“Demi Masa, sungguh kita terjebak ke dalam sebuah dimensi
uji” tulisan itu adalah quotes dalam halaman-halaman awal sebuah skripsi.
Mungkin sang penulis quotes menyadurnya dari salah satu kitab agama samawi.
Atau memang hanya mengambil kata “demi masa” supaya terlihat puitis. Entahlah.
Seorang pemuda
mungkin berusia 28-an memang sedang membuka-buka skripsi tersebut, duduk di
sebuah kursi dan meja di depannya. Dia tersenyum ketika sudut matanya
mencermati tulisan quotes tersebut. Tak lantas dia berhenti tersenyum sinis,
nafasnya ditarik agak panjang kemudian kedua tangannya di taruh di kepalanya,.
Seperti orang menyerah atau seorang teroris di gerebek kawanan FBI. Sembari
masih tangan di kepala, ia sandarkan punggungnya pada kursi kayu yang ia
duduki, ada suara dercitan kayu, suara itu ada dari kursi kayu yang memang
sudah agak reyot. Kepalanya diangkat hingga ia menatap langit-langit dari
bilik, kemudian ia berucap “hah, demi masa, dasar bocah alay”, begitulah dia
mencibir quotes tulisan tersebut.
Pemuda yang berucap itu bernama Erika Pranaja Mikaila,
bukan nama yang lazim untuk nama seorang laki-laki. Karenanya dia selalu ingin
di panggil Erika, dia tidak mau di panggil Erika, yah mungkin kebanyakan
laki-laki pun tidak mau di panggil seperti itu. Erika itu nama pemberian ibunya
yang berpikir, bisa saja dia di panggil Erik. Tapi kenyataannya di sekolah SD
dia jadi bahan bully an karena namanya yang mirip nama seorang perempuan.
Hari ini Erika tidak masuk kerja, hanya terdiam di ruang
baca rumahnya, wajahnya terlihat capek seperti memikul beban, Pandangannya
kosong seperti sedang meratapi masa-masa indahn masa lalu yang kini hilang.
Langit begitu sangat abu-abu baginya dengan udara yang serasa pengap yang
menyerap semangatnya.
Benar saja, Ibunya beberapa hari lalu meninggalkan dunia,
dan ini sudah hari ke-8 Erika tak kunjung menemukan ketabahan. Dia malah makin
bersatu bersama kesedihannya. Hal-hal indah bersama ibunda jadi tergambar jelas
lagi, dan seketika dia kembali melihat hal nyata, sang ibunda sudah tidak ada.
Berulang-ulang seperti itu dengan kadar yang makin dalam yang semakin memasukan
dia pada ruang kesedihan yang belum ada ujungnya.
Ditengah keterjebakan Erika merasakan kesedihan, tiba-tiba
bel rumah itu berbunyi, menandai habisnya sunyi yang dari subuh hari dibangun
oleh pemiliknya. Dia menoleh dengan kecepatan perlahan kearah pintu depan,
walaupun pintu itu terhalang beberapa tembok ruangan. Dengan memasang muka
cemberut, dia beranjak malas dari kursi kayu yang sudah hangat karena dia
duduki dari subuh. Sempoyongan melewati beberapa ruangan hingga dia berdiri di
depan pintu keluar.
“Ting tong” bel itu berbunyi lagi, dan langsung dibalas
malas dengan kata “Iya”, oleh Erika. Erika menengok jendela sebelum membuka
pintu, dia pegang gagang pintu tak bertenaga. Tidak terlihat jelas siapa yang
berdiri, tapi yang pasti itu seorang lelaki paruh baya, memakai kemeja dan
celana bahan kain, kedua tangannya di pakai untuk memegang 1 kardus berukuran
sedang. Kardus itu di letakan ke depan dan menempel pada perutnya. Erika tak
mengenali dia, lalu menebak, mungkin dia petugas pos atau pengantar paket.
Setelah pintu dibuka Erika mengerutkan dahi dan meringis,
itu akibat penglihatannya yang silau terkena matahari. Maklum saja, selama 7
hari terakhir dia lebih nyaman berada di tempat gelap dan lembab yang
terlindung dari matahari. Belum juga puas menggerutkan dahi karena silau, sang
tamu mengawali pembicaraan “kang ini barang-barang ibu yang ada di kantor, saya
di tugaskan Pak Rudi buat nganterin ini. Setelah semua barang diserahterimakan
olehnya kepada Erika, dia pun segera berpamitan.
Keadaan kembali sunyi, barang-barang itu kemudian diletakan
di meja baca, tempat tadi Erika merenung lama dari pagi hari. Pikirannya kembai
tidak bersama tubuhnya, melambung tinggi lagi, berputar-putar dan kelabu lagi.
Kali ini dihadapkan pada sebuah pilihan yang sebenarnya tidak sulit, hanya
pilihan untuk membuka sebuah kotak.
Gairahnya tiba-tiba
muncul, hatinya bergetar-getar, naik
ke atas kepala, masuk ke pikiran takala memandangi kotak kiriman di atas meja. Tapi
penjara “enggan” masih kuat membelenggu fisiknya untuk bergerak. Lalu perhatian
Erika berpindah pada sorot cahaya yang masuk dari sela tirai yang tertutup. Ia
perhatikan banyak debu menari-nari melayang. Lalu Erika beranjak, dengan
gerakan tempo cepat , meraih dan membuka kotak kardus itu. Ternyata isinya
gagang pintu dan sepucuk kertas bertuliskan, “cari orang itu”. Pikiran Erika langsung tajam tak bertepi, menuju kepada
seseorang yang ia ingat betul bernama “Timur”.
Wanjer, ini mau crossover sama ceritanya Daus ya?
BalasHapusIni pake POV orang ketiga mahatahu ya? POV ini ada enaknya ada ngga enaknya. Enaknya, kita bisa ngegambarin banyak hal yang bahkan si karakternya ga lihat. Lebih bebas. Kita bisa ngasih deskripsi dia kayak 'dia cemberut', dsb. Ga enaknya, walau POV ini bisa aja ngebahas perasaan karakter, kita ga bisa terlalu dalem tenggelam dalam pikiran karakter-karakternya, mengakibatkan pembaca jadi 'jauh' dengan ceritalu. POV ini lebih cocok sebenernya untuk kisah-kisah fantasi epik dimana si 'dunia'nya unik dan perlu dibahas detil (kecuali game of thrones yang character driven. Dia pake orang ketiga terbatas). Untuk cerita ini, kayaknya kurang tepat pake POV ini, kalau maksudlu ingin menyampaikan kegundahan hati Erika. Kehilangan orang yang penting itu personal banget, lebih cocok pake orang ketiga terbatas.
BalasHapusTerus karakterisasi. Erika ini sebenernya gimana sih? Dia nampak pemarah dan sinis, atau dia lagi sedih? Agak kurang jelas sebenarnya efek yang lu inginkan dari pembaca ketika mengikuti Erika. Apa kita harus bersedih bersama dia, atau kita harus kurang suka sama dia karena dia menanggapi kematian ibunya dengan sinis dan dingin? Boleh-boleh aja kita bikin karakter utama yang tidak simpatik (memang dimaksudkan untuk membuat pembaca tidak suka dengan dia), tapi perlu hati-hati banget. Alasan dia sebal pada dunia harus jelas, jadi pembaca bisa ikut sebal dengan dunia bersama-sama dengan dia. Bersikap dingin sama rasa kehilangan adalah sikap yang tidak lazim walau bisa terjadi, asal alasannya cukup. Sherlock Holmes orangnya nyebelin dan kurang bermoral, tapi penulisnya menghindari resiko dengan memilih pake sudut pandang Watson yang agak 'kosong' dan bisa jadi avatar pembaca di dunia kisah itu.
Less is more. Waktu tema warung lu udah cukup oke mengalunkan cerita, tapi di sini ceritanya kembali cluttered sama komentar-komentar berlapis dan perumpamaan-perumpamaan yang menurut gw ga penting. Ini malah bikin tembok lagi antara pembaca dan ceritanya, sesudah lu jauhi dengan POV mahatahu. "kedua tangannya di taruh di kepalanya,. Seperti orang menyerah atau seorang teroris di gerebek kawanan FBI" Pilih salah satu: 'orang menyerah' atau 'seorang teroris digerebek', atau sebenarnya sudah cukup tanpa perumpamaan lagi? Ngasih deskripsi berlapis mungkin kita pikir akan lebih menjelaskan sesuatu, tapi kenyataannya tidak. Bayangkan maksud dan inti ceritalu adalah sesachet coffeemix, dan kata-kata yang lu pakai adalah airnya. Makin banyak air yang lu pakai, rasa kopinya akan hilang kan? Semua kalimatlu harus ngasih impact, bukan memperlambat cerita atau lebih buruk lagi, menjauhi pembaca dari karakternya (dan kalau pembaca ga bisa bersimpati, mereka akan meninggalkan ceritanya).
Contoh lain: "Pemuda yang berucap itu bernama Erika Pranaja Mikaila, bukan nama yang lazim untuk nama seorang laki-laki. Karenanya dia selalu ingin di panggil Erik, dia tidak mau di panggil Erika, yah mungkin kebanyakan laki-laki pun tidak mau di panggil seperti itu. Erika itu nama pemberian ibunya yang berpikir, bisa saja dia di panggil Erik. Tapi kenyataannya di sekolah SD dia jadi bahan bully an karena namanya yang mirip nama seorang perempuan." IYA KITA NGERTI DIA LAKI-LAKI YANG NAMANYA KAYAK NAMA PEREMPUAN! Coba kalau kalimatnya kira2 begini: "Dia bernama Erika Pranaja Mikaila, bukan nama yang lazim untuk laki-laki. Dia selalu dibully dari SD, sekeras apapun dia berusaha agar dipanggil Erik saja." Efeknya lebih jelas justru karena ga ada deskripsi-deskripsi dobel.
Gitu aja kalo dari gua. Tolong proofread juga sebelum dikirim. Banyak banget salah tanda baca dan bahkan deskripsi yang salah (yang udah ditunjukkin Omari di grup)