Selasa, 16 Februari 2016

[WARUNG] KIRANA (Part 3)

Tidak ada yang tau kalau di atas gedung kampus ada sudut tersembunyi di balik tower penampungan air. Setidaknya mahasiswa sini sih. Ini jadi pojokan pribadi aku kalo mau sendiri. Capek setelah mendengarkan dosen yang mengoceh tentang analisa pasar.

Angin bergemuruh bergemuruh kencang dan menulikan suara-suara bising orang-orang yang bergosip, membahas mata kuliah, atau bahkan pikiran mesum yang kadang terlalu lantang hingga aku bisa mendengarnya. Aku duduk bersila sambil terpejam berusaha menikmati alunan angin, aku bisa seharian seperti ini. 

Suara derak pintu akses mengejutkanku ketika aku sedang berada di tahap trans, atau mungkin juga setengah tertidur, entahlah, yang pasti aku terkejut mengetahui bahwa sebenarnya tempat ini tidak rahasia-rahasia amat.

Aku mendengar dengan seksama, menunggu suara-suara lain. Siapa tahu itu hanya Pak Mamat, tukang bersih-bersih yang sering kali mengabaikanku dan membiarkanku sendirian disini. Lalu setelah aku pergi, dia akan membersihkan puntung rokok yang aku buang sembarangan. Sedikit aku menjulurkan kepala untuk mengintip ketika ada satu pasang mata lagi yang ikut mengintip di hadapanku. 

"ANJING!" aku memaki keras karena jantungku jatuh ke dasar lantai. Kudengar dia juga memaki sama sepertiku.

"Lo ngapain di sini?" dia bertanya, padahal harusnya aku yang bertanya begitu. Setidaknya aku yang lebih sering kesini kan? 

"Lah emang Lo ngapain ke sini?" 

"Ngeroko." Aku berkerut mendengar jawabannya. Tapi ada benarnya sih, di dalam gedung kampus di larang merokok. Tapi, normalnya orang pergi ke kantin untuk merokok dan mengobrol bersama teman-temannya bukan malah pergi ke tempat terpencil seperti ini. Eh tapi, itu yang aku lakukan ya?

Aku masih tidak terima bahwa tempat yang aku kira hanya milikku diketahui orang lain juga, dan mengapa aku tidak pernah bertemu dengan orang ini sebelumnya? Meski wajahnya tidak asing, sih. Mungkin aku pernah bertemu dengannya di kelas.

Aku memperhatikan dia yang rikuh dan masih dalam posisi merunduk. Aku membetulkan posisi dudukku. "Duduk aja. Tapi jangan berisik. Gw jorokin ke bawah kalo berisik."

Lalu lelaki itu duduk, Menyalakan rokoknya lalu menikmati nikotin yang dia sesap. Wajahku sepertinya memerah ketika dia mendapatiku memperhatikan aku memperhatikannya. 

Sial, runtukku dalam hati ketika sulit menyulut rokokku sendiri. Ah ayolaaah.. aku mengguncang korekku dan menutupinya dengan tangan kiriku agar apinya tak terhembus angin. Lalu lelaki itu menyodorkan rokoknya yang tersulut.

Tanpa mengucap terima kasih aku mengambilnya dan menyulut rokokku sendiri.

"Dari mana Lo tau tempat ini?" aku bertanya.

Hening.

Dia tidak menjawabku sama sekali, tapi aku tahu dia mendengarku karena kepalanya berpaling.

"Eh kok ga jawab sih?"

Tanpa menoleh, dia hanya menjawab, "Gue belom mau dijorokin dari sini. Jadi mending gw diem."

Anjing! Dia membalikan omongan aku barusan.

"Lo sendiri kenapa bisa tau tempat ini?" tanyanya.

"Terus kenapa sekarang lo nanya? Kan katanya takut dijorokin." 

"Karena setelah tadi gw jawab,  lo masih belom jorokin gw. Jadi gw tau lo gal bakalan jorokin gw."

Aku menyerah dan hanya mengangkat bahuku. Aku mengeluarkan botol minumku dan menyesap sedikit. "Mau?" tawarku. Dia mengambil dan menyesapnya juga, sebelum melotot dan mengembalikan botol itu kepadaku.

"Bir? Lo sinting?"

"Lah memang gw anak SD?  Ke sekolah bekel es teh?"

Hening kembali lantang, lalu dia membuka pembicaraan. "Lo pernah merasa kalau lo gak ada?"

"Sering kali." aku menjawab tanpa berfikir. Karena memang itulah yang setiap hari aku rasakan. Tidak berguna.

"Gw heran, kenapa gw ga pernah bisa ngajak ngobrol cewe yang gw sukain, padahal umur gw udah segini."

"Eh?" lalu aku terbahak. Masih ada ya lelaki lugu seperti itu? 

"Ini serius, anjir." katanya sambil berpura-pura marah.

"Oke, anggap cewe itu kayak warung, dan lo kehausan. Ketika lo mau minum, kalo lo cuma berdiri di depan warung itu, lo bakalan dapet minum?"

Dia menggeleng. "Nah itu dia. Kalau memang lo pengen sesuatu, ya lo musti berani ngomong. Terserah hasilnya kalo warung itu jual minuman atau enggak, yang pasti lo harus ngomong supaya dia tau lo maunya apa."

"Iya sih. Gw tau, tapi rasanya gw gak berani aja."

"Anggap gw cewe yang lo suka, lo mau ngomong apa?" aku menggeser posisi dudukku menjadi ke hadapannya.

Dia kembali salah tinggah, dan semburat pembuluh darah memrah di balik pipinya. "Er, Hi, Gw Rico. bisa kenalan?"

"Ya ampuuuun. Lo ini bukan sales kartu kredit. Mending lo bilang kalo kalian satu kelas atau kalian pernah ketemu di mana gitu. biar dia tau kalo lo emang bukan orang aneh yang tiba-tiba nyamperin dia."

"Hmm gitu ya?" 

"Pokoknya lo perlu latihan lagi. Kalo gw cewe itu, gw pasti udah langsung pergi." Aku mematikan rokokku dan beranjak pergi.

"Latihan lagi ya anak muda?" aku tepuk bahunya dan berlalu meninggalkannya.

Siapa nama dia tadi? Rico? Sepertinya aku pernah melihatnya, tapi aku lupa. Mungkin kami pernah satu kelas. Tapi entahlah.


***

Ini hari pertama aku berbicara dengan Kirana, eh tidak. Kedua jika kalian hitung pada saat hujan. Tanpa aku kira aku bisa lancar berbicara dengannya. 

Mungkin aku harus lebih sering mengunjungi atap gedung kampusku. Siapa tahu Kirana ada di sana lagi.

5 komentar:

  1. Woke nih, dari semua Kirana, ini yang paling gua suka. Mungkin karena mulai berasa konteksnya kali ya, yang sebelum2nya masih ga napak rasanya.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Iya di sini mulai main sama pov Kirana sih. Jadi bikin cerita lebih utuh.

      Gaya bahasanya sih pengen berubah total, tapi susyaaah hehe.

      Hapus
    2. Iya di sini mulai main sama pov Kirana sih. Jadi bikin cerita lebih utuh.

      Gaya bahasanya sih pengen berubah total, tapi susyaaah hehe.

      Hapus
  2. Aku suka deh si Kirana. Jelas banget dia orangnya kayak apa. Contoh bagus juga nih buat unreliable character (POV pikir A, padahal kenyataannya B). Cakep kok Fir. Paling saran sih, lebih enak kalo si settingnya lebih diditelin lagi: apa yang kirana liat di sudut itu, lantainya lembap atau ngga (krn dekat penampungan air), warnanya. Segini juga udah oke sebenernya, tapi alangkah lebih asiknya kalo si setting sedikit lebih dijabarkan sembari menjabarkan sensasinya terhadap Kirana, misalnya kayak lantainya agak dingin atau dia tidak takut celananya kotor walau duduk bersila di spot itu. Good job beybeh.

    Kayaknya aku perlu curhat juga nih ke Kirana. Nampaknya dia punya skill yg kubutuhkan sekarang. Lagi gundah nih auwooo

    BalasHapus