“Man, kalau sudah makannya, cepet ganti baju, Kamu tidak akan pergi ngaji ??, lihat tuh sudah jam satu... .”
“ .... .”
“MAANN !!!, kalau Mamah sedang
ngajak ngomong itu dijawab !!!”, Mamah sewot, tangannya tengah asyik memasang
puluhan paku kecil di kerudung.
“Hakit ghighi Maaahhh ... “,
jawab ku sambil menarik bibirku memperlihatkan gigi taring sebelah kanan atas
yang sudah sejak tiga hari yang lalu goyang, gusinya mulai bengkak tidak enak
rasanya.
Setiap hari sepulang sekolah dari
senin sampai sabtu aku harus berangkat sekolah agama, ke Madrasah Ibtidaiyah
Al-Ikhlas yang terletak di desa sebelah, masuk setengah dua siang pulang pulang
jam tiga sore. Pulang pergi jalan kaki melewati rumah-rumah dan pesawahan, tiga
puluh menit perjalanan. Entah berapa kilometer jauhnya, tidak pernah sempat ngitung, sepulang ngaji Aku selalu
bergegas pulang karena pukul empat sore Aku harus nonton serial favoritku, Robo rider , jangan sampai kelewat.
“Hmmh ,, Ya udah ,, Mamah mau
ngaji, pengajian rutin ibu-ibu hari kamis di mesjid, nanti setegah tiga Bapak pulang, kamu hati-hati jaga rumah,” tambahnya
sambil memakai sandal selop kulit coklat kesukaannya. Aku diam saja sambil
menghayati rasa sakit.
“Mamah pergi dulu,,
Assalamu’alaikum.” Mamah menutup pintu, kerudung hitamnya berkibar-kibar.
"Wa'alaikumsalam." Jawabku dalam hati.
“YESSS !!!!.”
Ingin rasanya aku meloncat lalu
joged-joged, bisa bolos ngaji itu kesempatan langka, tapi apa daya, gigiku
masih sakit, akhirnya hanya bisa duduk lemas depan TV sambil menghabiskan makan
siangku tempe bacem yang belum habis, enek. Apa gunanya tidak masuk ngaji kalau
harus memelihara sakit ini.
* * * *
TOK .. TOK .. TOK ..
Seseorang mengetuk pintu rumah,
lebih tepatnya menggedor. Gigiku ikut bergetar, ngilu.
“Assalamu’alaikuummm,,.” Suara
tak asing terdengar dari balik pintu.
“Wa’alaikumsalaaammm,, masuk aja pintunya tidak dikunci !!,” malas
rasanya membuka pintu.
“Imaaannn ... ,” Si Dwi tersenyum,
Aku berusaha tidak menatap wajahnya lama-lama, masih ngeri rasanya.
“Lihat Aku bawa sesuatu buat
Kamu... ,” sebuah kresek ukuran sedang Dwi simpan diatas meja, Dia mulai
mengeluarkan isinya, susu kotak, apel hijau, roti keju, dan lima buah permen
kaki, sepertinya Dia ngerampok rumah
neneknya, makanan seperti itu tidak mungkin ada di rumahnya, mustahil ada.
“Mau yang mana dulu ?? Aku
bukain, “ Dwi tersenyum lagi, urghh.
“Emm,, yang itu,” jawabku malas
sambil menjentikkan jari telunjuk kearah susu kotak bak seorang raja. Dwi
segera pergi ke dapur dengan berlari-lari kecil.
Akhir-akhir ini Dwi suka sok baik
kalau sedang tidak ada siapa-siap, tapi tetap saja kasar kalau sedang ada teman-teman
yang lain, bikin bingung, entah apa maunya, dasar cewek.
“Ini nh buat kamu,” segelas penuh
susu disuguhkan untukku.
“Sluuurrpp... ,” segera ku habiskan sebelum Si Dwi hilang baiknya.
Tak sengaja ujung gelas menyenggol gigiku yang sakit, uurghh.
“Udah mendingan sakit giginya ?, udah
minum obat ?, kenapa ga ke PUSKESMAS sih ?,” Dwi memberikan pertanyaan
bertubi-tubi tanpa memberikan kesempatan untuk Aku menjawab, bikin kesel, gigiku makin sakit rasanya, Aku cemberut. “Siapa
tau kalau sudah berobat sakitnya bisa hilang..., entar kita bisa main..., Tau gak
kemaren sore Aku dapat lagi satu toples kelereng..., harusnya kamu ikutan...,
makanya cepet sembuh dong,“ Dwi nyerocos.
“Aku juga kepengen cepat sembuh tapi PUSKEMAS jauh, kalau saja Aku bisa, udah
aku cabut sendiri gi... .”
Aku terdiam.
“... Kenapa Man ?.”
“... .”
Entah Iblis atau malaikat yang
berbisik di pikiranku, tiba-tiba saja ide itu muncul. Aku berlari menuju teras
belakang tempat mesin jahit Mamah berada, sambil menahan sakit. Aku obrak-abrik
keranjang benang Mamah, berbagai macam warna isinya, dan akhirnya Aku pilih
benang yang helainya paling tebal, warna hitam.
Aku segera ke ruang tengah, Dwi
memandangiku keheranan.
“Kamu kenapa sih, Man ??“, Dwi bertanya tak kuhiraukan.
Aku berlari menuju kamar utama, Aku
gunting beberapa helai benang, Aku tumpuk dan disatukan menjadi helai benang
yang lebih tebal, lebih mirip seutas tali. Di depan cermin perlahan Aku ikat gigi
taringku dengan salah satu ujung benang, sakit rasanya tapi Aku tahan, mataku
berkaca-kaca. Setelah itu Aku hampiri Dwi, benang menjuntai di mulutku.
“Ikuti Aku,“ jawabku singkat, Dwi
bergegas. Kami berdua menuju ruang tamu. Aku ikatkan sisi lain benang ke gagang
pintu, erat.
“Kamu mau ngapain sih?,” Dwi
masih penasaran.
“Kamu tau Tom ??, Tom and Jerry??”,
Dwi mengangguk. “Aku pernah lihat Tom mencabut gigi dengan cara seperti ini.”
“Kalau Aku bilang dorong, maka Kamu
harus mendorong pintu ini sekeras-kerasnya!!”, tambahku.
“Emang bakal berhasil?”, Dwi heran.
“... ,” Aku terdiam sebenarnya
tidak yakin yang Aku lihat itu Si Tom atau bukan.
Tapi Aku sudah bosan dengan sakit
ini, makan apapun jadi tidak enak, susah tidur, suara keras membuatnya makin
terasa sakit. Semua serba salah, banyak gerak terasa sakit, diam pun tetap saja
sakit, uurghh, CUKUP !!!. Aku harus melakukannya sekarang, mungkin ini
satu-satunya cara agar sembuh, menunggu mamah atau Bapa membawaku PUSKESMAS
bukan pilihan tepat, entah kapan. Aku harus melakukannya sekarang, nekad.
Waktu seakan lambat berjalan, Aku
bisa merasakan detik jarum jam berputar. Seekor lalat terbang memutar dan hinggap
di kursi. Debu-debu bertebaran. Aku menahan nafas, gusiku berdeyut seirama dengan
detak jantung, DUGG-DUGG,,, DUGG-DUGG,,, DUGG-DUGG,,, . Aku memandang tajam kearah
Dwi, Aku mengangguk perlahan. Dwi pun mengangguk pelan.
“DORONG !!!!.
Bandung, 16 Februari 2016
Wah cerita Dwi dan Iman berlanjut! Cakep Man. Selalu menyenangkan :)
BalasHapusTerimakasih Mas ,,
Hapussenang rasanya membuat semua orang senang ,, hehehehe hehehehe
hehehehe :D
TEGANG BANGET!!! HAHAHAHA
BalasHapusBok gw beneran nahan nafas lho. Sequence terakhir bener-bener high tension. Gw udahlah pengen nunggu Jeiman bikin novel aja. Pendek-pendek begini aku tak berdaya menahan rasa. Lu udah berhasil banget bikin pembaca terlibat dan menyatu sama narator, sehingga penderitaan dia membawa ketegangan buat pembaca.
Yang paling bisa gw lakukan adalah memoles-moles aja sih. Sama kayak saran gw untuk Firah, setting tempat perlu lu detilkan lagi, dilabur aja sepanjang cerita. Kita sebagai orang Indonesia sih udah kebayang rumah kampung kayak apa, tapi kalo misalnya karyalu diterjemahin ke bahasa lain, mereka akan punya bayangan berbeda (dream big, boy). Kalau ke bahasa Jepang misalnya, pembacanya akan ngebayangin pintu geser. Biasanya di cerpen emang ga terlalu penting untuk terlalu detil menggambarkan setting kalau ga berpengaruh banyak ke konflik dan penyelesaiannya, tapi khusus di cerita ini, gaya arsitektur sepertinya penting. Intinya, kalau lu merasa perlu tahu model pintu rumah di cerita ini seperti apa, beri tahu. Jangan sampai ketika pembaca sampai akhir cerita, mereka kaget kalau ternyata bayangan mereka tentang pintunya ternyata salah.
Trus lu masih terkadang pindah POV mendadak (walau jaraaaaaang bgt) jadi gw rasa perlu teliti dikit. Menurut gw, Iman ga akan bisa menggambarkan dirinya sedang 'cemberut'. Cemberut biasanya adalah keadaan yang dilihat kita mengenai wajah orang lain. Lu udah cukup mengestablish bahwa si karakter lagi sakit gigi, kyknya pembaca udah familiar wajah si karakter akan bagaimana jika sedang sakit gigi. Pas lu bilang 'aku cemberut', narasilu jadi sedikit aneh.
Trus kalimat ini: "“Udah mendingan sakit giginya ?, udah minum obat ?, kenapa ga ke PUSKESMAS sih ?,” Dwi memberikan pertanyaan bertubi-tubi tanpa memberikan kesempatan untuk Aku menjawab, bikin kesel, gigiku makin sakit rasanya, Aku cemberut." rasanya agak redundant (berlebihan). Lu udah nunjukkin (show) bahwa Dwi nanya bertubi-tubi, ga perlu lu beritahu (tell) lagi. Redundancy kayak gini agak memperlambat laju cerita. Kalau lu pangkas, efeknya akan lebih kuat. Pembaca pasti akan lebih bisa ngerasain ngilunya si karakter.
Gitu aja kalo dari eke. Setuju sama mas Iq: Selalu menyenangkan!
Wah ,, iya juga yaa, harusnya gw jelasin rumahnya lebih detail :p
HapusUsaha banget bikin ending nya hahaha, alhamdulillah ada yang suka
Makasih juga buat komentarnya, Selalu menyenangkan!
Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.
Hapus