Rabu, 10 Februari 2016

[WARUNG] Singgah

“Mas, kopinya satu lagi deh mas” Ucap saya sambil kembali melihat layar handphone, dan ini sudah cangkir kopi ke dua saya di warung ini. Warung yang saya pikir tiba-tiba ada, warung yang letaknya tidak jauh dari apartemen tempat saya satu bulan terakhir sering singgah di Jakarta.

Iya, singgah. Entah kenapa kata tersebut terasa puitis dan mempunyai arti yang lebih untuk saya. Nama saya Timur, seperti di kehidupan ini, di ibu kota yang katanya kejam ini, dan di warung ini pun saya sedang singgah. Singgah menunggu seseorang yang sepertinya ketiduran, dan sayangnya satu-satunya cara saya bisa beristirahat adalah dengan adanya tanda dari dia menghubungi melalui layar handphone yang sedari tadi saya pandangi.

“Asli sini mas?” Sambil menyuguhkan kopi, penjaga warung tersebut dengan ramah membuka obrolan.

“Engga mas, saya dari Bandung. Kebetulan lagi ada kerjaan di jakarta, jadi sering ke apartemen sebelah untuk numpang istirahat, kalo mas asli sini?” seperti ajang pembalasan dendam, saya menanyakan pertanyaan yang sama.

Obrolan-obrolan lain terus berlanjut, karena lebih dari tengah malam kondisi warung lumayan sepi beberapa wajah-wajah lelah berkunjung kemudian pergi. Penjaga warung tersebut namanya Adit, ternyata dia asli dari tasik. Kita hampir sama-sama menyesal kenapa dari awal manggilnya mas dan memakai bahasa indonesia padahal sama-sama sunda. Karena dia lebih tua, jadi saya manggil dia kang Adit.

Kang Adit sudah hampir 8 tahun tinggal di jakarta, anak dan istrinya baru pindah ke jakarta 3 tahunan setelahnya, setelah kang Adit bisa membeli rumah kecil di daerah pinggiran. Warung kecil inipun milik dia pribadi, walau ketika awal-awal dia di ibu kota hanya bekerja sebagai tukang ojeg. Dia cerita kalo misalnya dia sangat menikmati pekerjaannya sebagai penjaga warung, karena dia bisa bertemu banyak orang, mengobrol dengan banyak orang baru dan berbeda-beda. “Tiap hari saya mendapat ilmu dan temen baru, emang pada dasarnya saya mah bawel” ucap dia sambil terkekeh.

“Gimana kang, lebih enak tinggal di jakarta atau di Tasik?” Saya selalu penasaran dengan orang yang bisa bertahan hidup di jakarta.

“Yah, sama aja di tasik dan Jakarta juga kalo saya mah, yang penting bareng sama anak dan istri. Sama aja.” Jawab kang Adit sambil meracik sebuah mie rebus pesanan pelanggan.

“Dulu saya pas di tasik pengen banget beli mobil, tapi ya pas di tasik saya kerja serabutan dan ga jelas, mana mungkin bisa kebeli. Nah sebenernya itu salah satu alasan saya ke jakarta, pengen nabung, pengen beli mobil. Sekarang alhamdulillah udah bisa nyicil mobil, tapi harus tinggal di jakarta. Tapi tau sendiri Jakarta macet di mana-mana, udah punya mobil juga tetep aja ke mana-mana pake motor. Jarang dipake mobilnya. Sama aja kan kaya di Tasik?” Kang Adit  tertawa.

Setelah beberapa gorengan kemudian, handphone saya bunyi.. Karena lelah, saya bergegas untuk pamitan dengan tidak lupa membayar dua gelas kopi dan beberapa gorengan. Tidak pernah ada singgah yang sia-sia, termasuk di warung ini dan bisa mendengar cerita-cerita Kang Adit yang bijak.

Setelah keluar dari warung, baru saya cek handphone. EH DAN  TERNYATA NOTIF LINE GETRICH :(((

- Timur, Jakarta dan tidak sedang musim hujan.

24 komentar:

  1. Plus:
    Ceritanya nyantai, ngalir kayak air, enak diikutin. Walaupun pendek karakter Kang Adit terasa real (karena emang diambil dari orang beneran ya Us?). Slice of life yang oke.

    Minus:
    Di paragraf terakhir, ada kata-kata "Karena lelah, saya bergegas untuk pamitan.." Lelah kenapa? kan cuma duduk makan?
    Salah ejanya lumayan banyak, terutama kapitalisasi huruf di depan kata. Minor sih, tapi karena banyak lumayan kerasa jadinya.

    Thanks sudah ikutan Us! tema berkutnya lagi ya :D

    BalasHapus
    Balasan
    1. Nuhun om, di gagang pintu aku akan coba tidak tergesa-gesa.

      Hapus
  2. Singgah, kata lain untuk "bobok tiang"

    BalasHapus
  3. Gw kurang sreg dengan temponya. Kayaknya Daus ngetiknya buru2. Dan endingnya antiklimaks.

    BalasHapus
  4. dan penggunaan emoji di cerita... c'mon, dude. you can do better.

    BalasHapus
  5. Komentar ini telah dihapus oleh administrator blog.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Dobel Us. kenapa malah yang ini yang direply?

      Hapus
    2. iya nih.. suka dobel2 komeng di blogspot :/

      Hapus
    3. Iya, agak kurang oke. Supaya ga dobel jangan pencet back abis submit komen

      Hapus
    4. Iya, agak kurang oke. Supaya ga dobel jangan pencet back abis submit komen

      Hapus
    5. Seperti yang barusan saya lakukan X3

      Hapus
    6. kayaknya kalo komen pake hape sering kayak gini ,,

      Hapus
  6. Alur dari awalnya enak, sayang penjabaran di tengah sampai akhir cuma terkesan seperti bercerita tanpa bertutur. Notif si get rich sebenernya bisa jadi twist menarik, misalnya saat lagi ngobrol, trus si tokoh bercerita dia sedang sembunyi dari orang, dan akhirnya terkejut karena ada notifikasi handphone. Dia bergegas keluar warung terus sembunyi lagi, baru setelah dia liat ternyata notif get rich.

    Dan typo dikit2 sih.

    BalasHapus
  7. ceritanya asik dibaca,, ringan :)

    emm ,, tapi kalau memang Kang adit dan kang Timur ini sama2 orang sunda, kenapa tidak ngobrol dalam bahasa sunda ?? ,, biasanya kalo orang yang sedaerah bertemu di luar kota senang saling berbicara dalam bahasa daerahnya :D
    kalo memang alasannya biar bisa dimengerti oleh pembaca, mungkin bisa ditambahkan kata2 tambahan sunda yang familiar seperti euy, teh, mah, atuh, da, dll :P
    saya cuman nemu 2 kata 'mah' dalam percakapan diatas :D


    Nama Timur juga kurang nyunda,, harusnya Wetan :D

    BalasHapus
    Balasan
    1. Itu juga yang penulis pikirin "Kita hampir sama-sama menyesal kenapa dari awal manggilnya mas dan memakai bahasa indonesia padahal sama-sama sunda. "

      Terimakasih sarannya kak~

      Hapus
  8. Selamat datang kak Daus. Ini lumayan cakep sih untuk itungan buru-buru ngetiknya. Tips pertama, ga usah buru-buru, walau kita hantui di grup untuk posting. Nikmati dunia yang lu ciptakan.

    Kedua, lu bisa menyeimbangkan info dump dan dialog. Suka ada tahap di mana gw merasa "wah ini banyak info dump..." tapi kemudian gw mengurungkan niat gw berkomentar itu karena langsung disambut dialog yang lumayan mengalir enak.

    Tips ketiga sih coba melalui dialog atau isi hati karakter, mencoba menggambarkan detil tempatnya. Atau dia membaca mang Adit ini orangnya seperti apa dari cara dia mengecat warungnya, atau rasa pisang goreng yang particular dan beda dari pisang goreng laen, atau jam dinding, atau kalender gambar apa. Karena ga ada plot samasekali dalam cerita ini (which is fine kalo dilakukan dgn terampil), setidaknya coba bawa pembaca lebih dalam ke dunianya.

    Tips keempat, jangan terlalu banyak makan gorengannya.

    Gitu aja Us. Semoga berguna saran eke

    BalasHapus