Rabu, 17 Februari 2016

[GAGANG PINTU] Ulir Ganda Biner

“Mas Dhani?”
“Betul, Pak. Silakan naik.”
“Terima kasih.”

Pengemudi Uber ini masih muda. Mungkin tidak terlalu jauh jarak usianya dengan anakku yang sulung. Aku cukup beruntung bisa segera mendapatkan kendaraan. Akhir-akhir ini layanan Uber sudah mulai susah didapatkan.

“Kebetulan tadi saya baru pulang mengantarkan anak ke sekolah. Lokasinya di dekat mobil bapak tadi mogok.” Pemuda itu meneruskan percakapan. Pembawaannya yang bersemangat membuat kepenatanku sedikit menguap.

“Iya. Saya tadi sudah khawatir bakal menunggu lama.”
“Ada masalah apa, Pak? Piranti lunak atau keras?” tanyanya, masih bersemangat.
“Sepertinya lunak. Saya sedang membaca berita pagi ini saat tiba-tiba sistem mengeluarkan peringatan dan meminggirkan mobil ke sisi jalan.”
“Ah, mobil-mobil baru. Ada saja masalahnya,” tambahnya sambil tersenyum lebar. Aku hanya bisa tersenyum kecut.

“Bapak tadi hendak menuju ke mana?” pemuda itu kembali membuka percakapan. Aku tidak keberatan. Walaupun sering kali aku lebih senang hanyut dalam lamunan.
“Rencananya saya akan ke perpustakaan pusat di balai kota,” jawabku.

Sekitar 15 menit kemudian mobil yang kutumpangi memasuki sebuah pelataran rumah di kawasan Gedebage. Aku memutuskan untuk menunggu di rumah anakku, sambil menunggu tim mekanik memperbaikinya.

“Di sini saja, Pak?”
“Ya, dik Dhani. Di sini saja cukup. Terima kasih.”
“Sama-sama, Pak!”

Pelataran rumah tampak lenggang. Nampaknya tidak ada siapa-siapa. Cucu-cucuku tentu sedang ada di sekolah. Menantuku juga pasti sudah berangkat ke kantor. Aku berharap anakku ada di rumah. Walaupun firmanya memiliki kantor sendiri, dia lebih sering bekerja di studio pribadinya di rumah. Kenapa aku tadi tidak menelepon terlebih dahulu.

“Halo, Yah. Ayah, sedang di rumah?” anakku langsung mengenali rumahnya di panggilan video.
“Iya. Ayah kira kamu tidak kemana-mana. Mobil Ayah mogok dekat dari sini. Jadi tadinya hendak menunggu di rumah kamu.”
“Langsung masuk saja, Yah. Nanti aku bukakan pintunya dari sini.”
“Oke. Terima kasih, nak.”
No problem, Yah.”
“Kamu ini di mana?”
“Di Kertajati, Yah. Sebentar lagi akan boarding. Ada urusan kantor di Taipei.”
“Oke. Hati-hati di jalan.”

Aku berjalan ke arah pintu utama. Aku segera menyadari sesuatu yang janggal. Pintu ini tidak memiliki gagang pintu. Hanya sebuah plat logam di tempat gagang pintu seharusnya berada. Bukan sesuatu yang aneh memang. Aku pernah melihat pintu-pintu seperti ini di beberapa gedung perkantoran, rumah sakit, dan di balai kota. Juga di perpustakaan yang biasa kudatangi.

Aku menekan tombol kecil bertuliskan Sistem di sudut kiri plat logam tersebut. Antarmuka hologram pintu menyala dan menampilkan video anakku, istrinya, serta kedua cucu-cucuku.

“Selamat datang, Tuan Damar Parasatya. Maaf, data genom anda belum tercatat di basis data rumah. Harap daftarkan data genom anda terlebih dahulu untuk membuka pintu dan mengakses sistem operasi rumah ini.” ujar suara dari sistem operasi rumah anakku. “Silahkan login dengan akun Facebook anda terlebih dahulu untuk memasukkan informasi DNA. Atau Anda dapat menghubungi Tuan Rangga Parasatya untuk penambahan data oleh admin. Selamat pagi, semoga hari anda menyenangkan,” sambungnya lagi.

Tadi mobilku, sekarang pintu rumah anakku. Jangan-jangan hari ini kompor atau mesin cuci juga akan berulah dan membuatku kesal.

“Halo, Yah. Sudah di dalam rumah?” Pertanyaan retorik. Tentu dia bisa melihatku masih berdiri di beranda seperti orang tua ketinggalan zaman yang kebingungan tidak tahu cara membuka pintu.
“Pintu kamu minta gen Ayah.”
“Ah, maaf. Aku lupa, Yah. Aku baru mengganti pintu utama minggu lalu. Sistem yang baru mengharuskan tersedia data genom untuk mendapat akses ke sistem operasi rumah. Nanti Ayah tinggal menempelkan telapak tangan ke plat di pintu, maka sistem akan membukakan. Ayah sudah mengunggah informasi DNA Ayah ke Facebook?”
“Apakah itu tidak terlalu pribadi untuk disimpan daring?” Aku tidak terlalu yakin dengan permintaan dalam pertanyaan anakku barusan.
“Iya sih. Tapi semua pengguna Facebook juga melakukannya kok, Yah. Dan aku percaya datanya bakal tersimpan aman. Lagipula piranti sekarang rata-rata mulai membutuhkan autentikasi genom, Yah.”

Aku masih ragu. Apakah kenyamanan dan kecepatan seberharga itu hingga orang-orang rela menyerahkan data-data pribadi mereka? Bahkan informasi sepribadi DNA, esensi utama pembentuk sebuah individu, sebuah makhluk hidup.

“Yah, aku harus segera masuk ke dalam pesawat. Ayah sudah tahu cara mengunggah informasi DNA di gawai ayah?”
“Ya, Ayah sudah pernah melakukannya di tempat praktek dokter keluarga kita. Kamu berangkat saja.”
“Oke, Yah. Nanti aku telepon lagi sesampainya di Taipei. Assalamualaikum.”
“Wa’alaikumsalam.”

Matahari meninggi. Butir-butir keringat mulai mengalir di kening. Kerongkonganku kering. Aku masih terkunci di luar oleh kecurigaanku pada teknologi. Apakah aku yang bersikap terlalu waswas ataukah teknologi yang semakin intrusif?

Masa bodoh. Informasi DNA yang kuunggah ke sistem di kantor dokter tempo hari saat ini pasti sudah tersalin di server perusahaan-perusahaan farmasi. Lalu berpindah tangan lagi ke perusahaan-perusahaan lain yang segmen pasarnya adalah orang-orang dengan profil genomikku. Mungkin perusahaan makanan yang mengincar konsumen dengan saluran pencernaan yang intoleran terhadap laktosa. Atau perusahaan-perusahaan kosmetik yang ingin menawarkan produk tonik rambut untuk melawan kebotakan. Apa salahnya jika aku membagikannya dengan satu pihak lagi?

Kudorong pintu tanpa gagang pintu tersebut. Sistem langsung mengenali keberadaanku. Penyejuk udara menyala, pada temperatur yang sama dengan yang biasa kuatur di rumah. Pemutar musik melantunkan lagu-lagu dari masa muda beberapa dasawarsa lalu. “Under The Bridge” yang dibawakan ulang oleh All Saints. Pilihan yang cukup bagus.

“Selamat datang, Tuan Damar Parasatya. Anda memiliki dua email di inbox. Anda memiliki satu pesan dari penerbit di Whatsapp anda. Informasi GPS menunjukkan kendaraan anda saat ini berada di bengkel Tesla Bandung Selatan. Perkiraan penyelesaian pemutakhiran piranti lunak dan penyesuaian perangkat keras, pukul 3 sore.”  Masih beberapa jam lagi aku harus menunggu di sini.

“Sistem, tolong buatkan satu teko Chai Masala dingin di dapur.”
“Dengan susu bebas laktosa?”
“Ya. Tambahkan sedikit taburan kayu manis. Dan tolong siapkan daftar putar film-film David Fincher di Netflix.”
“Tentu, Tuan Damar Parasatya.”

Ya, terkadang ada hal-hal yang sepadan dengan pengorbanannya.

5 komentar:

  1. karena pas awal cerita ada 'uber', tadinya saya nyangka kejadiannya dimasa sekarang :)

    BTW ,, saya lebih suka Under the bridge yg RHCP :D

    BalasHapus
  2. Cakep tuan! Simpel, mengingatkan pada Gattaca.
    Saya sama seperti manusia Jei, lebih suka RHCP punya.

    BalasHapus
  3. thanks sudah meluangkan waktu, gaes... *bow*

    aku belum lahir jaman RHCP jadi gak tau.. ehe

    BalasHapus
  4. Aku sedih ih. Kasian sama si om. Tapi asik banget. Dari segi storytelling, world building, dan karakterisasi oke banget kok om. Aku juga suka karakternya, dia mawas diri banget tapi juga sebenernya sangat intelligent, tapi mulai tertatih-tatih. Aku jadi ingin kenal lebih jauh sama dia. Bikin novelnya dong om.

    Aku lebih suka yang All Saints, walau itu lagu All Saints yang paling aku ga suka hahaha

    BalasHapus
    Balasan
    1. Terima kasih sudah menyempatkan mampir, mastah! Soal ide dijadikan novel, akan saya masukkan ke catatan-catatan penting. Kalau All Saints, itu pas nulis pas muncul lagu itu di playlist.. :D

      Hapus