Selasa, 23 Februari 2016

[GAGANG PINTU] Fizzie

Berdiri sebentar di depan rumah indekos, aku merogoh-rogoh tas yang terasa begitu dalam untuk memastikan apakah kunci kamar dan kunci gerbang kos sudah ku cabut atau belum. Sambil terus mencari dan sedikit menengok ke arah gerbang di belakang, aku melihat gembok gerbang kosan sudah terkunci rapat dan akhirnya tangan ku menemukan dua kunci tadi di salah satu laci tas yang ternyata bolong hingga kunci-kunci itu terselip ke bagian dalam tas yang seharusnya tidak bisa di akses itu.

Belakangan aku merasa sering melupakan beberapa hal yang belum dan sudah aku lakukan... Aku menarik nafas panjang.

Ketika aku hendak beranjak pergi dari pinggir jalan yang cukup sepi diluar halaman depan. Seorang Bapak tua yang kelihatannya salah satu penduduk di daerah ini tiba-tiba menyapa ku,

"... dari sini neng?" tanya Bapak itu sambil menunjuk kosan

"eeeh... iyah, Pak, penghuni baru..." aku tersenyum canggung, kebiasaan ku ketika bertemu dengan orang asing. Suara Bapak itu pelan sekali, aku tak yakin beliau hanya melontarkan pertanyaan yang baru saja ku dengar tadi.

"Oo... yah... yah... besar sekali waktu itu" lagi-lagi Bapak itu mengucapkan sesuatu yang kurang bisa ku tangkap. Beliau terlihat tengah berucap panjang namun hanya kata-kata akhirannya dapat ku dengar. Apa yang besar?

"enggg maaf Pak, saya kurang dengar..." aku  merapihkan rambut lurus seleher ku yang menutupi telinga dengan menjepitnya ke belakang daun telinga dan berusaha menyodorkan tubuh ke arah Bapak yang tingginya hanya sepundak ku karena ia sudah tidak dapat berdiri tegak lagi, berharap ia mengulangi kata-katanya tadi.

"...sehat selalu ya, neng",

Eh? Sebentar... aku memiringkan kepala, bingung akan maksudnya. Tanpa menanggapi kebingungan ku, ia mulai mengangkat tongkat nya untuk melangkah lagi. Aku mengangguk pelan, hanya dapat menahan nafas karena dalam diri aku berkata untuk tidak bertanya-tanya atau terheran-heran lebih jauh lagi. Biasanya orang yang sudah sepuh hanya ingin berbicara dan didengar.

Yaa sudahlah. Aku pun beranjak pergi ke tempat yang ku tuju.

***


Dua hingga tiga kaleng Mushkis basah, makanan kucing favorit Fizzie aku masukkan ke dalam ranjang belanja. Sudah menjadi kebiasaan aku memberikan makanan kesukaan kucing yang sudah ku pelihara selama dua tahun ini seminggu sekali. Ke tiga nya pun dengan rasa yang berbeda, supaya bola rambut itu tidak bosan. Tahu apa aku tentang kucing yang bosan? Ini semua pasti karena ekspresi wajah Fizzie selalu terlihat malas. Ya, pasti gara-gara dia.

Perlahan-lahan aku menelusuri baris-baris rak supermarket ini. Mencari-cari dan menimang-nimang harga setiap benda yang hendak ku beli. Setelah mengambil kue bolu panjang ke empat, aku memutuskan untuk mengakhiri perjalanan singkat ku di supermarket ini. Bulan ini agak mepet untuk berlama-lama di tempat serba ada ini… Kalo bukan karena cinta ku pada Fizzie dan formalitas sebagai penghuni baru di kosan itu, aku ngga akan mau keluar dari kamar dan menghamburkan uang untuk hal yang tidak ku nikmati sendiri. Sebagai mahasiswa tingkat akhir yang lebih banyak bersemedi di dalam kamar kos untuk mengerjakan skripsi, aku sangat bergantung pada kiriman orang tua ku karena untuk mencari kerja paruh waktu pun aku tak sempat.

Setelah membayar semua belanjaan, aku bergegas ke luar dan menunggu bus di halte yang tidak jauh jaraknya dari tempat itu. Hampir siang… setengah jam naik bus dari kosan menuju supermarket, begitu pula sebaliknya di hari Kamis yang biasanya cenderung tidak macet karena orang-orang tengah bekerja di jam ini. Perjalanan itu membuat aku agak terkantuk-kantuk, mengingat semalam aku terjaga hingga tengah malam hanya untuk mengeluarkan barang-barang dari kerdus yang tidak langsung ku keluarkan di hari pindahan ke kosan baru.

Untuk mengusir kantuk, aku memainkan beberapa ingatan di malam Rabu dan malam Kamis kemarin. Meski dari hari Selasa aku sudah mulai menempati kosan ini, aku belum sempat bertegur sapa dengan penghuni kamar yang lain. Selain karena aku lebih suka mengunjungi mereka sembari membawakan suatu bingkisan, aku hampir tidak ingat pernah berpas-pasan dengan orang lain di sana. Sesekali aku pernah masuk ke dalam kamar dan mulai mengunci pintu, aku mendengar ada orang lain yang baru keluar dari kamarnya. Mendengarnya berbincang-bincang sambil berjalan dengan seseorang di telfon.

Kadang aku mendengar salah satu penghuni kosan yang berjalan di teras atas kosan, mungkin untuk menjemur pakaian. Pernah juga aku mendengar salah satu penghuni wanita di kamar paling pojok tertawa terbahak-bahak bersama teman-temannya yang sepertinya sedang menginap disana. Entah kenapa aku berfikir kalo sebagian dari empat penghuni selain aku di sini adalah mahasiswa perguruan tinggi juga. Mungkin karena sepintas aku mendengarkan ada yang berbicara soal materi kuliah dan sejenisnya. Yah… nanti mungkin akan terjawab ketika aku menyerahkan bolu-bolu formalitas ini.

Tak terasa bus sudah sampai ke halte yang hanya berjarak tiga blok rumah dari kosan ku. Berjalan sebentar hingga sampai di depan, aku membuka gerbang kosan yang terus di gembok tersebut. Demi kemananan dan kenyamanan. Hanya berjarak tiga meter dari gerbang tinggi, aku masuk ke dalam kosan lewat satu-satunya pintu keluar dan masuk dari tempat ini. Dari pintu, sebelum naik ke lantai ruang tamu yang lebih tinggi sekitar sepuluh senti dan beralas karpet merah itu, aku melepas sepatu dan menentengnya sambil menelusuri lorong kosan yang hanya terisi lima dari dua belas kamar yang ada.

Entah kenapa kosan yang cukup nyaman ini sepi dari penghuni. Kamar ku nomor 7 berada ditengah-tengah lorong panjang, berhadapan dengan kamar kosong nomor 8. Sejak Selasa dan Rabu malam, aku merasakan ketenangan yang luar biasa karena hanya sesekali terdengar suara penghuni yang lain. Capek skripsi benar-benar membutuhkan tempat yang nyaman seperti ini. Baru sampai di empat kamar pertama dari lorong paling luar, aku mendengar suara Fizzie ribut dari dalam kamar.

Hmm!! Dia benar-benar mengenali langkah kaki budaknya ini, ucap ku dalam hati sambil mendengus bangga. Ku percepat langkah ku menuju kamar, pasti dia senang melihat apa yang ku bawa untuknya. Sesampainya di depan pintu kamar dan membuka kunci, untuk ke sekian kalinya, gagang pintu kamar ku macet, susah sekali untuk diayunkan kebawah agar bisa terbuka. Aku curiga ada yang berkarat atau rusak di dalamnya hingga berkali-kali pintu ini susah di buka. Kemarin sudah komplain dan penjaga kosan berjanji akan menggantinya weekend nanti. Yang benar saja, kalo aku ngga bisa keluar sama sekali karena terkunci dari dalam, akan sangat menyebalkan. Huh! Dengan sedikit kasar aku menabrakkan pundak ke pintu yang gagangnya berusaha ku tahan ke bagian bawah, dan itu berhasil, pintu kamar ku pun terbuka. Terkadang butuh sedikit emosi untuk memperkuat tenaga yang hendak dikeluarkan.

Ketika aku masuk, mata ku sibuk mencari Fizzie, mana dia? Dari tadi aku sibuk membuka pintu, tak terdengar sedikit pun suaranya. Ngumpet kah? Ketakutan karena suara berisik kah? Aku sedikit menjinjit, melihat ke atas lemari yang tingginya sehidung ku dan menemukan anak itu mengedipkan mata perlahan-lahan, seperti baru saja bangun tidur.

“Eiii! Ngapain kamu? pura-pura tidur ya?!” sambil ku elus-elus gemas. Kucing ini makin pintar saja, beberapa waktu lalu dia mulai meminta elusan dengan menepuk-nepuk tangan ku yang sedang sibuk mengetik di laptop. Lucunya. Walau ia masih belum bisa menggunakan Bahasa manusia dan hanya membalas dengan “eongan” setiap kali aku mengajaknya berbicara.

Setelah aku memberi makan Fizzie dan mencuci tangan, mungkin ini saatnya untuk mengunjungi penghuni kamar yang lain. Aku merapihkan rambut dan bersiap-siap untuk keluar. Sambil memegang kue bolu dalam plastic dan menahan nafas, ku tekan keras-keras gagang pintu macet itu, hingga berbunyi CKLEK dan aku dapat keluar. Aku memutuskan untuk mengunjungi kamar nomor 11 di ujung lorong paling dalam.

“Punten teh…” dengan suara seringan mungkin aku mengetuk pintu kamarnya. “Punten…” tidak ada jawaban. Ku ulangi sekali lagi dan tetap tidak ada tanda-tanda ada orang di dalamnya. Ku kira sepatu di luar kamar ini menunjukkan sang penghuni sedang berada di tempat, ternyata tidak.

Aku segera beralih ke kamar lain dan ternyata penghuni kosan ini sedang keluar semua. Aku menarik nafas dalam-dalam dan mengeluarkannya perlahan. Padahal butuh keberanian yang tinggi untuk orang pemalu seperti aku agar bisa memulai perkenalan lebih dulu. Ya sudah lah, mungkin nanti malam mereka sudah pulang, pikir ku sambil berjalan kembali ke kamar. Usai makan siang Nasi Padang yang ku beli di sekitar kosan tadi, aku memposting beberapa foto lucu Fizzie ke dalam akun Catstagram ku. Fizzie itu lebih photo genic ketibang budaknya satu ini.

Pelan-pelan aku melihat foto-foto Fizzie dengan gaya centilnya, kenapa makhluk cantik seperti Fizzie bisa ada heeh… Perlahan-lahan aku memejamkan mata yang mulai berat menahan kantuk. Fizzie dan Nasi Padang adalah komposisi sempurna dari suatu kebahagiaan yang sederhana.

***

“Iya, itu besar dan membumbung tinggi…”

Huh? Kakek yang tinggal di seberang sana sedang berbicara kepada ku, apa yang besar? Aku suka bingung dengan orang yang sudah sangat sepuh, berusaha ku dengar, mereka sulit didengar… Kadang kalo aku tidak menyimak, mereka suka emosi sendiri dan menganggap aku anak muda yang tidak tahu sopan santun. Semoga kelak aku tidak semembingungkan itu jika sudah tua nanti.

Aku merasakan ada yang berat menginjak-injak kaki ku, aku berusaha melihatnya, pasti Fizzie. Kakek tadi tertawa-tawa melihat aku kerepotan bangun dari posisi berbaring ku dan berusaha membuka bed cover tebal yang ku jadikan selimut dengan susah payah.

“Fizzie!” Akhirnya aku dapat mengangkat tubuh atas ku dari tidur dan tanpa sadar kepala ku membentur sesuatu yang keras, “ADAW!!” reflek mataku menutup rapat, aku nabrak Fizzie? Sambil berusaha menahan rasa nyeri di dahi, aku membuka mata lagi.




Sesosok wanita berambut hitam berantakan dengan mata yang pupilnya besar sekali duduk diatas paha ku, memunggungi ku namun kepalanya mendongak hingga kami saling bertatap muka.




Aku yang panik dan ketakutan meronta-ronta untuk kabur namun kaki yang berat ini tidak mau bergerak. Kalap aku menarik-narik ujung kasur, berusaha untuk lepas, aku tidak ingin melihatnya!! OH TUHAN!! OH TUHAN!!! Berteriak pun aku tak bisa!
Mendadak aku merasakan sensasi meluncur dari ketinggian ketika aku melihat wanita itu lagi, kini tertawa tanpa suara namun sosoknya kali ini berada jauh di ujung sana…

AAAAAGHH….!! AAAAAAAAAAAAAAAAHHGG!!! Kasur yang aku tiduri terjun bebas dari lantai paling atas kosan ku karena tiba-tiba lantai kamar ku runtuh dan menjadi lubang yang begitu besar… Aku berusaha menggapai-gapai ke atas dengan kengerian yang amat sangat.

Seketika gerakan ku terhenti. Aku melihat tangan ku terangkat ke atas, ke arah langit-langit kamar. Nafas ku tersengal-sengal… Badan ku basah oleh keringat. Tak ada lubang besar, reruntuhan, kosan bertingkat tinggi, wanita seram dan kakek-kakek. Hanya ada kamar kosan ku. Ya kamar kosan ku yang biasa. Aku melihat sekitar kamar dengan ketakutan yang masih membekas, hanya mimpi… yang tadi, hanya mimpi.

Astaga…! Mimpi macam apa tadi? Untuk menengok ke arah jendela berteralis di belakang pun aku masih takut. Kenapa kamar begitu gelap…?

BZZZZZZZT!

Aku tersentak mendengar suara handphone dalam mode getar. Benda itu memaksa aku untuk melihat ke taman di luar jendela kosan, subuh?? Panik dalam gelap aku meraih handphone yang mejadi satu-satunya sumber cahaya paling terang itu dan berusaha melihat jam,

JAM TUJUH?! … o… oh… jam tujuh malam… sedikit ku lihat di bagian notifikasi ada email berkedip-kedip, dengan judul “Agen Properti”, sedikit bingung tapi aku tidak peduli. Astaga… dengan canggung aku bergegas ke tempat saklar listrik berada, ku nyala kan lampu untuk menenangkan diri. Namun tak lama lampu padam lagi.

WHAT?! SIAL! SIAL! Panik, ku tekan berkali-kali saklar bobrok itu, tetap tidak menyala. Entah karena mimpi tadi mendadak bulu kuduk ku meremang, badan ku merinding hebat. Aku segera berlari ke arah pintu dan dengan hectic, aku membuka kunci dan menekan gagang pintu sekuat tenaga. Dan hal yang ku benci terulang lagi, pintu tidak dapat terbuka. Nafas ku terhenti seketika, aku medadak ingin berteriak sekeras-kerasnya.

“AAAAAAAAAAAAAAAARGGGHH!!!”
“TOLOOOOOOONG!! AAAAAAAAAAAAAAHH!!”


Aku tidak berteriak. Bukan, itu bukan aku. Gagang pintu segera ku lepas karena mendadak menjadi begitu panas. Dari sela-sela pintu ku lihat terang redup berwarna jingga menembus dalam kamar ku yang gelap. Aku mundur… Itu suara penghuni yang lain?! Mereka meraung-raung kesakitan, terus-menerus. Perlahan aku cium bau benda terbakar, aku mulai menyadari… ASTAGA?! KEBAKARAN?!!

OH TUHAN… mendadak aku menangis. Lutut ku lemas sekali. Aku sangat ketakutan, aku harus keluar dari sini, tapi bagai mana caranya…?!

Seketika terdengar suara sayatan dari arah jendela kamar. Seperti kuku tajam yang sengaja di adukan dengan kaca, berdecit begitu nyaring. Aku yang masih teringat mimpi tadi terlalu takut untuk melihatnya, namun semua yang bercampur aduk membuat aku pasrah menengok perlahan…

“Fizzie…?!” Aku terbelalak melihat Fizzie berada di luar kamar. Kenapa bisa? Ah itu tidak penting, dengan susah payah aku merangkak ke arah jendela satu-satunya itu di ujung kamar. Tangan ku yang gemetaran berusaha membuka jendela itu, aku harus berteriak minta tolong. Aku tidak bisa keluar dari sini karena rongga teralis nya begitu kecil untuk ku lewati.

“aahh… to-long..!” Aku tertegun, kaget menyadari diriku yang terlalu takut hingga tidak dapat berteriak. Suara yang keluar dari mulut ini begitu lemas dan pelan. Mulut ku terbuka sangat lebar menghadapi kenyataan itu. … Apa yang harus aku lakukan?? Dada ini sesak, apa aku akan pingsan…? Putus asa, aku mencengkram teralis kuat-kuat. Aku harus melakukan sesuatu. Perlahan ku angkat badan ku dengan mengandalkan teralis tersebut.

Tiba-tiba teralis itu copot dengan mudah karena beban dari tubuh ku, “huh…?” aku tidak percaya melihat teralis itu jatuh ke lantai dan menimbulkan suara yang begitu nyaring. Tidak ingin keburu lega, aku segera mengangkat tubuh ku dan melemparnya keluar jendela. Perlahan aku mulai bisa berdiri dan melangkah. Seakan berjalan di dalam air, begitu sulit menuju gerbang depan. Kali ini aku melihat gerbang tidak terkunci, dengan menopang ke pagar besi itu aku berusaha keluar. Mencari kemana tempat Fizzie berlari sebelumnya.

Ketika aku menyentuh bagian luar kosan, rasa bahagia meluap begitu besar di dalam hati. Namun aku terdiam sesaat.

“Hm?” Aku mengedip-kedipkan mata. Berdiri sebentar di depan rumah indekos, aku merogoh-rogoh tas untuk mencari kunci kosan. Aku berpaling ke arah gerbang di belakang, ah… sudah terkunci. Belakangan aku jadi sangat pelupa. Ketika aku hendak memutar arah dan melanjutkan perjalanan, seorang Bapak tua menyapa ku,

“… Dari sini neng?” tanya Bapak itu sambil menunjuk kosan.

“… Ngg iya pak”, jawab ku canggung.

“ooh… Beli rumah ini? Bekas kosan, gak laku-laku padahal semenjak kebakaran 5 tahun yang lalu… Besar sekali waktu itu, kasihan anak-anak itu”, gumam Bapak tua itu,

“Ngg… maaf pak? Saya kurang dengar…” ucap ku sembari tersenyum kecil, merasa tidak enak.

“Cuman selamat satu orang, gara-gara kucingnya lari dan ketabrak mobil di depan sini sebelum kebakaran. Dia lari lah ke dokter hewan sebelah sana itu… selamat lah dia”, bapak-bapak itu komat-kamit kembali sambil membalikkan badan untuk lanjut berjalan, “hati-hati lah neng, sehat selalu…” kata Bapak itu lebih jelas.

“…”

Aku mengengangkat alis. Bingung, Bapak ini dari tadi ngomong apa? Ngga kedengaran.... Ah sudah lah, nanti kalo ketemu lagi akan aku tanya beliau. Sekarang, waktunya beli makanan Fizzie dan bolu formalitas!

4 komentar:

  1. Waaww ,, panjang lagi nh huhu

    Sayah rasa Andes punya banyak informasi yang pengen diceritain,, tapi IMHO untuk sebuah cerpen mending kamu pangkas hal-hal yang dirasa kurang terlalu penting biar struktur ceritanya lebih bagus Dan enak dibaca ,,
    Menjelaskan detail kejadian emang penting, tapi kalo terlalu jauh dari cerita utama cerita lu jd terkesan menyebar ke segala arah emm ,,

    Terus kadang ada kata 'itu' diakhir kalimat yang ga gw ngerti 'itu' nya tuh balik kmana ?? ,, di cerita sebelumnya jg ada yg kayak gini huhuhu

    BalasHapus
  2. niice... thriller yang mencekam diikuti plot twist diakhir cerita

    BalasHapus
  3. WUIIIIHHHHHHHH!!!!!!!! DAHSYAT DHES! bagus bagus, gua suka :D
    mungkin satu masukan aja, kata 'hectic' perlu dicari padanannya ya, mungkin 'ripuh'? ( http://kbbi.web.id/ripuh ) '

    BalasHapus
  4. Walau aku setuju dengan Jeiman (perlu agak dipangkas-pangkas di beberapa tempat, suka ada bagian yg terasa lambat), tapi ini bagus. Ga boring, selalu ada hook untuk melanjutkan baca. Nice job Ndes. Putri Serenity bangga. Kan, ga perlu kata-kata cantik untuk bikin cerita bagus? Boleh aja, tapi harus dipertimbangkan apakah cerita itu perlu bahasa cantik? Di sini tidak perlu, dan tetep efektif. Gw suka banget twistnya. Well done.

    BalasHapus