Senin, 15 Februari 2016

[WARUNG] Depan Sekolah

“Riri!” panggil seorang anak perempuan yang duduk di bangku sebelah ku sejak kelas 3 sampai kelas 5 SD, Mila. Tergopoh-gopoh ia lari ke arah ku dari kantin dilorong sekolah yang berada dibelakang ku saat ini. Anak itu ukuran badannya lebih gede dua kali badan ku. Ia hanya mengenakan jepitan berwarna merah muda pada bagian poni di rambutnya yang sepundak dan berwarna sedikit merah kering karena terbakar matahari itu. Kulitnya pun sedikit lebih gelap dari kulit ku yang jarang sekali bermain diluar rumah.

“Ntar siang, lu bakalan maen ke rumahnya si Wendy gak?” ucapnya sambil berusaha membuka bungkus chiki yang isinya bulat-bulat rasa keju, snack yang paling males aku makan karena remah-remah dan bumbunya sering bikin jari lengket itu. “Dia mau rujak-an katanya, hmm... si Wika dan Siti juga ikutan”, krius krius... lanjut dia sambil menyebutkan beberapa nama teman sekelas ku yang lain dan mulai memakan chiki itu. Terlihat sedikit bumbu kering yang belum tercampur liur berhamburan keluar terlempar udara dari dalam mulutnya. Aku bergerak agak mundur, pura-pura berfikir. Supaya dia ngga terlalu nyadar kalo sebenarnya aku sedang menghindar dari semburan itu.

“hmh... Gua ga bisa deh kayaknya, Bokap nyuruh gua balik cepet hari ini soalnya...” jawab ku sembari menarik bibir bawah ku ke atas.
“Yaah... elu maah, pulang cepet mulu siiih... Ya udah, ntar gua ajak yang laen aja deh, mayan nambahin duit patungan buat beli cabe”, balas Mila sambil tetap makan chiki cepat-cepat dan berjalan disebelah ku, masuk ke ruang kelas 5A. Jam istirahat baru saja selesai.

“Sori ya, Mil hehe”, cengir aku yang aku jalan ke jalur kiri meja barisan ke dua dari pintu, sedang Mila ke sebelah kanannya.

“Iye iye”, ia menepuk-nepuk tangannya yang lengket dan mengelapnya dengan rok sekolah. Kami duduk di urutan ke tiga dari meja paling depan. Beberapa menit kemudian, guru bahasa Indonesia masuk kedalam ruangan. Pelajaran dimulai kami mendengarkan penjelasan sang guru. Tak jauh dari tempat guru berdiri, ada sebuah kalender berukuran cukup besar tertempel di dinding. 

6 July 1999. Aku melamun ke arah kalender itu, menghitung sudah hampir 3 minggu aku pulang dijemput kakak pertama ku, Mas Reza, sepulangnya dari kerja.

***

Bukannya aku tidak pernah main keluyuran seusai pulang sekolah sebelumnya, bukan juga karena Bapak ku orang strict yang selalu menyuruhku pulang tepat waktu.

Beberapa waktu lalu, kakak ke dua ku yang bernama Reno yang saat ini masih duduk dibangku SMP kelas 11, melaporkan suatu kejadian yang baru dialami olehnya ke Bapak. Ia bertemu seorang pria paruh baya dengan medok jawa yang kuat, tanpa basa-basi tiba-tiba memakinya dan bersikeras untuk tahu dimana sekolah ku berada. Kenapa orang itu mau tahu tentang sekolah ku? Kenapa nggak minta secara baik-baik tapi malah mengancam kakak ku untuk tidak berbohong? Saat mendengar itu kami sedikit lega, mas Reno baik-baik saja. 
  
Tak lama setelah kejadian itu, akhirnya kami mengetahui identitas pria tersebut dari seorang tetangga yang melihat ia mondar-mandir disekitar rumah sebelum bertemu dengan mas Reno. Priyanto namanya. Seorang mantan anak buah Ibu ku yang memiliki pabrik pengolah batok kelapa di Jakarta dan sekitarnya. Sudah lama Mas Pri ini tidak bekerja di tempat ibu. Kami kurang tahu ada masalah apa, karena sudah 3 bulan Ibu pergi untuk dinas ke Sulawesi. 

Aneh rasanya jika orang ini malah mencari aku yang hanya seorang anak bungsu di keluarga kami... Dari ke anehan inilah, Bapak menyuruh ku untuk lebih berhati-hati dan segera pulang ke rumah seusai pulang sekolah. Untung saja sebelumnya mas Reno sengaja berbohong saat ditanya letak sekolah ku, ia memberi alamat di daerah yang cukup jauh dari alamat yang sebenarnya. Bapak juga sedikit kesulitan ketika berusaha mencari keberadaan orang itu. Jika memang benar ada masalah, kenapa tidak dibicarakan secara dewasa dan baik-baik.

Huh... Urusan orang dewasa. Kalo bukan karena itu, aku bisa saja bermain dengan teman-teman ku sekarang. Walau sebenarnya males juga sih, pergi main bersama mereka. Selain Mila yang anaknya santai dan nggak milih-milih teman itu, Wendy, Wika dan Siti masuk kedalam geng buli... Mereka bertiga bukan anak kelas 5 yang paling pinter atau paling kaya. Mereka mengaku sebagai golongan kelas menengah yang nggak belagu dan ngga sombong. Walau menurut aku yang baru pindah ke sekolah ini dari kelas 3, mereka cukup ngebuli dan bikin sakit ati. 

Kenapa aku masih temenan ama mereka? Yaah... biar aman aku tetep netral dan tabah sampai lulus nanti. Selama nggak disuruh minum air kumur-kumur mulut mereka seperti tahun lalu, aku bisa tahan kayaknya. Setelah sempet mencoba sebelumnya, sendiri ngga punya temen selama di sekolah itu cukup berat. Apalagi kalo ada tugas kelompok. Yeah, liat ntar... kalo sudah SMP nanti, aku mah ogah kenal sama mereka lagi.

Lelah memikirkan banyak hal, aku menguap berkali-kali. Walau sempat melamun, catatan di buku tulis tetep sesuai dengan tulisan guru di papan tulis. Kelas sebelum jam 12 itu membosankan dan bikin ngantuk. Disisi lain ada rasa semangat untuk menunggu jam pulang tiba~

11:30.

Waw, waktu yang sebentar itu terasa cukup lama. Sebagian anak sudah mulai diresahkan oleh rasa ngantuk yang luar biasa. Ada yang menggerakkan kakinya naik turun karena tidak sabar... Ada yang terlihat lupa waktu dengan asik menggambar dilembar paling belakang dari buku catatan. Ada yang mulai berat menahan kepalanya dan berusaha menahan dagu mereka dengan tangan yang  dilipat datas meja. Ada pula yang sibuk berbisik ke teman sebangkunya, mungkin mereka tengah bergosip soal waktu yang nggak segera berganti seperti ini, "huuh setengah jam lagi...!" "Aku capek, mau pulang mau tidur", walau nanti akhirnya gak langsung tidur tapi malah maen hahaha, "Coba gua bisa muter jam diseluruh dunia, jadi bisa pulang cepet". 

Asik membuat dialog palsu dari percakapan mereka yang tidak bisa aku dengarkan, aku melirik ke arah Mila yang duduk disebelah ku. 
...
Aku hampir terjungkal melihat ekspresi wajahnya, matanya yang bundar tengah mengunci jam yang dipasang tepat diatas papan tulis. Tegang sekali raut mukanya itu. Sesekali ia terlihat sedang menahan nafas lalu setetes dua tetes keringat yang meluncur bebas dari keningnya.

"Mil, elo kenapaa...?" bisikku, insya Allah pelan supaya ga kedengeran guru di depan. Mila tidak memutar kepalanya sedikit pun untuk melihat ku. Mata besarnya yang terbuka lebar itu terus mengamati benda penunjuk waktu yang terpasang sekitar 1 meter diatas tempat guru berdiri. Ia membuka mulutnya, berbicara tanpa suara, aku mengikuti gerak bibirnya,

"Gu.. a, ha us".

11:50.

Hampir mati aku nahan ketawa. Kalo boleh aku ingin lari diatas meja ke tempat guru mengajar kemudian tertawa terpingkal-pingkal sambil menunjuk-nunjuk ke arah guru, tanpa alasan yang jelas. Walau sebenarnya yang aku tertawakan adalah Mila, namun aku ingin sesekali bisa melakukan hal yang lebay untuk sesuatu yang ngga jelas seperti itu. Dan hal tersebut tidak pernah terjadi. Aku hanya prihatin dan terhibur akan teman ku yang sedang dipisahkan dari hal yang ia sukai, es teh manis. Salahnya sendiri, dia makan cemilan kering sebelum masuk kelas... walau sebenarnya ngga tahan minum dalam waktu 1 jam itu cukup berlebihan menurut ku. 

"Es... Teh, se ger, di ngin lewat tenggorokan...", bisikku sambil menyengir lebar ke arah nya. Ia hanya mendengus, protes akan bantuan imajinasi dari ku. Sedang asik ngelihat ekspresi Mila yang berubah-ubah itu, tiba-tiba guru TU mengetuk pintu dari luar. Kami serentak menoleh ke arah guru tersebut. Ia berbicara sangat pelan sambil memberi isyarat untuk keluar sebentar. Ketika guru keluar, kelas langsung meledak dari ketenangan palsunya. Semua anak langsung asik berbicara dan mengulet karena pegal.

"Eh eh, ini bakal pulang cepet yak?" ucap Mila kepada ku,
"Ya kali, Mil... 10 menit lagi, rugi amat pulang cepetnya jam segini hahaha", balas ku sambil geleng-geleng.

Baru saja aku hendak menggoda Mila dengan imajinasi es teh lagi, kedua guru tadi mulai masuk ke ruang kelas. Kami mendadak berpose ala murid yang rajin, nyatet.

"Ri", aku kaget dan langsung menoleh ke arah guru bahasa Indonesia yang sudah berdiri disebelah meja ku. "Ikut ibu ke ruang guru sebentar". Semua anak menoleh ke arah ku. Jantung ku berdebar sangat cepat, kenapa tiba-tiba...?

Sedikit linglung aku mengikuti langkah kedua guru ke ruangan yang lumayan dihindari anak-anak di sekolah. Aku panik? entah lah. Rasanya seperti ketinggalan buku PR di rumah padahal guru sudah masuk ke ruangan kelas. Sesadarnya aku dari bengong sepanjang jalan, punggung ku di tepuk perlahan oleh guru TU untuk masuk ke dalam ruang guru.

Seketika aku merasa mau muntah melihat para guru berkumpul didalam ruangan di dekat kepala sekolah berdiri. Tangan ku dingin meremas kedua sisi rok merah ku, mau lari rasanya atau segera pingsan. Kini giliran aku yang tegang. Kepala sekolah menghampiriku,

"Riri, bapak mau nanya nih... Kamu sekarang kalo pulang di jemput sama kakak mu kan?" tanya kepala sekolah kepada ku. Aku spontan mengangguk dan bilang "iya" sambil sedikit tersendak air ludah. "Hmm... Gini, Ri, bapak sempat dititipi pesan oleh ayah mu waktu itu... Kalo ada yang mengaku sebagai orang suruhan ayah mu untuk menjemput kamu pulang sekolah, bapak guru harus segera ngasih tahu dan nahan kamu, sampai kakak mu datang menjemput". Jelas kepala sekolah.

"..."
"Ngg... emangnya, ada yang dateng ya pak?" tanya ku ragu-ragu, pelan-pelan aku melihat wajah para guru yang terlihat terlalu serius itu.

"Iya", duh dada ku sesak... Jawaban yang paling enggan aku dengar. "Kelihatannya mereka masih nunggu di warung seberang jalan itu, kamu bisa ngintip dari jendela sini", lanjut kepala sekolah sambil mengarahkan aku ke jendela yang menghadap ke luar ruangan. Aku mengintip perlahan... Warung yang berada di seberang jalan dua jalur dari depan sekolah ku itu cukup besar dan menjual berbagai macam kelengkapan alat tulis, mainan, juga jajanan agak mahal seperti chiki dua ribuan dan eskrim.

Terkadang, kalo kakak atau bapak datang menjemput, aku minta dibelikan beberapa barang dagangannya yang tidak cukup dibeli hanya dengan uang jajan sehari-hari. Biasanya warung tersebut menjadi tempat 'cuci mata' anak-anak sekolah yang mampir hanya untuk sekedar melihat-lihat dan berharap dapat membeli dagangan ditempat itu. Namun kali ini, aku melihat dari kejauhan warung yang di halaman depannya dihiasi oleh dua buah tanaman di dalam pot besar itu dengan perasaan was was. Aku menahan nafas...
Tepat dibalik tanaman paling kiri, aku melihat seorang wanita dewasa duduk menghadap sekolah kami dan seorang pria dewasa di sebelah kirinya, berdiri. Yang membuat aku makin lemas, mereka membawa 1 tas baju yang cukup besar sementara di depan warung itu hanya ada mereka berdua, kakak ku belum datang. Mereka mau apaaa...?!

"Pak...! Dua orang itu udah saya lihat dari 3 hari kemaren di sana..." Ucap ku sambil terus melihat keluar jendela, "saya sempat lihat mereka, mas-mas itu pernah ngelihat saya..." Nafas ku terburu-buru, tangan ku mulai gemetaran. Kepala sekolah menepuk pundak ku perlahan.

"Kamu ga usah panik, tenang saja. Bapak memang belum bisa mengambil tindakan apa-apa karena tidak tahu duduk permasalahannya. Kita bisa tunggu kakak kamu sampai datang dan kalo nanti ada apa-apa, biar guru-guru yang menanganinya". Ia mengisyaratkan guru bahasa Indonesia untuk membawa aku kembali ke ruang kelas untuk mengambil barang-barang dan tas ku. Aku tidak mengerti banyak hal, aku tidak mengerti bagai mana cara orang dewasa menyelesaikan masalah itu... Aku hanya berjalan lunglai menuju ruang kelas.

12:15.

Bel pun berbunyi. Lewat 15 menit, teman-teman melihat aku dan guru yang masuk ke dalam ruangan. Mereka pasti mengira, urusan ku lah penyebab bel pulang tak kunjung berbunyi. Sampai di tempat duduk, selera humor ku terhadap Mila sudah terbang entah kemana, 

"Ri, loe kenapa sampai lama banget?" Tanya Mila melihat diri ku yang sedang menekuk muka.
"... Ada yang mau nyulik gua..." Ungkap ku pelan tanpa berfikir, pelan sekali.
"ANJENG?! ADA YANG MAU NYULIK ELOO?!" Jerit Mila lebih ngga mikir lagi. Aku kaget. Kontan anak-anak satu kelas melihat ke arah ku. Err... Hello, aku ingin melambaikan tangan sambil nyengir pasrah nerima serbuan teman sekelas yang mendadak jadi reporter ini.

"Kenapa Ri?"
"Nyulik? Nyulik apa??"
"Hah? Loe ngapain ampe harus diculik segala?”
“Ohh, jadi bel telat gara-gara elo…”
“…kawin lari?”

...dan lain sebagainya. Sekejap mereka berhenti setelah guru memberikan aba-aba untuk diam. “Tenang semuanya, ini biar diurus sama bapak dan ibu guru... memang orang ga dikenal yang ingin menjemput Riri. Tapi kalian pulang ga usah ribut, supaya orang-orang itu ga nyadar kalo kita mau mengamankan Riri, sampai kakaknya datang menjemput”. Ucap guru meredakan amuk media massa. Beberapa teman tetap berada disekitar ku untuk berusaha mendapatkan cerita yang lebih jelas dari ku. Mau ga mau pun aku menjelaskan garis besarnya ke mereka.

“Ri, gua bakal cabut duluan, nanti gua cegat abang loe dari tempat biasa dia dateng, dari jalan sebelah sana kan? Ntar gua kasi tau dia, kalo ada yang mau nyulik elo itu. Biar dia siap gitu loh”, ujar seorang anak laki-laki paling gendut namun paling lucu satu kelas, Sandy.
“Gua juga ikutan deh”, Wika nimbrung ga mau kalah.

“Cuy! Gua curiga, dia nandain elo dari tas elo... Gimana kalo kita tukeran tas? Jadi dia terkecoh deh... ga nemuin elo”, tambah Wendy yang kebanyakan baca komik detektif kuntet yang populer itu.

“Eit tunggu, kalo yang lain gua rasa ga masalah... Tapi ntar loe bisa diuber-uber mereka lho”, ucap ku takut Wendy kelanjur keasikan.

“Dih, nyantei... gua kan larinya paling cepet. Lagian gua bakalan berombong ama anak-anak yang laen, kalo mereka mancem-macem gua bakalan tereak heboh, jaminan mutu! Ntar kita ketemuan lagi kalo udah beres”, balas Wendy ga masuk akal. Tapi akhirnya kami tetap bertukar tas dan ia meminjami aku topi sekolahnya untuk aku pakai nanti.

“Gua ama Mila bakal jaga disini ya, secara badan kita paling gede”, Siti pun ikut berbicara. Oke, Aku anak-anak seperti mereka. Tapi aku ngga ngerasa bakal berfikir se-ajaib itu.

Tak lama, Sandy dan Wika yang mau mencegat mas Reza sudah tidak kelihatan. Wendy pun dengan semangat beranjak dari kursinya dan menuju rombongan teman-temannya yang lain. Aku cuman cengengesan sedikit, semua terasa berjalan cukup cepat sampai aku lupa akan ketakutan ku yang muncul di awal tadi.

Sekilas aku mendengar percakapan guru Bahasa Indonesia dan guru TU,“...hmm sempet ngamuk tadi...” mereka berbicara cukup pelan, “kena tipu katanya...” kurang lebih itulah yang dapat aku dengar. Aku yakin mereka berusaha untuk tidak melibatkan ku akan masalah pelik seperti ini. Namun aku dapat mengambil sedikit kesimpulan.

Orang-orang itu sempat masuk ke ruang guru dan menanyakan prihal kepulangan ku karena disuruh orang tua ku untuk menjemput aku. Kemudian, pihak sekolah yang sudah dititipi pesan oleh bapak ku sebelumnya, menolak untuk memulangkan aku lebih dulu, hingga akhirnya orang-orang itu marah dan melampiaskan segala masalahnya di ruang guru. Entah hal apa yang mereka bicarakan soal keluarga ku, aku sudah terlalu bingung. Terlalu banyak hal berlebihan dan menyeramkan yang telah aku bayangkan selagi diam berfikir.

Sekolah masih ramai lalu lalang anak-anak kelas lain yang tengah sibuk membersihkan ruang kelas sebelum sekolah di tutup. Sebagian dari mereka juga menunggu jemputan masing-masing datang. Tak lama, Sandy dan Wika masuk ke ruang kelas, mereka terlihat habis berjalan cepat. Aku langsung menghampiri mereka, untuk tahu apa yang terjadi.

“Rii! Untung gua dan Wika cepet keluar tadi, abang loe belon sempet ketemu mereka di warung, lagi jalan ke arah warung”, jelas Sandy sambil kesulitan untuk menenangkan nafasnya. “Abang loe minta supaya elo keluar sekolah lewat belakang aja, terus nunggu di kantor kelurahan sebelah, sampe dia selesai ngobrol sama orang-orang itu”, lanjut Sandy sambil menunjuk bangunan yang adalah kantor kelurahan di sebelah kanan sekolah. Bangunan itu memiliki akses ke belakang sekolah, jadi aku bisa diam-diam keluar tanpa diketahui mereka. Aku lihat Wika berusaha menjelaskan soal itu kepada para guru dan mereka pun mengerti dengan menyuruh ku untuk segera bersiap-siap.

“Kamu sebisa mungkin untuk ngga kelihatan sama mereka, kalian temenin Riri ke belakang ya, Ibu akan kasih tau guru yang lain untuk mantau dari ruang guru paling depan”, kata guru Bahasa Indonesia ketika melihat aku sudah siap.

“Eh, kita bagi dua, sebagian bergerombol menuju gerbang depan, sebagian anter Riri ke belakang tapi sedikit ambil jarak, supaya ngga keliatan ama mereka”, ucap seorang anak yang masih berada di dalam kelas. Kalo aku perhatikan, hampir semua anak di kelas ku tidak langsung pulang, mereka masih berkumpul dan menunggu aba-aba jika dibutuhkan. Ketika semua siap, aku bergegas ke belakang dengan jalan sedikit menunduk. Kebetulan beberapa adik kelas baru selesai membereskan tugas piket sehingga lorong sekolah terlihat cukup penuh. Grup yang menuju depan, spontan meminta murid kelas lain untuk memenuhi bagian luar lorong sekolah, berpura-pura berdesakkan. Sedang grup yang menuju belakang bergerak cepat dan meminta untuk dibukakan jalan.

“Dek, dek… kalian jalan di sebelah sini ya, yang rapet... tutupin kakak yang itu”, ujar grup depan,
“Misi, misi kita kudu lari cepet biar ga keliatan nih”, dari grup belakang sambil menunduk.

Aku terus berlari. Entah kenapa ketakutan tadi serasa mimpi, sesekali aku menengok kebelakang, aku menyaksikan hal yang lebih keren dari sekedar film aksi di TV. Mereka serius sekali... sedangkan di bagian depan ku, mereka sibuk mengarahkan aku lewat jalan setapak menuju gedung sebelah. Aku berusaha merekam semua adegan ini dengan seksama, dan suatu saat akan diputar kembali ke dalam adegan slow motion seperti acara-acara dramatis di TV. Aku merasakan kebahagiaan yang unik dalam pelarian ini... Mereka bisa seperti ini...!

***

Sesampainya di kantor kelurahan, aku dan beberapa teman jongkok di balik semak-semak, kami melihat dari jauh mas Reza yang sedang berkutat dalam pembicaraan yang rumit di depan warung. Sesekali aku lihat bapak pemilik warung sengaja keluar dari tokonya sembari berkecak pinggang. Terlihat berjaga-jaga jika ada hal yang tidak baik terjadi di depan warungnya itu. Dugaan ku, mas Priyanto itu tengah memaki-maki dihadapan mas Reza yang berusaha tenang dan tersenyum.

Sambil menunggu, aku menjelaskan situasi yang aku bisa pahami saat ini ke beberapa teman ku di sana. Tentang siapa mereka, sejak kapan mereka mulai mencari ku, alasan aku selalu pulang di jemput dan ketidak tahuan ku tentang permasalahan sesungguhnya, bahkan aku merasa tidak pernah bertemu dengan orang-orang ini. Sebagian dari temanku pamit untuk pulang seusai mendengar penjelasan dari ku. Mereka menyuruh ku untuk berhati-hati. Sebagian lagi menunggu sampai kakak ku datang menjemput.

Ah... Bagai mana aku bisa melupakan kalian kalo kejadian seperti ini dapat aku alami… Padahal, sebelumnya aku berfikir untuk meninggalkan kenangan di sekolah dasar karena tidak ada hal baik yang terjadi di dalamnya. Saat aku sedang menghembuskan nafas lega, Mila menarik lengan baju ku dan berkata “Ri, itu abang loe dah kelar, dia tadi sempet ke kuang guru dulu...” aku spontan melihat ke arah dimana mas Reza sedang berjalan menuju tempat ku. Dua orang yang diduga hendak menculik ku pun sudah tidak kelihatan.
Oh wow, syukurlah tidak terjadi hal mengerikan disana. “Dik, ayok kita pulang juga”, ucap mas Reza sesampainya ditempat ku. “Teman-temannya Riri, makasih banyak yaa sudah bantu ngejagain Riri. Kalian hebat banget”, kataya lagi sembari tersenyum tulus.

“Iyah kak! Ri, gue balik juga ya, itu si Wendy dateng buat tukeran tas lagi tuh”, ucap Mila diikuti dengan Sandy yang menunjuk ke arah Wendy.
“Yuk ah, eh kalian kalo ada yang mau ikut rujakan, yuk di tempat Wendy! Kita patungan...” kata Siti sambil menepuk pundak ku, “besok-besok, kalo udah aman, loe ikutan rujakan lagi ama kita-kita ya, Ri”.
“Duluan ya Ri dan kakaknya”, pamit Wika.

“Iyah! Makasih ya semuanyaa!” seru ku serya melambaikan tangan dengan semangat. Aku merasa luar biasa tenang kali ini. Kami pun bubar dari kantor kelurahan itu.

Dalam perjalanan pulang, Mas Reza bercerita kalo ia sudah menjelaskan permasalahan ini ke pihak sekolah ku usai berhadapan dengan Mas Priyanto dan ibunya di depan warung tadi. Ia juga menjelaskan kedalam Bahasa sederhana yang dapat aku mengerti, bahwa sebenarnya ke dua orang tadi merasa di tipu karena uang DP untuk pergi ke Malaysia sebagai TKI tidak dikembalikan oleh pihak penyalur ketenagakerjaan yang menjadi tempat pendaftaran calon TKI untuk mas Priyanto dan ibunya itu.

Mulanya, ibu ku hanya membantu bekas anak buahnya itu untuk bertemu dengan pihak penyalur tenagakerja ke luar negeri yang dapat dipercaya. Di tengah proses pembuatan perizinan dan tetek bengek yang aku tidak paham itu, Mas Priyanto dan ibunya mendadak membatalkan niat untuk menjadi TKI di negeri tetangga. Mereka meminta uang DP yang telah dibayarkan untuk segera dikembalikan. Karena dalam perjanjian DP tidak kembali, mereka habis-habisan mencari ibu ku yang tengah dinas di luar pulau. Bahkan berencana membawa aku jika Ibu ku tidak segera pulang dan mengembalikan uang mereka. Aku yang anak-anak pun tidak paham, apa yang tengah difikirkan oleh orang-orang yang katanya dewasa itu.

Sesampainya di rumah, aku langsung mendapat telpon dari Ibu, beliau meminta maaf dan berjanji untuk pulang sesegera mungkin. Hampir 3 bulan semenjak kejadian itu berlalu. Bapak ku ternyata telah mengultimatum mereka, jika terus mengganggu kami. Entah apa ancaman dari Bapak, tapi orang-orang itu sudah tidak pernah terdengar lagi.

17 tahun kemudian, aku membaca sebuah artikel tentang suatu hal yang membuat ingatan seseorang muncul kembali setelah sekian lama. Sosok warung membawa aku akan ingatan tua yang masih menempel begitu kuat. Aku bahkan belum sempat benar-benar berterima kasih kepada mereka yang turut membantu ku di masa itu. Aku hanya bisa tersenyum dan segera menyimpan kembali ingatan ini.

5 komentar:

  1. Maaf kepanjangan ._.
    Ini juga udh bolak balik pindah media ampe terakhir ke notepad dan diedit terus menerus, ada tanda kutip yang ngga tahu kenapa tetep beda...

    BalasHapus
  2. Wah menyegarkan nih, lo pake gaya bahasa baru. Ceritanya jadi lebih mudah dicerna, mirip cerita petualangan lima sekawan, Asta Astaga atau S.T.O.P seru! Ada beberapa yang gua masih agak bingung bacanya sih, gua kutip di bawah ini ya:

    - ...duduk di bangku sebelah ku sejak kelas 3 dan kelas 5 SD .
    Kalau sejak biasanya cuma satu waktu aja, mungkin kata sambungnya bukan 'dan' ya harusnya, tapi 'sampai' ?

    - Terpogoh-pogoh (paragraf 1) .
    ini kayanya salah ketik ya, mustinya tergopoh-gopoh bukan?

    - Sekilas aku mendengar percakapan guru Bahasa Indonesia dan guru TU,“...hmm sempet ngamuk tadi...” mereka berbicara cukup pelan
    kalau sudah sampai ngamuk, bukankah pihak sekolah akan memanggil polisi?

    - "Pak...! Dua orang itu udah saya lihat dari 3 hari kemaren di sana..." Ucap ku sambil terus melihat keluar jendela,
    kalau si dua orang itu (salah satunya Prayitno) sudah ada di sana sejak 3 hari lalu, kenapa mereka gak langsung bertindak? Bukankah artinya mereka udah menemukan lokasi sekolah si 'aku' ?

    Di samping itu, kenapa Prayitno gigih nyariin si 'aku' ? Kalau dia mau nyulik, kenapa gak nyulik kakaknya aja? Tadinya gua pikir ada twistnya, ternyata si 'aku' anaknya Prayitno (jeng jeeeeng) atau gimana gitu?

    Anyway, good job! Nulis terus ya Dhes :)

    BalasHapus
  3. Komen dikit yaa ,, hehe

    - Waktu
    dibagian tengah ada jam yang menunjukan waktu kejadian,, IMHO kayaknya lebih enak kalau dari awal ampe akhir ditulis juga jam nya, ga hanya ditengah doank.

    oiya,
    gw inget ajah kata2 mas Yoreh,, "Show, don't tell" :)

    BalasHapus
  4. gw tipe orang yang paling susah mengingat nama orang. dan ini kebawa juga saat membaca. makanya pas baru dua paragraf gw udah nemu nama 5 orang, gw langsung puyeng.. hehe.. begitulah

    BalasHapus