Senin, 01 Februari 2016

[KETUMBI] Dosen Galak

Setelah menghabiskan waktu dengan menggerutu di dalam angkot akibat macet yang keji di jalanan ibu kota, akhirnya aku berhasil duduk manis di dalam kelas tepat lima menit sebelum dosen ku datang.

“Selamat pagi. Bisa kita mulai kelasnya?” Tanya sang dosen dengan lantang.

Dosen itu bernama Pak Bara. Ia memiliki garis rahang yang tegas dan tatapan mata tajam yang mampu membuatmu berkeringat dingin sampai pipis di celana.

“Jo, untung lo gak telat.” Bisik Lydia, yang duduk di sampingku. “Tapi, kalo gue sih gapapa kalo telat.” Sambungnya sambil senyum-senyum.

“Emang lo mau disuruh ngulang kelas dia?” Aku bertanya sambil pura-pura memperhatikan apa yang dijelaskan Pak Bara. Dosen ini dikenal galak dan tanpa ampun. Kalau terlambat walau dengan jeda satu helaan nafas saja, nilai E sudah menanti di penghujung semester.

“Ya justru itu. Gue jadi punya banyak kesempatan untuk menikmati wajah Pak Bara yang oh-so-cool itu.” Lanjut Lydia sambil mesem-mesem.

Kuleumeuk kali?” Kataku meledek.

“Kapan sih lo mau nerima kenyataan kalau aura dia itu keren banget?”

“Oh…iya deh.” Kataku singkat.

Liat tuh perutnya yang sixpack, pasti enak buat dipeluk”

“Ah paling juga dia nahan perutnya pake korset” Kataku sambil menahan tawa agar tidak terdengar Pak Bara.

***

Sembilan puluh menit berlalu dengan rumus-rumus aljabar dan teman-temannya. Satu per satu mahasiswa meninggalkan ruangan kelas, sementara Pak Bara masih membereskan beberapa buku dan dokumen  di mejanya.

“Kalian berdua. Tunggu dulu.” Suara Pak Bara sesaat memberikan aura mengerikan di belakang punggungku.

Aku dan Lydia menghentikan langkah kami dan menoleh ke arahnya. Perlahan, Pak Bara menghampiri kami berdua. Suara langkahnya seolah memberikan terror di dalam kepalaku. Dan ketika dia berdiri di hadapan kami, dengan sekuat tenaga aku menahan diri untuk tidak mengompol karena tatapan Pak Bara yang menakutkan.

“Ada apa Pak?” Tanya Lydia kegirangan.

“Tadi saya mendengar sesuatu tentang perut sixpack dan korset.” Tanyanya tanpa basa-basi.

Dheg!!

“Oh, itu tadi Kejora yang bilang Pak. Hehehe.”

Tunggu dulu. Lydia? Aku pikir persahabatan kita istimewa. Aku memberikan tatapan tidak percaya pada Lydia. Kenapa dia tega menempatkan aku pada situasi tidak menguntungkan seperti ini? Bukankah dia yang ingin mengulang kelas Pak Bara? Tapi.. tapi.. kenapa? Why, Lydia, why? Aku memulai percakapan drama dalam otakku.

“Ah, handphone saya bunyi. Permisi sebentar ya Pak. Ini panggilan darurat. Hehe.” 

Tanpa menunggu jawaban Pak Bara, Lydia bergegas keluar untuk mengangkat panggilan telepon itu. Entah kenapa aku tidak bisa mempercayai anak itu. Aku rasa dia sedang menipuku dan berusaha menyelamatkan diri sendiri. Dasar wanita sundal!

“Jadi, nama kamu Kejora?” Tanya Pak Bara memecahkan pikiran-pikiranku yang sedang memaki-maki Lydia.

“Eh.. anu.. i..iya, Pak” Pak Bara diam dan hanya menatapku seolah ingin menelanku bulat-bulat.

“Saya cuma mau mengingatkan kalau saya gak suka ada mahasiswa yang ngegosip di kelas saya. Jangan diulangi lagi di pertemuan selanjutnya, okay” Katanya dingin, dan berlalu begitu saja.

Huh? Itu saja?

Tapi Tiba-tiba dia menghentikan langkahnya dan menoleh ke arahku. “Oh ya, maksud saya pertemuan selanjutnya itu semester depan ya, Kejora.”


Apa? APAAAAAA?!!  Aku merasa seperti tersengat listrik berjuta-juta volt. Apa yang aku dengar barusan? Ah, Lydia. Aku harus menemukan iblis betina itu secepatnya!

5 komentar:

  1. ganjil
    1. di ibukota angkot apa masih ada? pinggiran kali ya.. ada tapi lepas jam 10 malem,
    2. mekanisme ngulang dapet E itu bukan 1 kali terlambat kan, tapi biasanya 80% dari total kehadiran dalam 1 semester.
    3. sebagai mahasiswa yang agen of change, harusnya mudah saja berpikir bahwa keputusan dosen yang bersikap absolut , mentidak luluskan mahasiswinya karena bergosip adalah backfire untuk si dosen jika dilaporkan pada hirarki kampus yang lebih tinggi dari dirinya

    BalasHapus
  2. masukan dikit ya cc

    pas di awal aja si tokoh utamnya dipanggil Jo,, aku pikir itu ujo, jonathan, tejo, bejo,, kirain cowo, eh ternyata kejora, ko kayak cewe ya ?? mungkin lebih aman kalau dipanggil Ra, rara, keke, atau pake nama yg lebih feminim :)

    itu dulu aja paling


    BalasHapus
  3. Btw gua pernah kejadian mirip gini nih sama dosen matematika, temen gua cekikikan, dosen ngerasa diketawain, gua yang diomelin. Beliau gak bilang gua harus ngulang semester berikutnya sih... tapi gua gak lulus-lulus matematika sampe akhirnya ganti dosen *krai*

    BalasHapus
  4. Aduh mas Iqbal sedih ih. Bismi, coba sehabis lu tulis, lu cek lagi sebagai pembaca aja, apakah alurnya sudah mengalun dengan enak, apakah ada ambiguitas voice? Gw sering tersandung di bagian2 di mana terjadi ketidakjelasan siapa yang mengucapkan dialog tertentu (dan akhirnya membuat si alur terasa terbata-bata). Ini membuat cerita terhenti karena pembaca harus berpikir dulu ini siapa yang ngomong dialog itu. Ini bisa lu gunakan beberapa cara: dengan ngasih tahu siapa yang ngomong (Yori menjawab, "tidak.") atau lu bener-bener ngasih voice yang kontras antar 2 tokoh ini (misalnya Kejora lebih lembut, dan Lydia lebih bitchy; atau Kejora ngomong dengan EYD yang rapih, dan Lydia mencampur bahasanya dengan bahasa daerah misalnya). Jadi jelas untuk pembaca siapa yang sedang bicara.

    Gitu aja kalo dari aku. Semoga membantuuu

    BalasHapus