang merenggut anak dan istriku.” Saka menelan ludah. Tak sampai beberapa detik ia telah kembali meredam emosi.

Corruptio Optimi Pessima. Korupsi orang-orang terbaik adalah yang paling buruk dari semua korupsi.”

Setiawan bangkit dari kursinya. Ia berusaha mencerna semua informasi yang ia dapat.

“Pengetahuanmu soal hukum tiada dua. Tidak percuma negara menyekolahkan begitu jauh hingga ke Massachusetts. Tapi apa yang kau gunakan dengan ilmu tersebut? Hanya untuk menjatuhkan musuh-musuh para atasanmu di Kejaksaan dan Kementrian. Semata-mata untuk mengejar jabatan. Tak cukup dengan itu, kau memanipulasi, mengancam, dan memutar balikkan fakta demi menutupi petualangan seksualmu. Where did you lost your integrity, your honor?”

Tak ada sedikit pun ekspresi pada wajah Saka saat ia mengucapkan kata-kata tersebut.

“Maka tak lama lagi akan tiba saatnya, yang mulia. Semua kotoranmu akan terbongkar dan semua kemuliaanmu akan terbakar. Sebuah pesan untuk semua bajingan sepertimu. Dan untuk masyarakat bodoh yang membiarkan anjing-anjing seperti kalian berkeliaran. Di menit polisi membuka pintu kamar korban yang terakhir, program yang telah aku sisipkan di server di kantor Michael akan menghapus semua portolio-mu dan mengirimkan email berisi foto-foto kalian ke stasiun TV.”

“Anjing!” Setiawan mengumpat dengan menahan suaranya, tak ingin sampai terdengar keluar ruangan.

Setiawan mencengkeram kerah baju Saka, “Aku akan sangat menikmati melihat wajahmu, saat mereka menyuntikkan racun ke dalam tubuhmu.”

Setiawan melangkahkan kaki keluar dari ruangan. Pikirannya kalut. Wajahnya pucat. Hal terakhir yang ia dengar saat ia menyusuri lorong gelap dan lembab itu adalah suara Saka.

“Terima kasih, yang mulia. Anda melengkapi karyaku.”

Matahari mulai tinggi di atas Nusa Kambangan. Panasnya mulai membakar aspal. Dari balik tembok penjara, lolongan sayup-sayup hilang. Seekor elang bido terbang dengan seekor lutung pada cengkeramannya.

11 komentar:

  1. Keren euyy,, sempat mengingatkan saya pada sebuah film yang tidak akan saya sebut judulnya ,,


    “Apa kabar Lydia dan boneka kesayangannya Misha?”
    Lydia udah ga maen boneka, dia udah kuliah sekelas sama kejora, dan ngecengin dosennya :D

    BalasHapus
  2. Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.

    BalasHapus
  3. Keren pakbro. Usul nih, mungkin bakal lebih keren lagi kalau dikasih sedikit hint-hint bahwa korban-korban yang lain pun adalah orang-orang terbaik yang akhirnya corrupt. Jadi semacam reward lah buat pembaca, macam kalau lagi nonton novel detektif :D

    BalasHapus
    Balasan
    1. eh kok nonton novel detektif, baca novel detektif maksudnya :"D

      Hapus
  4. pengennya gitu, bal. tapi takut jadi kepanjangan tea.. :D

    BalasHapus
  5. Udah oke kok Om Aria Stark, walau ada hal-hal yang sedikit ganggu:

    - Ada perubahan sudut pandang. Di awal cerita, kesannya sudut pandangnya dari orang ketiga maha tahu (karena Setiawan diamati dari jauh), tapi makin ke belakang jadi orang ketiga terbatas (Setiawan saja). Cerita ini sepertinya cocok pake orang ketiga terbatas, jadi kayaknya paragraf2 di awal butuh dipolesosbudhankamrata.
    - Voice terlalu seragam. Saka dan Setiawan tidak terasa sebagai dua karakter yang berbeda. Pilihan kata-kata mereka, level kesinisan dan kemarahan mereka terasa terlalu sama. Kurang ada kontras pada voice mereka. Ini diperparah dengan ...
    - Nama kedua karakter berkesan sama. Dua-duanya berawal dengan huruf S. Pilihan nama itu penting banget dalam nulis fiksi karena bisa digunakan sebagai alat penulis untuk menyampaikan atribut karakternya (Harry Potter adalah anak biasa sehari-hari, Hamlet adalah permainan kata Amulet (jimat), Holden berhati emas) dan selanjutnya bisa jadi alat contrasting antar karakter.

    Menarik sih mas pake nama Setiawan untuk karakter sekotor dia hahah. Nice touch om. Tapi pake nama berawalan S untuk lawan mainnya bikin pembaca bingung secara visual.

    Gitu aja sih kalo dari sayahhhhh

    BalasHapus
    Balasan
    1. Yang soal sudut pandang, I see what you meant. Memang diakhir penulisan gw akuin gw agak terburu-buru, jadinya mungkin menyebabkan perspektif narator menyempit.

      Yang masalah inisial nama tiap tokoh, ini sebenarnya disengaja :D. Sama-sama SW malahan. Maksudnya ini sebagai metafora bahwa mereka sebenarnya dua sisi dari mata uang yang sama. Makanya level kemarahannya dan keburukannya sama. But it's a great advice to make them more contrasting in some parts.

      Always a pleasure to receive your review, Yor. Thanks!

      Hapus
    2. Ah yes. Kalau emang itu yang dikejar Omari, bisa aja pake cara penyamaan inisial itu. Asik memang ngasi easter egg. Asal pembaca ga terganggu, ya sah sah aja. Iya, ngontrasin voice membantu biar 2 karakter ini ga labur jadi satu, walau itu pesannya. Nais nais.

      Furthermore, kalo emang mereka adalah sisi masing2 koin, kenapa mereka berdua masing-masing punya dualisme juga? Mereka ga hitam-putih, tapi sama2 abu. Tapi gapapa sih. Mas udah terampil banget layering cerita, so go wild. :D

      Hapus
    3. eh baru baca komen baru ini... :P thanks again, mastah

      Hapus