Punggungnya basah, dengan bayangan horizontal hitam di
torsonya. Imajiku berkelana liar merambah sudut-sudut pikiran yang sering kali
aku redam. Ah aku tidak berani mendekat, khawatir jika aku tak bisa menahan
diri untuk mendekapnya. Punggung itu bernama Kirana. Punggung yang selama ini
aku tatap dengan harap yang tak pernah berbalas.
“Menyedihkan.” Kata sahabatku tiap kali melihat aku tergagap
ketika punggung itu melintasiku.
Sesungguhnya kawanku itu tidak paham, bahwa ada hari-hari
dimana Tuhan tersenyum ketika sedang menciptakan sesuatu. Dan kawan, aku
beritahu rahasia, Tuhan menciptakan senja, hamparan rumput dan punggung itu di
hari yang sama dengan senyum yang sama. Mahakarya yang sesungguhnya.
Harum tubuhnya dapat aku hidu dari jarak tiga meter, menari
dengan bau petrichor yang menyeruak dari tanah basah. Jarang sekali aku
menemukan punggung itu sendirian. Kirana adalah primadona. Tidak pernah
kesepian di hari-harinya.
Dia selalu dikelilingi oleh teman-temannya yang bising. Ketika
di kelas, kantin kampus, aku pun pernah melihatnya menari di sebuah klub dengan
temannya yang tidak pernah ada habisnya. Menemukan Kirana sendirian,
keberanianku bertambah sepersekian persen.
Aku menghampirinya. Jarak tiga meter terjauh yang pernah aku
tempuh. Hingga di sampingnya aku berdehem kecil, tapi dia tidak menoleh sedikit
pun. Balon keberanianku seolah meletus saat itu juga. Hening bergema lantang,
menebar kerikuhan.
“Kamu pernah berjalan di bawah hujan?” tak ku kira dia
bersuara dan aku tergagap karenanya.
“A..a..” sial. Kenapa sakelar di otakku tiba-tiba mati di
saat seperti ini. Mana percakapan yang aku latih tiap hari?
“Aku suka berjalan di bawah hujan. Rasanya menyenangkan. Kau
harusnya coba sesekali.” Lalu dia melangkah, kembali menembus tirai hujan
dengan langkah perlahan.
Aku mengejarnya. Menyamai laju langkahnya. Dingin menyentuh
kulitku ketika aku membuka jaketku dan menyampirkannya ke bahunya. “Setidaknya
jangan sampai kau sakit.”
Dia tersenyum, tapi bukan senyum yang ingin aku lihat. Senyumnya
seolah menyimpan perih yang ingin dia sembunyikan. Hening kembali datang.
bergelayut di pundakku dan suasana kembali canggung. Tapi Kirana tidak
mengusirku, dan aku akan melakukan apapun agar jalanan ini bertambah jauh dua
kali lipat.
Aku berjalan di bawah hujan, rasanya menyenangkan terlebih
karena ada Kirana. Aku membiarkannya berjalan dua langkah di depanku, hingga
aku dapat menatap punggungnya. Agar dia dapat menyembunyikan tangisnya dalam
hujan seperti sebelumnya.
Aku tidak tahu alasan Kirana menangis, mungkin tidak akan
pernah tahu. Aku hanya akan menatap punggung itu dari belakang. Memastikan
semua baik-baik saja. Bagiku ini cukup.
pengen bisa ungkapan-ungkapan kaya gitu untuk mendeskripsikan sesuatu.. manis bahasanya.. kaya yogurt untuk pencernaan.. melancearkan, mengenakan , menyehatkan
BalasHapusKomentar ini telah dihapus oleh pengarang.
BalasHapusKalo menurut gw sih, cara pembahasan suasana hati dan sebagainya sudah cukup cakep. Paling saran gw deskripsi tentang betapa cantiknya Kirana dan Tuhan menciptakan blabla itu diletakkan tidak di awal cerita tapi di tengah, diapit dengan kejadian nyata yang lagi dilakuin si narator. Kayaknya deskripsi dari luar ke dalem bakal lebih mengena ke pembaca. Gitu aja sich. Gud jab <3
BalasHapusGA NYANGKA!!!
BalasHapus