Minggu, 14 Februari 2016

[GAGANG PINTU] Burung Kecil



Bau basah menghentak  Dami terbangun, dia menarik nafas dalam dan mengerjap-ngerjapkan matanya terbuka. Dinginnya lantai menusuk bagian depan tubuhnya, dan ketika dia berusaha membangkitkan dirinya, otot-ototnya protes. Setelah berhasil bersimpuh, dia melihat sekelilingnya. Perlahan pandangannya terfokus. Satu-satunya lampu bohlam di atas ruangan ini berkedip-kedip untuk akhirnya menyala dengan konsisten. Masih terlalu redup, tapi cukup untuk Dami melihat tekstur dan warna temboknya yang biru keabuan.

Ini gudangku. Tapi kenapa kosong? Kabut tipis menggantung, dan nafasnya mengeluarkan uap putih.

Walau punggung, tangan, dan kakinya sakit, Dami berhasil berdiri tegak. Kepalanya berputar. Aku pingsan? Berapa lama?  Terhuyung-huyung dia mendekati satu-satunya pintu di tengah sisi tembok di hadapannya, meraba-raba letak gagang pintunya. Tidak ada gagang pintunya. Dia mundur beberapa langkah untuk berkonsentrasi melihat ke keseluruhan pintu coklat, berpikir mungkin letak gagangnya bukan di tempat biasanya gagang berada. Dia jarang masuk ke gudang ini, jadi mungkin dia lupa dimana gagang pintunya berada.

Dia sekali lagi berputar, sambil melihat ke atas dan ke bawah, ke kiri dan ke kanan. Kepalanya masih berputar, dan pandangannya berbayang jika dia bergerak terlalu cepat. Ketika dia kembali menghadap pintu, daun pintunya sudah hilang. Lorong rumahnya tampil di balik pintu itu. Ruangan berwarna persik dengan pencahayaan keemasan. Eva yang memilih warna ini. Dami tidak terlalu suka, karena warnanya terlalu jinak. Terlalu ‘dewasa’. Terlalu membosankan. Tidak ‘spontan’.

“Eva?” dia berusaha berteriak, tapi ternyata dia serak. Kenapa aku bangun di sini? Apa Alex dan yang lain mengantarku ke sini? Terlepas dari cahaya hangat lorong rumahnya, dia masih merasa kedinginan. Ada lagu kesukaannya terdengar samar samar: Lalalalala … .



“Eva?” kali ini suaranya lebih jelas. Dia mencium wangi sup kacang merah. Pinggang bagian belakangnya menusuk setiap dia berusaha melangkah. Dami berusaha menopang tubuhnya dengan berpegangan ke tembok, yang dipenuhi dengan gambar-gambar krayon Sandra, putrinya. Dinginnya tembok membuat Dami terkejut sedikit, untuk kemudian kembali menyentuhnya kembali dengan ujung-ujung jarinya. Dia mendengar kegaduhan biasa Eva memasak, tapi Eva tidak menjawab panggilannya. Mungkin Eva tak mendengarnya. Dia akan menghampiri Eva di dapur dan bertanya apa yang terjadi.

Dami menuruni tangga di tengah lorong, diantara kamar Sandra dan adik bayinya, si kecil Bob. Lutut-lututnya perih setiap kali dia menuruni anak-anak tangga. Dia melihat foto-foto yang dipajang di dinding samping tangga. Foto-foto keluarganya. Dia tidak bisa melihat foto-foto di situ dengan baik. Sebagian karena sakit di seluruh tubuhnya, sebagian lagi karena perasaan berputar di kepalanya yang datang dan pergi.

“Halo, Alex?” suara Eva terdengar dari dapur. Alex? Apa urusan Eva dengan Alex?

“Eva?” kali ini Dami sedikit berteriak.

“Alex? Di mana kalian?” Eva tidak menjawab panggilannya, “belum. Sudah sejam yang lalu? Apa ada yang mengantarnya?” Suara Alex tidak terdengar, Eva hanya meneleponnya. Dami mendekat ke pintu dapur, mencoba membukanya, untuk menemukan bahwa gagangnya lenyap lagi. Dami memukul bagian pintu yang seharusnya bergagang, lalu menggedor-gedor bagian lain dari pintu itu.

“Eva!”

“Iya, aku tidak bisa menelepon dia … dari jam sepuluh?”

“EVA!”

Pintu dapur terbuka lebar. Eva tidak ada di sana. Dapurnya juga tidak ada di sana. Dami kembali berdiri di lorong atas, ditemani bunyi detak jam yang semakin lama semakin keras. Jam dinding di ujung lorong menunjukkan angka sepuluh. Lengan detiknya berusaha maju, tapi hanya berdetak di tempat. Tik tok tik tok tik tok. “Eva!!” dia berteriak lagi. Kali ini suaranya terlalu nyaring sehingga gambar-gambar krayon di dinding koridor berjatuhan ke lantai.

“Mama, papa belum pulang?” suara Sandra terdengar dari kamarnya. Dami melawan sakit di sendi-sendinya untuk berlari ke kamar Sandra dan Bob. Di sudut matanya dia melihat gambar-gambar Sandra di lantai bergetar-getar dalam kertas masing-masing.

“Sandra! Papa di sini. Papa sudah pulang!” teriak Dami sambil mendekati pintu kamar Sandra. Suara jam dinding bertambah kencang. Jarumnya tetap diam di angka sepuluh, berusaha berontak maju.

“Mama, papa belum pulang?”

“…dari jam sepuluh?”

“Halo, Alex?”

Lalalalali … Burung kecil … .

“…sudah sejam yang lalu?”

“Mama, papa belum pulang?”

Pintu kamar Sandra tidak punya gagang pintu lagi. Dami berusaha menggedornya sambil memanggil nama putrinya.

“Mama, papa belum pu…”

Pintu kamar Sandra terbuka dan Dami menemukan dirinya di pelataran parkir Bar 56. Daerah itu agak terlalu remang-remang. Hanya ada lampu kuning, merah dan biru di beberapa titik di horizon. Dami merasakan kelegaan setelah di dalam bar tadi dia harus berjibaku dengan asap rokok. Dia malas sekali pulang. Ini malam Sabtu, hak dia untuk berlama-lama minum dengan teman-temannya. Tapi Eva memaksa dia untuk ada di rumah jam sepuluh nanti. Dia berjanji membuatkan sup kacang merah jika sekali saja Dami tidak pulang terlalu malam.

Dia membuka telepon genggamnya. 9:30 PM. Masih terlalu pagi. Eva. Aku sayang kamu dan anak-anak kita. Tapi aku tidak bisa menyangkal bahwa kalian membuat hidupku membosankan. Warna-warni lampu di horizon mengalun dalam pola angka delapan. Dami bersenandung sesuai lagu yang sedang diputar di dalam bar, dia tersenyum ketika liriknya sampai di bagian yang dia sukai: Lalalalala… lalalala lii… burung kecil hinggap di atas Henry Lee… .

“Hey, Dam. Kamu mabuk. Yakin tidak mau tunggu sebentar lagi?” Alex menggenggam tangan Dami ketika Dami mulai melangkah ke mobilnya, “Aku panggilkan Uber, ya. Tinggalkan dulu mobilmu di sini. Aku pastikan nanti mereka akan menjaganya.”

“Tidak usah. Belum semabuk itu.”

“Tunggu, aku ambil jaketku dulu. Biar aku yang antar. Kamu diam di situ!” Alex berlari masuk ke dalam bar.  Dami ingat bahwa dia sebal dengan Alex malam itu. Sikapnya yang sok perhatian pada teman. Aku bisa menghandle keluargaku kok Alex. Lihat saja nanti aku tunjukkan kalau mereka tidak menghentikan kemampuan aku untuk bersenang-senang…

Dami ingat dia dengan kesal berlari ke mobilnya. Dami ingat dia dengan kesal membuka pintu mobilnya, dan menutupnya. Dami ingat dia menyalakan mesinnya…

Tapi dia tidak ingat apa-apa lagi.

Dia tidak ingat siapa yang berkata “papa belum pulang”. Dia tidak ingat siapa yang bilang “dari jam sepuluh.” Dia tidak ingat lagi lorong-lorong bercahaya keemasan dan bau sop kacang merah.

Lalalalala … Lalalalali … Burung kecil hinggap di atas Henry Lee… .

6 komentar:

  1. eh wait,,ini ada lanjutannya kan yaa? aaah terlalu lena di penuturan sampai gak sadar sudah bertemu akhir.

    nais job! me likey

    BalasHapus
  2. kasih nilai dooong kalo sukaaa. sayangnya ga ada lanjutan euy

    BalasHapus
  3. Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.

    BalasHapus
  4. Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.

    BalasHapus
  5. itu gambarnya dari teaser game nya Silent Hill ya? gim syerem.. :((

    BalasHapus
    Balasan
    1. ahelah duplikat komen kok ampe 3 kali *facepalm*

      Hapus