Senin, 01 Februari 2016

[HUJAN] Kirana (Part 1)

Punggungnya basah, dengan bayangan horizontal hitam di torsonya. Imajiku berkelana liar merambah sudut-sudut pikiran yang sering kali aku redam. Ah aku tidak berani mendekat, khawatir jika aku tak bisa menahan diri untuk mendekapnya. Punggung itu bernama Kirana. Punggung yang selama ini aku tatap dengan harap yang tak pernah berbalas.

“Menyedihkan.” Kata sahabatku tiap kali melihat aku tergagap ketika punggung itu melintasiku.

Sesungguhnya kawanku itu tidak paham, bahwa ada hari-hari dimana Tuhan tersenyum ketika sedang menciptakan sesuatu. Dan kawan, aku beritahu rahasia, Tuhan menciptakan senja, hamparan rumput dan punggung itu di hari yang sama dengan senyum yang sama. Mahakarya yang sesungguhnya.

Harum tubuhnya dapat aku hidu dari jarak tiga meter, menari dengan bau petrichor yang menyeruak dari tanah basah. Jarang sekali aku menemukan punggung itu sendirian. Kirana adalah primadona. Tidak pernah kesepian di hari-harinya.

Dia selalu dikelilingi oleh teman-temannya yang bising. Ketika di kelas, kantin kampus, aku pun pernah melihatnya menari di sebuah klub dengan temannya yang tidak pernah ada habisnya. Menemukan Kirana sendirian, keberanianku bertambah sepersekian persen.

Aku menghampirinya. Jarak tiga meter terjauh yang pernah aku tempuh. Hingga di sampingnya aku berdehem kecil, tapi dia tidak menoleh sedikit pun. Balon keberanianku seolah meletus saat itu juga. Hening bergema lantang, menebar kerikuhan.

“Kamu pernah berjalan di bawah hujan?” tak ku kira dia bersuara dan aku tergagap karenanya.

“A..a..” sial. Kenapa sakelar di otakku tiba-tiba mati di saat seperti ini. Mana percakapan yang aku latih tiap hari?

“Aku suka berjalan di bawah hujan. Rasanya menyenangkan. Kau harusnya coba sesekali.” Lalu dia melangkah, kembali menembus tirai hujan dengan langkah perlahan.

Aku mengejarnya. Menyamai laju langkahnya. Dingin menyentuh kulitku ketika aku membuka jaketku dan menyampirkannya ke bahunya. “Setidaknya jangan sampai kau sakit.”

Dia tersenyum, tapi bukan senyum yang ingin aku lihat. Senyumnya seolah menyimpan perih yang ingin dia sembunyikan. Hening kembali datang. bergelayut di pundakku dan suasana kembali canggung. Tapi Kirana tidak mengusirku, dan aku akan melakukan apapun agar jalanan ini bertambah jauh dua kali lipat.

Aku berjalan di bawah hujan, rasanya menyenangkan terlebih karena ada Kirana. Aku membiarkannya berjalan dua langkah di depanku, hingga aku dapat menatap punggungnya. Agar dia dapat menyembunyikan tangisnya dalam hujan seperti sebelumnya.

Aku tidak tahu alasan Kirana menangis, mungkin tidak akan pernah tahu. Aku hanya akan menatap punggung itu dari belakang. Memastikan semua baik-baik saja. Bagiku ini cukup.



4 komentar:

  1. pengen bisa ungkapan-ungkapan kaya gitu untuk mendeskripsikan sesuatu.. manis bahasanya.. kaya yogurt untuk pencernaan.. melancearkan, mengenakan , menyehatkan

    BalasHapus
  2. Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.

    BalasHapus
  3. Kalo menurut gw sih, cara pembahasan suasana hati dan sebagainya sudah cukup cakep. Paling saran gw deskripsi tentang betapa cantiknya Kirana dan Tuhan menciptakan blabla itu diletakkan tidak di awal cerita tapi di tengah, diapit dengan kejadian nyata yang lagi dilakuin si narator. Kayaknya deskripsi dari luar ke dalem bakal lebih mengena ke pembaca. Gitu aja sich. Gud jab <3

    BalasHapus