Selasa, 23 Februari 2016

[AYAH] Halablar

Angin tidak membawaku lebih cepat. Matahari sudah di barat, cahayanya menyelimuti bumi. Merah dan ungu dan kuning. Tanganku kugantungkan saja pada jari-jari kemudi kapal, kebas karena lelah. Bajuku makin berat menimpa kulitku karena tersiram percikan air asin. Mataku perih, entah karena percikan air asin entah karena aku diam-diam menangis. Apakah ayah masih di pulau itu? Suara debur ombak terdengar jauh, karena kami semua memakai penutup telinga, menyambut bahaya yang mungkin sebentar lagi muncul. Kami meletakkan sumbat lilin di telinga kami dan membungkus kepala kami dengan kain macam-macam, agar sumbatnya tidak terlepas.

Kapten Jonas Papilaya, katanya nama ayahku. Si Topi Burung Merak, katanya julukannya. Seorang bajak laut yang ribut, selalu tertawa keras, dan selalu berlabuh dengan hiasan kepala yang berbeda-beda. Nampaknya dia tangguh, tapi juga pesolek. Apakah aku sekuat dia? Katanya dia pernah berlayar ke seluruh 6 benua, katanya dia pernah menaklukkan lautan ganas Kamalah dan berhasil menemukan pulau Sair, untuk membuktikan bahwa harta karun Raja Morrea I hanyalah legenda. 

Apakah tangannya pernah kebas tergantung di jari-jari kemudi kapal karena kelelahan?

Aku tidak pernah memakai topi. Sekarang aku ingin memakai topi. Aku tidak pernah punya. Semestinya sebelum berlayar aku membelinya dulu di pelabuhan, sebulan lalu. Ada yang memakai bulu burung merak, ada yang burung kasuari. Berwarna-warni. Kenapa tidak kubeli?

Angin tidak membawaku lebih cepat. Matahari makin menyusup ke cakrawala. Biru tua dan bintang-bintang mulai menyapu langit dari arah timur. Bulan tidak ada. Telingaku mulai gatal karena sumbatnya. Aku mulai bernyanyi dengan suara yang hanya bisa kudengar sendiri. Lagu pelaut yang kudengar dari kecil:

Hei ho, hei ho. Sang Kapten berlayar
Hei ho, hei ho. dia pemberani
Hei ho, hei ho. Ke pulau Halablar
Hei ho, hei ho. Tak pernah kembali

Mataku perih lagi. Tak pernah kembali. Apakah itu lagu tentang ayah?

Tiba-tiba angin berhembus kencang sekali dari utara, mendorong kapal kami mundur. Kemudi berputar kencang dengan sendirinya ke kanan, aku kehilangan keseimbangan dan terjatuh. Pekik suara tinggi memecah keheningan. Kami sudah masuk wilayah para Siren, nampaknya, dan sumbat telinga kami tidak cukup, karena aku masih bisa mendengarnya. Ombak bergantian menghantam kapal kami dari segala arah, aku berusaha bangun.

“Jangan lepas sumbat telinga kalian!” teriakku setelah berhasil berdiri. Aku tidak yakin mereka bisa mendengar perintahku, di tengah kesibukan mereka yang mendadak. Mereka mulai melipat layar-layar. Dadaku tiba-tiba sesak. Nafasku memburu. Detak jantungku terasa jelas di telingaku.

Dari dalam air, mereka muncul satu persatu. Para Siren. Melesat ke udara dan beterbangan melintasi kapal lagi. Mereka cantik, dengan ekor ikan sebagai pengganti kaki. Mata mereka hitam. Mereka memekik, dan aku menekan kedua telingaku, berusaha menutupi suara mereka. Mereka tidak punya payudara. Sungguh cantik. Seharusnya aku dengarkan saja nyanyian mereka.

Aku tidak perlu bertemu ayahku. Aku tidak perlu lagi tahu apa yang sebenarnya terjadi padanya. Dia pergi ke Halablar untuk membuktikan dirinya, setelah dipermalukan di negrinya. Itu masalah dia. Aku punya masalahku sendiri. Aku yakin sekali, jika aku tinggal di sini, semua masalahku akan berakhir.

Jon si Mata Satu memeluk seekor Siren, dan mereka bersama terbang masuk ke dalam air. Dia terlihat bahagia. Si kecil Arri juga sama. Kemal berlari ke arahku. Mau apa dia?

“KAPTEN!!! TUTUP TELINGAMU!!!” teriaknya sambil menekan sumbat telingaku. Dia menghujamkan pedangnya ke atas kepalaku, dan aku mendengar pekik tajam seekor Siren yang rupanya sedari tadi bernyanyi di pundakku. Siren itu melompat kembali ke air.

“Sebentar lagi kita akan melewatinya, Kapten! Jangan dengarkan mereka!” Kemal berteriak berusaha menembus debur ombak, pekikan Siren, dan sumbat telingaku.

Aku mendorong Kemal, berusaha tidak mengucapkan terima kasih agar tidak kehilangan wibawaku.

Hei ho, hei ho. Sang Kapten berlayar

Lagu itu terdengar kembali. Suaranya seperti suara ibuku, menyanyikannya sebelum aku tidur.

Hei ho, hei ho. dia pemberani

Aku membuka sumbat telingaku. Kemal berusaha menahan tanganku sambil mengatakan sesuatu. Tidak terdengar. Aku memukul wajahnya. Dia jatuh terjerembab. Wajahnya terkejut, oh betapa aku benci melihatnya. Jadi kupukul dia lagi. Dan lagi. Dan lagi.

Hei ho, hei ho. Ke pulau Halablar

Aku merebut pedangnya dari tangannya dan menghujamkannya ke dadanya. Ayahku mungkin ada di dasar laut. Aku tahu ayahku ada di sini. Aku bisa merasakannya. Aku meninggalkan pedang Kemal masih tertanam di dadanya, dan berjalan ke ujung kapalku yang masih terombang-ambing ke kiri ke kanan. Ke kiri ke kanan. Ibu, aku akan bertemu ayah. Lihat, dia menungguku di dasar laut. Aku bisa melihat topinya. Aku melompat ke air.

Hei ho, hei ho. Tak pernah kembali


6 komentar:

  1. bagus Yor! Ada pesan tersembunyi kah? *curiga* 'descent into madness' nya cakep, tapi kalo dibikin lebih kontras cara mikir di awal dan di akhirnya mungkin efeknya bisa lebih kuat lagi.

    BalasHapus
    Balasan
    1. nambahin dikit, kayanya paragraf ini yang bikin si kapten udah 'agak miring' dari awal:

      Aku tidak pernah memakai topi. Sekarang aku ingin memakai topi. Aku tidak pernah punya. Semestinya sebelum berlayar aku membelinya dulu di pelabuhan, sebulan lalu. Ada yang memakai bulu burung merak, ada yang burung kasuari. Berwarna-warni. Kenapa tidak kubeli?

      Jadi pas di belakang agak kurang berasa jadi gilanya

      Hapus
    2. Ah iya bener juga. Gw belum establish state of mind dia ketika dia masih 'normal'. Masukan bagus juga sih mas. Kalo menurut gw sih ga perlu kontras juga, tapi descent to madnessnya adalah eksajerasi (hadoh maaf bilingual) dari state of mind normalnya. Jadi ada ambiguitas antara dia jadi delusional karena Siren, atau memang dia ada kecenderungan delusional. Nyanyian Siren hanya mempermainkan harapan-harapan yang udah dia punya. Oke oke makasi mas.

      Hapus
  2. Pesan tersembunyi ... ada sih. Kayaknya ayah itu jadi semacam baseline orang untuk menentukan identitas dirinya. Buat orang-orang yang ga punya ayah, atau ayahnya keburu pergi saat kita belum sempet mengenali dia (kayak gw), isu identitas ini jadi pencarian yang ga selesai-selesai dan maddening. Seumur hidup mereka akan mencoba merangkai bits and pieces about their own fathers, but will never complete karena yang bersangkutan ga ada. Salah-salah malah jadi belatakan kalau kepingan-kepingan itu disubstitusi hal-hal lain. Demikian kira-kira hahah.

    BalasHapus