Selasa, 09 Februari 2016

[WARUNG] Di Belakang Warung, Di Pinggir Hutan Jati

Tangannya yang kasar mulai menggerayangi kutangku. Ia selipkan ujungnya jarinya ke dalam. Aku hanya diam saja. Kepalaku agak pening malam ini. Telah habis semangat untuk melayani.

“Huh. Kau dingin sekali. Sayang sekali hanya warungmu yang masih buka.”

Dari suaranya ia nampak kesal. Tapi apa daya, aku sebenarnya sudah lelah. Malam pun sudah larut. Aku tak ingin menerima pelanggan lagi, tetapi aku butuh uangnya.

Ia membuka paksa kutangku. Ia benamkan wajahnya ke dadaku. Kurasakan lidahnya membasahi setiap jengkal payudara.

Sementara di luar gerimis terus membasahi pucuk-pucuk daun jati. Aku kembali teringat peristiwa tadi siang saat sedang mengumpulkan kayu bakar. Kudapati Mina menangis di belakang gubuk kami. ‘Aku ingin ikut berdarmawisata, bu.’ Aku hanya bisa menghela nafas. Aku hanya seorang mantan buruh yang dipecat tanpa pesangon karena pabrik tempatku bekerja bangkrut. Aku hanya punya Mina, anak gadisku yang ditinggalkan bapaknya semenjak masih dalam kandungan.

Malam ini terasa sunyi. Jalanan tak seramai biasanya. Hanya satu dua bis malam yang terdengar menggilas aspal. Hujan semenjak sore serta sedikitnya supir-supir truk yang mampir membuat banyak warung sudah tutup sebelum isya. Hanya warungku yang masih buka saat sebuah truk dari arah timur berhenti di depan.

Kini ia sudah berdiri telanjang di hadapanku. Badannya hitam legam, dadanya penuh dengan rambut halus. Ia mendorongku kasar ke dipan.

“Tolong jangan kasar-kasar, kang. Saya akan tetap layani.”
“Diam! Jangan kau buat aku semakin kesal!”

Matanya merah dan sembab. Tak ada bau tuak di mulutnya. Tak seperti supir-supir lain yang suka mampir ke warung. Sinar wajahnya kelam, seolah menanggung beban berat. Tapi aku tak berani bertanya.

Aku bangkit dan berusaha meraih tasku.

“Pakai ini dulu, kang.”

Tiba-tiba air mukanya berubah. Tamparan melayang ke pipiku.

“Sundal! Kau pikir aku kotor! Sialan! Pelacur sialan!”

Belum sempat aku bangkit tangannya telah menjambak rambutku. Telanjang dan tak mampu melawan, aku merasa begitu hina. Kugapai kain di dipan untuk menutupi tubuhku. Mencoba menyelamatkan yang tersisa dari harga diri ini.

“Aja, kang. Maaf.  Tolong jangan sakiti saya.” aku hanya bisa mengiba. Kucoba menggengam tangannya, berharap ia insyaf dan melepaskan jambakannya.

“Kalian perempuan sama saja!” aku dibantingnya. Kepala ini menghempas kaki-kaki dipan. Rasa anyir terasa di mulut. Seolah kesurupan ia menendangku yang masih terjerembab di lantai kayu. Berkali-kali tanpa jeda.

Tubuhku disiksa. Hatiku cuma bisa menahan amarah dan keputusasaan. Ruangan semakin lama terasa semakin gelap. Ia terus saja melampiaskan kekesalannya, membunuhku pelan-pelan. Aku hanya meringkuk menahan sakit. Tak mampu bersuara. Tak mampu menangis. Di bilik bambu di belakang warung, di pinggir hutan jati.

***


“Mak! Emak! Bangun, mak!”

Kudengar sayup-sayup suara Mina. Aku mencoba membuka mata. Tapi tetap tak dapat kulihat jelas wajah anak gadisku itu. Aku mencoba bangkit. Sekujur tubuhku bagai tertusuk jarum.

“Mak! Jangan mati, mak…”

Kurasakan kehangatan menjalar di pipiku. Air mata Mina deras membasahi wajahku. Kemudian aku teringat akan laki-laki tadi. Rasa takut menyeruak di batin ini, takut jikalau ia pun akan melukai Mina. Biarpun kiamat di depan mata, tak kan kubiarkan itu terjadi.

Sakit di tubuh tak kuhiraukan. Kucoba menegakkan kaki-kaki yang penuh lebam ini. Saat pandanganku mulai jelas, kudapati tubuh laki-laki itu. Tubuhnya tergeletak tak bernyawa di dekat pintu. Kapak kecil yang biasa kupakai membelah kayu bakar menancap di tengkuknya. Darah menggenang.

“Mina. Ayo kita pergi, nak.”

Di sanalah aku dan anak gadisku. Tergopoh-gopoh menembus hutan jati yang penuh lumpur, di bawah guyuran hujan yang tak mau juga berhenti. Seolah hutan dah hujan berusaha menutupi jejak kami berdua.

Aku tak tahu kemana kami harus menuju. Aku cuma tahu kami harus pergi. Pergi dari warung berdarah tadi. Pergi dari dunia yang akan menghakimi kami. Mina, anak gadisku semata wayang, hanya dia milikku yang berharga di dunia ini. Aku rela kehilangan segalanya asalkan bukan dia. Jadi kami terus berlari. Berlari dan berlari.

11 komentar:

  1. Om, typo ya? -> membahasi setiap jengkal payudara
    ngapain dibahas? :v

    BalasHapus
  2. ceritanya penuh saksofon dan biola Om..

    BalasHapus
  3. ngeriii ,,, ga nyangka jadi gini ceritanya ,, nice :)

    BalasHapus
  4. Omari memang cakep dalam mendalami psyche seseorang. Yang emosionil-emosionil gitu selalu mengalun dengan merdu. Acie

    Paling masukan dari aku adalah rasanya dibanding tulisan Omari sebelumnya, yang ini agak lebih sering pake 'telling' bukan 'showing'. Padahal kalau dideskripsikan, mungkin intensitas kepedihan karakter utama bisa lebih nyata. Kayak kalimat "Tubuhku disiksa." Tiap pembaca akan membayangkan hal yang berbeda yang bisa jadi lebih atau kurang dari tingkat ketersikaan karakter. Kalau kalimat itu diubah jadi serangkaian kejadian, lalu reaksi sang karakter, apa yang dia rasakan, kayaknya akan lebih efektif untuk menyampaikan seberapa jauh sang narator berjuang untuk anaknya. Omari soalnya udah membuat sang narator deskriptif banget di awal cerita, untuk tiba-tiba berubah dingin karena narator mengeneralisasi apa yg terjadi sama dia.

    Gitu aja um.

    BalasHapus
    Balasan
    1. ah, as always, insightful.. *bow*
      ya memang di bagian adegan penyiksaan gw agak gugup. pertama kali gw nulis tentang adegan kekerasan. next time will be better. thank you, mastah! *bow again*

      Hapus