Sabtu, 20 Februari 2016

[GAGANG PINTU] Anumerta

Sinar matahari sore yang tidak terlalu terik itu menyorot melewati lubang jendela, jatuh di atas lengannya yang terkulai. Bau rumput basah yang baru disiram diterbangkan angin sepoi-sepoi ke hidung lelaki tua itu. Masih terdengar suara penyiram rumput berputar-putar melakukan tugasnya. Ada sesuatu dengan gabungan hangatnya sinar matahari yang ia rasakan di kulitnya, suara semprotan air, dan wangi tanah basah yang membuat sekelompok sinaps di dalam otaknya menyala, memindahkan kesadarannya dari tubuh renta itu.

Mata tua yang terpejam itu bergerak-gerak, kelopaknya sedikit membuka, di periferi pandangannya warna-warna bermain, berputar, saling mengamplifikasi, saling meniadakan. Sudah cukup lama lensa matanya tidak lagi bisa mendefinisikan benda-benda di sekitarnya, korneanya kehilangan kemampuan menelusuri tekstur dan detail. Tapi fakta itu tidak penting baginya, saat ini, dia sedang melihat hal yang paling indah yang pernah ia lihat di hidupnya, dan ia tidak butuh mata untuk itu. Tanpa berkehendak, otot-otot di pipi menarik bibirnya membentuk senyuman. Seperti lapisan tipis krim di atas segelas susu hangat, di atas hembusan napasnya terdengar sebuah bisikan, "Delia.."


***


"Permisi Mbak, di sini jual buku Grafik Arsitektur karangan D.K. Ching?" mahasiswa itu bertanya. Penjaga toko yang ditanya menoleh, rambutnya yang sebahu sedikit bergerak. "Sebentar ya Mas, saya cek dulu..," katanya sambil melangkah ke arah sebuah perangkat komputer di sebuah sudut toko. Mahasiswa itu mengikutinya, memerhatikan jari-jari lentik bermain di atas papan kunci. Tak tik tak tik... bibir mungil itu terlihat membentuk kata-kata tanpa suara. Tak tik tak tik... alis mata yang tebal itu mengerenyit, mata yang tadinya bulat menyipit. Wajah berkacamata itu mendekat ke layar, lehernya yang jenjang tertarik, nadi membentuk garis biru dibalik kulitnya yang putih.

"Ada nih Mas!"

Suara tersebut membuyarkan lamunan si mahasiswa, ia melihat gadis itu menolehkan kepala dari monitor ke arahnya, sebagian dari otaknya seperti mesin memproses informasi itu, produk informasi selesai dibungkus dan keluar dari mesin untuk jatuh bergema di tengah pabrik yang kosong ditinggal makan siang oleh para pekerjanya.  Si gadis sepertinya bisa melihat gelagat apa yang terjadi, lalu melakukan apa yang biasanya tamu lakukan kalau menduga tempat yang ia tuju sedang kosong, "..permisi, Mas?" Para pekerja kembali mengisi pabrik, dan si mahasiswa menjawab "Oh, makasih Mbak, saya ambil satu ya.."

Mahasiswa itu baru saja melangkahkan satu kakinya keluar toko, tangan kirinya masih di gagang pintu, di tangan kanannya sebuah plastik berisi buku Grafik Arsitektur dan beberapa hal tak penting yang ia beli hanya supaya ia bisa sedikit lebih lama di sana. Ia terdiam sebentar, "ah, persetan..," dia berbalik arah, melangkah kembali ke dalam toko. "Maaf, saya Dano, boleh saya tau nama kamu?."

"Delia," senyuman itu bisa didengar di suaranya. Saat ini Dano belum tahu, tapi bertahun-tahun ke depan suara itu yang akan menjadi pikiran terakhir di dalam otaknya.

Esok harinya Dano datang lagi ke toko tersebut untuk membeli penggaris segitiga dan jangka, paling tidak itulah cerita yang ia pakai. Malamnya, ketika Delia keluar dari toko setelah jadwalnya selesai, ia menemukan Dano menunggunya di atas sepeda motor.

Delia mengisi liburannya dengan kerja paruh waktu di toko buku tersebut sambil menunggu pengumuman dari universitas pilihannya. Kehausannya untuk membaca membuat pekerjaan ini seperti hadiah baginya. "Harusnya aku yang ngebayar toko itu," begitu ia sering berkata pada Dano. Bagi Delia perkenalannya dengan Dano agak lucu. Delia tidak jelek, ia sadar hal itu. Beberapa orang bahkan menganggap Delia cukup cantik untuk mengajaknya berkenalan, tapi tidak pernah sebelumnya ada yang melakukannya tanpa basa-basi seperti yang dilakukan Dano. Beberapa berpura-pura kenal sebelumnya dengannya entah dari mana, ada pula yang meminta nomor teleponnya dengan alasan kalau-kalau buku yang dibeli rusak (konyol 'kan?). Hanya Dano yang tanpa tedeng aling-aling meminta namanya, selain itu Delia sepertinya sadar, pandangan laki-laki ini tak lepas dirinya, saking lekatnya Dano tak sadar bahwa  "Delia - part time" tertulis jelas di papan nama yang tersemat pada seragamnya.

Perkenalan itu dilanjutkan dengan hari-hari yang diisi dengan obrolan-obrolan, kadang ringan dan ceria kadang berat dan bermakna. Hari-hari yang berkelebat pergi.

Saat bersama Delia, Dano sering berpikir cinta itu seperti gravitasi. Ia membengkokkan ruang dan waktu, memengaruhi segala sesuatu yang ada di sekeliling yang merasakannya. Semakin besar yang mereka rasakan, semakin besar pula efeknya. Semakin ia dekat dengan Delia, semakin cepat waktu berjalan, semakin jauh semakin lambat. Ketika ia dekat dengan Delia, bahkan lubang hitam supermasif pun tak bisa mengalahkan daya di antara mereka berdua. Reaksi di antara mereka menciptakan singularitas, dan kemudian Dentuman Besar yang merobek jalinan ruang-waktu, menciptakan semesta-semesta baru.

Malam itu adalah malam terakhir liburan Delia, beberapa hari sebelumnya ia mendapatkan pengumuman bahwa ia diterima di universitas pilihannya (yang kebetulan adalah universitas tempat Dano belajar). Mereka berdua baru saja merayakannya dengan makan malam bersama, yang rencananya akan dilanjutkan dengan menonton film di bioskop. Dano baru saja menerima tiket dari loket ketika seluruh layar yang ada di mal tempat bioskop tersebut berada tiba-tiba menampilkan siaran yang sama.

"Selamat malam, mohon perhatian Anda sekalian," seorang pria paruh baya berseragam militer tertampil di layar, banyaknya medali dan tanda pangkatnya menunjukkan ia adalah orang penting. "Malam ini sekitar pukul delapan, telah pecah pertempuran di Teluk Jakarta. Negara dalam keadaan darurat." Layar-layar kini menunjukkan rekaman CCTV, langit perlahan memerah, terlihat seorang berseragam polisi memandang cakrawala, sebuah bayangan putih mendekatinya dari belakang, polisi tersebut berbalik, melepaskan beberapa tembakan dan berlari hilang dari pandangan diikuti bayangan putih tersebut. Cakrawala makin merah dan sosok-sosok mulai tampak, sebelumnya seperti gumpalan tanpa bentuk, kemudian mendekat dan individu-individu yang membentuk gumpalan tersebut mulai terlihat jelas. Tak ada suara yang keluar dari para pengunjung mal tersebut.

"Dano,.. Jakarta.. Keluargaku.. " tiga kata, dan sebuah genggaman tangan. Jemari saling mengikat, memutih karena eratnya jalinan tak mengizinkan darah mencapai mereka. Berkelebat di pikiran mereka ingatan tentang rekaman terakhir dari seberang sana. Rekaman mengerikan tentang perang yang lalu.

Delia mengaduk tasnya, tangannya meraba mencari ponsel. Layar-layar kini menunjukkan kembali pria berseragam. Mulutnya membentuk kata-kata yang bersuara tapi tak terdengar dibalik riuhnya ribuan hal yang berkelebat di otak Delia. Delia bahkan tidak menyadari kegaduhan di sekitarnya ketika siaran darurat tersebut terputus tiba-tiba, digantikan dengan statis.

Tangannya menemukan apa yang dicari, mengangkatnya. Tidak ada sinyal.

Dano memandang wajah Delia yang kini menatapnya, matanya berkaca-kaca. Ia merogoh kantongnya mengambil ponsel.

"Dano, gak ada sinyal, hapeku gak dapat sinyal. "

"Sama, hapeku juga.. Mungkin..," kalimatnya tak selesai, fakta dan asumsi seperti kepingan puzzle tersusun di kepalanya.

"Ayo kita pulang." Dano setengah menarik tangan Delia.

Pelataran parkir menjelma lautan manusia, riuh rendah suara klakson berlomba dengan suara makian dan tangisan panik dewasa dan anak-anak. Perjalanan pulang menjadi perjuangan. Beruntung mereka mengendarai motor dan berangkat pada waktunya, jalan-jalan mulai memadat, kendaraan-kendaraan tak lagi mengindahkan rambu-rambu, kemacetan yang tak terhindarkan mulai terbentuk.

Sesampainya di kos, Delia menghambur dari motor masuk ke dalam ruang tamu. Tangannya menyambar gagang pesawat telepon kabel di atas meja. Nada tunggu. Dano bisa melihat sedikit perubahan air muka Delia, kepanikan yang mencair. Jemari Delia memasukkan angka-angka di pesawat tersebut, melempar sekejap pandangan ke arah Dano. Satu detik, dua detik, air muka Delia berubah lagi, kepanikan itu kembali. Air mata meleleh di pipinya. "Tulalit Dano... Gak ada nada sambung.." suaranya bergetar dan pecah menjadi tangisan. Dano bergegas menyeberangi ruangan dan memeluk kepala Delia. Dano bisa merasakan dada kemejanya basah dan hangat, hanya itu dan hentakan sesekali dari tubuh yang ia peluk yang menandakan adanya tangisan. Tak ada suara. Dano mengecup rambut Delia.

"Antarkan aku ke travel..." suara itu terdengar setelah tangisannya mereda. Dano terdiam, terlalu banyak informasi yang ia terima malam ini, belum cukup waktu untuk memprosesnya.  "Antar aku ke travel Dano," suara itu membatu. "Delia.. jangan gegabah.. kita gak tau apa yang terjadi di sana." Tangan Delia menolak dada Dano. Sejenak Dano berusaha menahan tolakan tersebut. Sia-sia. "Tolong Dano, antar aku."

"Tunggu sebentar Delia, tunggulah sampai pagi, siapa tau ada perkembangan. Sekarang ini kita gak tau bahaya seperti apa yang terjadi di sana," bahkan saat mengucapkannya, Dano sadar dia sudah memakai kata-kata yang salah. "Justru itu Dano! Justru itu! Aku gak tau bahaya apa yang dihadapi keluargaku sekarang! Aku tau kamu gak ngerti rasanya, dan aku gak minta kamu ngerti, aku minta kamu bantu aku, antar aku biar aku bisa ketemu mereka!" Kedua kepalan tangan Delia memukul-mukul dada Dano. Kata-kata meluncur tanpa jeda.

Dano menarik kembali badan Delia ke pelukannya. Tangisan kali ini bersuara. Tangan Dano mengusap-usap punggung Delia yang kini melengkung, yang mulai meringkuk. Mengambil posisi manusia saat ia merasa paling aman: di rahim ibunya. "shh.. sayang.. aku janji antar kamu besok pagi ya, sekarang ini lebih baik kita menunggu kabar dulu, aku nyalain TV ya.." Delia mengangguk di dalam pelukannya.

Semua stasiun menghentikan acara yang seharusnya mereka siarkan dan menyatakan komunikasi dengan kantor mereka di Jakarta terputus. Jakarta menjadi zona hitam. Layar televisi menunjukkan rekaman yang mereka lihat di mal sebelumnya. Disertai asumsi-asumsi dari para pembawa acara atau teori-teori dari para 'ahli'. Teori-teori yang makin lama makin bombastis, tak jarang saling bertentangan satu sama lain. Mengagumkan, pikir Dano, bagaimana kekacauan sedahsyat ini tetap tidak memadamkan kehausan beberapa stasiun untuk mengejar rating. Setelah beberapa saat Dano mematikan televisi. Ia menemukan Delia tertidur meringkuk, kepala di pahanya.

Untuk beberapa lama Dano memandangi wajah itu tanpa suara. Menyimak bagaimana rahang tirus itu bertemu dengan leher, daun telinga, tengkuk yang ditumbuhi rambut-rambut halus. Bagaimana hidung mancung yang ujungnya membulat itu tersambung dengan bibir yang sedikit terbuka karena lelahnya, gigi putih sedikit mengintip, dan bibir itu tersambung dengan dagu. Bagaimana mata indah yang kini tertutup itu lembab karena air mata yang masih tersisa di bulu matanya yang lentik. Dan bagaimana kelelahan dan kekalutan tak mampu menghapuskan kecantikan Delia. Tanpa sadar Dano perlahan terhela ke dalam tidur. Malam itu ia bermimpi tentang sepasang kakek-nenek yang sedang bermain dengan cucu-cucunya.

Kesadaran Dano kembali bersama suara rumput yang sedang disiram. Sinar matahari masuk melalui jendela menghangatkan wajahnya. Ia membalikkan badannya dan menarik selimutnya kembali.

Selimut?

Dano terduduk, Delia! ia menolehkan kepalanya ke sekeliling ruangan. Masih ruangan yang sama dengan tadi malam, ruang tamu tempat kos Delia. Sedikit terhuyung Dano berdiri. "Delia?" panggilnya. Ia berjalan ke kamar kos Delia, menjangkau gagang pintunya, memutarnya. Pintu putih itu terbuka perlahan. Baju-baju Delia berserakan di lantai, ranjang. Pintu lemari setengah terbuka. Dano mematung, jantungnya berdegup bertambah cepat. Delia tidak ada. Ia berbalik dan berlari ke dapur, berharap menemukan Delia menyiapkan sarapan di sana.

Kosong.

Ia kembali ke ruang tamu, mengambil ponselnya. Masih tak ada sinyal. Ya Tuhan, jangan jangan jangan jangan jangan jangan jangan.. Saat itulah matanya menemukan selembar kertas merah jambu terlipat rapi di atas selimutnya. Ia membuka kertas tersebut, badannya limbung, tangannya memegang sandaran sofa, ia terduduk.

Dano tersayang..

Tulisan di surat itu dimulai. Baris-baris berikutnya makin sulit untuk ia baca, penglihatannya mengabur, kemudian kumpulan air mata pecah meleleh turun di pipinya.


***


Ruangan itu dipenuhi para pelayat. Tokoh-tokoh penting dan terpandang memberikan penghormatan terakhir pada sang pahlawan. Foto-fotonya semasa muda dalam seragam ditata bersandingan dengan dua tanda jasa Bintang Sakti yang dianugerahkan negara kepadanya.

Beberapa layar monitor menunjukkan artikel-artikel lama yang menceritakan sepak terjang almarhum, yang sedikit banyak adalah sejarah manusia dalam mempertahankan keberadaannya.

Wajahnya terlihat tenang, masih tersisa senyum di sudut bibirnya. Di dalam genggaman tangan kanannya, luput dari pandangan orang dan sesuai dengan wasiatnya, tersimpan sebuah gulungan kertas lapuk berwarna merah jambu yang semasa hidupnya tak pernah luput ia baca tiap pagi.

8 komentar:

  1. Karena sepertinya lagi ngetren bikin cerita yang ada nyambungnya dengan cerita sebelumnya, maka keluarlah cerita ini. Hehehe...
    Nyobain beberapa hal baru di sini. Ada gagang pintu literal, dan ada gagang pintu kiasan di cerita ini, ada yang bisa nebak yang mana?

    BalasHapus
    Balasan
    1. gagang pintu literal ada dua : gagang pintu toko, sama gagang pintu kosan

      gagang pintu kiasan : surat, selembar kertas merah jambu terlipat rapi

      Bener ga ?? :D

      Hapus
    2. hampir tepaat, gagang pintu yang kiasan itu seluruh kejadian yang di cerita itu sih, gagang pintu Dano dari satu jalur kehidupan ke jalur kehidupan yang lain. *tsaaah

      Hapus
  2. ntaaap... cucok nih dilanjutin jadi novel

    BalasHapus
  3. .... roooossseeebuuud .....

    Mas. Selamat. Aku berkaca-kaca bacanya (baca sambil ngaca). Cakep mas. Rapi banget. Ga ada info dump. Pas genting, aku ketakutan. Aku care sama mereka berdua. Awesome. Udahlah ...

    *nangis dulu

    BalasHapus
    Balasan
    1. Citizen Dan

      terimakasih komennya. jangan-jangan ini genre gua? romansa berlatar belakang perang? XD

      Hapus
  4. Ih kok gw ga bisa mencet tombol 'Balas' ya. Iya nih mas selaluuuu perang2an

    BalasHapus