Setelah menghabiskan waktu dengan
menggerutu di dalam angkot akibat macet yang keji di jalanan ibu kota, akhirnya
aku berhasil duduk manis di dalam kelas tepat lima menit sebelum dosen ku datang.
“Selamat pagi. Bisa kita
mulai kelasnya?” Tanya sang dosen dengan lantang.
Dosen itu bernama Pak
Bara. Ia memiliki garis rahang yang tegas dan tatapan mata tajam yang mampu membuatmu
berkeringat dingin sampai pipis di celana.
“Jo, untung lo gak telat.”
Bisik Lydia, yang duduk di sampingku. “Tapi, kalo gue sih gapapa kalo telat.”
Sambungnya sambil senyum-senyum.
“Emang lo mau disuruh
ngulang kelas dia?” Aku bertanya sambil pura-pura memperhatikan apa yang
dijelaskan Pak Bara. Dosen ini dikenal galak dan tanpa ampun. Kalau terlambat walau
dengan jeda satu helaan nafas saja, nilai E sudah menanti di penghujung
semester.
“Ya justru itu. Gue jadi
punya banyak kesempatan untuk menikmati wajah Pak Bara yang oh-so-cool itu.” Lanjut Lydia sambil
mesem-mesem.
“Kuleumeuk kali?” Kataku
meledek.
“Kapan sih lo mau nerima
kenyataan kalau aura dia itu keren banget?”
“Oh…iya deh.” Kataku singkat.
“ Liat tuh perutnya yang sixpack,
pasti enak buat dipeluk”
“Ah paling juga dia
nahan perutnya pake korset” Kataku sambil menahan tawa agar tidak terdengar Pak
Bara.
***
Sembilan puluh menit
berlalu dengan rumus-rumus aljabar dan teman-temannya. Satu per satu mahasiswa
meninggalkan ruangan kelas, sementara Pak Bara masih membereskan beberapa buku
dan dokumen di mejanya.
“Kalian berdua. Tunggu
dulu.” Suara Pak Bara sesaat memberikan aura mengerikan di belakang punggungku.
Aku dan Lydia menghentikan langkah kami dan menoleh ke arahnya. Perlahan, Pak Bara menghampiri kami berdua.
Suara langkahnya seolah memberikan terror di dalam kepalaku. Dan ketika dia
berdiri di hadapan kami, dengan sekuat tenaga aku menahan diri untuk tidak
mengompol karena tatapan Pak Bara yang menakutkan.
“Ada apa Pak?” Tanya
Lydia kegirangan.
“Tadi saya mendengar
sesuatu tentang perut sixpack dan
korset.” Tanyanya tanpa basa-basi.
Dheg!!
“Oh, itu tadi Kejora
yang bilang Pak. Hehehe.”
Tunggu dulu. Lydia? Aku
pikir persahabatan kita istimewa. Aku memberikan tatapan tidak percaya pada
Lydia. Kenapa dia tega menempatkan aku pada situasi tidak menguntungkan seperti
ini? Bukankah dia yang ingin mengulang kelas Pak Bara? Tapi.. tapi.. kenapa? Why, Lydia, why? Aku memulai percakapan drama dalam otakku.
“Ah, handphone saya bunyi. Permisi sebentar
ya Pak. Ini panggilan darurat. Hehe.”
Tanpa menunggu jawaban Pak Bara, Lydia
bergegas keluar untuk mengangkat panggilan telepon itu. Entah kenapa aku tidak
bisa mempercayai anak itu. Aku rasa dia sedang menipuku dan berusaha
menyelamatkan diri sendiri. Dasar wanita sundal!
“Jadi, nama kamu Kejora?”
Tanya Pak Bara memecahkan pikiran-pikiranku yang sedang memaki-maki Lydia.
“Eh.. anu.. i..iya, Pak”
Pak Bara diam dan hanya menatapku seolah ingin menelanku bulat-bulat.
“Saya cuma mau
mengingatkan kalau saya gak suka ada mahasiswa yang ngegosip di kelas saya.
Jangan diulangi lagi di pertemuan selanjutnya, okay” Katanya dingin, dan berlalu begitu saja.
Huh? Itu saja?
Tapi Tiba-tiba dia
menghentikan langkahnya dan menoleh ke arahku. “Oh ya, maksud saya pertemuan
selanjutnya itu semester depan ya, Kejora.”
Apa? APAAAAAA?!! Aku merasa seperti tersengat listrik
berjuta-juta volt. Apa yang aku dengar barusan? Ah, Lydia. Aku harus menemukan iblis
betina itu secepatnya!
ganjil
BalasHapus1. di ibukota angkot apa masih ada? pinggiran kali ya.. ada tapi lepas jam 10 malem,
2. mekanisme ngulang dapet E itu bukan 1 kali terlambat kan, tapi biasanya 80% dari total kehadiran dalam 1 semester.
3. sebagai mahasiswa yang agen of change, harusnya mudah saja berpikir bahwa keputusan dosen yang bersikap absolut , mentidak luluskan mahasiswinya karena bergosip adalah backfire untuk si dosen jika dilaporkan pada hirarki kampus yang lebih tinggi dari dirinya
*gelar tiker*
Hapusmasukan dikit ya cc
BalasHapuspas di awal aja si tokoh utamnya dipanggil Jo,, aku pikir itu ujo, jonathan, tejo, bejo,, kirain cowo, eh ternyata kejora, ko kayak cewe ya ?? mungkin lebih aman kalau dipanggil Ra, rara, keke, atau pake nama yg lebih feminim :)
itu dulu aja paling
Btw gua pernah kejadian mirip gini nih sama dosen matematika, temen gua cekikikan, dosen ngerasa diketawain, gua yang diomelin. Beliau gak bilang gua harus ngulang semester berikutnya sih... tapi gua gak lulus-lulus matematika sampe akhirnya ganti dosen *krai*
BalasHapusAduh mas Iqbal sedih ih. Bismi, coba sehabis lu tulis, lu cek lagi sebagai pembaca aja, apakah alurnya sudah mengalun dengan enak, apakah ada ambiguitas voice? Gw sering tersandung di bagian2 di mana terjadi ketidakjelasan siapa yang mengucapkan dialog tertentu (dan akhirnya membuat si alur terasa terbata-bata). Ini membuat cerita terhenti karena pembaca harus berpikir dulu ini siapa yang ngomong dialog itu. Ini bisa lu gunakan beberapa cara: dengan ngasih tahu siapa yang ngomong (Yori menjawab, "tidak.") atau lu bener-bener ngasih voice yang kontras antar 2 tokoh ini (misalnya Kejora lebih lembut, dan Lydia lebih bitchy; atau Kejora ngomong dengan EYD yang rapih, dan Lydia mencampur bahasanya dengan bahasa daerah misalnya). Jadi jelas untuk pembaca siapa yang sedang bicara.
BalasHapusGitu aja kalo dari aku. Semoga membantuuu